Opini
Pemberi Harapan Palsu Itu Bernama Demokrasi
Oleh: Muhammad Syafi'i
(Penulis Ideologis Sulawesi Tengah)
TanahRibathMedia.Com—Janji-janji manis dan harapan indah telah ditebar sebagai jurus andalan meraih kemenangan pada pemilihan umum. Itulah pesta demokrasi, menebar janji, memberi harapan namun penuh kepalsuan.
Kedaulatan di tangan rakyat. Ini merupakan janji utama dari demokrasi.
Janji ini dipermanis dengan slogan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Artinya, rakyat yang membuat hukum, rakyat menjadi sumber kekuasaan, hukum dan kekuasaan dijalankan untuk kepentingan rakyat. Rakyat sendiri yang membuat hukum diwujudkan dengan lembaga legislatif yang dianggap mewakili rakyat. Rakyat sebagai sumber kekuasaan diwujudkan dengan pemilihan umum oleh rakyat untuk memilih pemimpin. Sedangkan hukum dan kekuasaan untuk kepentingan rakyat diimplementasikan dalam peraturan dan kebijakan pemerintah yang diharapkan memberikan keadilan serta menjamin kesejahteraan bagi rakyat.
Slogan demokrasi ini menjadi sangat indah di telinga rakyat pada abad pertengahan di Eropa (abad ke-5 hingga abad ke-15), karena Eropa sedang mengalami keterpurukan dalam berbagai hal hingga masa itu disebut juga abad kegelapan. Kelaparan, wabah pandemi, ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi, perbuatan sewenang-wenang dari para penguasa mengakibatkan penderitaan berat bagi rakyat di Eropa.
Akibatnya, muncullah perlawanan dari rakyat yang dimotori tokoh-tokoh intelektual seperti John Locke, Charles de Secondate Montesquieu dan Jean Jacques Rousseau. Di mana perlawanan rakyat pada saat itu tidak hanya sekadar mengganti penguasa yang dipegang oleh seorang raja atau kaisar, tetapi juga mengganti sistem politik yang otoritasnya dimiliki oleh raja atas legitimasi pihak gereja. Dengan bangkitnya demokrasi, slogan suara raja suara Tuhan berganti menjadi suara rakyat suara Tuhan.
Janji dan slogan manis demokrasi, selanjutnya tersebar di seluruh dunia dan memberi harapan bagi rakyat khususnya jelata. Namun nyatanya, jauh panggang dari api, kedaulatan di tangan rakyat tidak pernah benar-benar terwujud baik di negara-negara Eropa, Amerika serta di belahan dunia yang lain termasuk di Indonesia.
Selama demokrasi diterapkan, rakyat tidak pernah benar-benar terlibat membuat hukum suatu negara. Sebab mustahil bagi manusia untuk mengumpulkan semua rakyat dari berbagai kalangan untuk berkumpul di satu tempat apalagi untuk menghasilkan kesepakatan. Sadar akan kemustahilan itu, dibuatlah satu lembaga perwakilan rakyat yang berperan mewakili rakyat untuk membuat hukum.
Pertanyaannya, apakah para wakil rakyat itu benar-benar mewakili seluruh rakyat? Apakah kesepakatan mereka sesuai merupakan kesepakatan rakyat seluruhnya? Faktanya tidak. Banyak undang-undang yang telah disepakati para wakil rakyat justru diprotes oleh rakyat, karena tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Rakyat sebagai sumber kekuasaan pun tidak benar-benar nyata. Pemilihan pemimpin memang melibatkan rakyat, pemimpin terpilih memang memperoleh suara rakyat yang jumlahnya lebih banyak dibanding calon lain, namun jika dihitung semua jumlah rakyat yang berhak memilih dikurangi jumlah suara pemimpin terpilih maka hasilnya lebih banyak yang tidak memilih pemimpin tersebut.
Seperti pada pemilihan presiden (Pilpres) di Indonesia tahun 2019 lalu pasangan terpilih Jokowi-Ma'ruf memperoleh 85.036.828 suara, sedangkan Prabowo Sandi memperoleh 68.442.493 suara. Jika dibandingkan dengan daftar pemilih tetap yang berjumlah 190.770.329, maka jumlah yang tidak memilih pasangan Jokowi-Ma'ruf lebih banyak yaitu berjumlah 105.733.501 suara. Artinya, pemimpin terpilih dalam demokrasi bukanlah pilihan mayoritas rakyat apalagi seluruh rakyat.
Apalagi soal janji untuk kepentingan rakyat, kepalsuan demokrasi sudah menjadi rahasia umum. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk menang dalam pemilihan, membuat para pemimpin terpilih lebih melayani para elit pengusaha yang mendanainya daripada rakyat kebanyakan. Lahirlah Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Penanaman Modal serta peraturan lainnya yang lebih mementingkan kepentingan elit pengusaha daripada kepentingan rakyat.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), kenaikan tarif pajak, mudahnya arus tenaga kerja asing di tengah banyaknya pengangguran di Indonesia, kenaikan tarif listrik, hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di antara kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepentingan rakyat secara umum. Sebagai produk demokrasi, para politisi pun tampil layaknya demokrasi berwujud manusia. Bermanis muka, menebar janji, memberi harapan saat kampanye, namun setelah sukses meraih suara rakyat, rakyat pun dilupakan, janji tinggal janji, harapan ternyata palsu belaka, berjuang atas nama rakyat hanyalah slogan karena yang diperjuangkan adalah kepentingan pribadi, partainya, kelompoknya terutama kepentingan penyandang dana.
Berhentilah berharap pada demokrasi. Karena tidak ada yang dijanjikannya selain kepalsuan. Apalagi jika ditakar dengan Islam, maka janji demokrasi bukan hanya palsu tapi haram. Kedaulatan di tangan rakyat haram dalam Islam karena yang berhak membuat hukum hanyalah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kewajiban kita adalah menerapkan hukum Allah itu seluruhnya. Berbeda halnya dengan demokrasi yang selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat, Islam fokus mengajak umat untuk beriman dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan menerapkan syariat-Nya dalam seluruh aspek kehidupan. Islam menyampaikan janji Allah kepada mereka yang beriman dan bertakwa akan mendapatkan banyak kebaikan dari langit dan bumi serta mendapatkan pahala dan kedudukan tinggi di akhirat.
Pilihlah Islam! Fokuslah mendakwahkan Islam. Berjuanglah menerapkan syariat Islam dalam bingkai khil4f4h. Dengan begitu kita tidak terjebak lagi dengan janji dan harapan palsu demokrasi.
Wallahu'alam
Via
Opini
Posting Komentar