Opini
Pesta Demokrasi Rawan Picu Depresi
Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Penulis Peduli Umat)
TanahRibathMedia.Com—Arif, bukan nama sebenarnya adalah salah satu korban dari pesta demokrasi 2019 lalu. Ia terpaksa dirawat di panti rehabilitasi jiwa dan narkoba di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah karena diduga mengalami stres usai gagal memperoleh kursi parlemen pada periode pemilu yang lalu (BBCNews, 28-5-2019).
Arif stres karena tidak lolos melaju ke parlemen sementara sudah kadung mengeluarkan banyak biaya. Ia bahkan menggadaikan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) miliknya dan menguras tabungannya hingga Rp250 juta. Ia bahkan harus meminjam uang Rp300 juta dari orang tuanya dan menerima Rp500 juta dari bank dengan menggadaikan sertifikat usahanya.
Arif tidak sendiri, ada banyak Arif-Arif lainnya mengalami nasib yang sama. Impian duduk di kursi parlemen justru berakhir di panti rehabilitasi. Harapan yang terlalu tinggi dan ketidaksiapan mental membuat mereka mengalami hal ini.
Psikolog klinis, Roslina Verauli menjelaskan caleg yang gagal dan kemudian memasuki fase gangguan jiwa biasanya memiliki riwayat klinis tertentu atau mempunyai masalah emosional dan kepribadian sebelumnya. (CNN Indonesia.com)
Sejak pemilu 2019 hingga 2024 Kementrian Kesehatan mencatat ada ribuan caleg gagal yang depresi. Mereka sempat berobat di sejumlah rumah sakit.
Tahun ini diperkirakan jumlahnya akan meningkat karena banyaknya parpol peserta pemilu. Jumlah caleg yang beradu nasib pun lebih banyak dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Sudah menjadi rahasia umum jika politik demokrasi berbiaya tinggi. Namun minat masyarakat masih sangat tinggi untuk mengikutinya. Salah satu motifnya adalah ingin membawa perubahan terutama daerah yang dibelanya.
Menurut LPM FE UI, modal untuk menjadi caleg cukup bervariatif. Untuk calon anggota DPR RI berkisar antara Rp 1,15 miliar sampai Rp 4,6 miliar. Sementara untuk calon anggota DPRD Provinsi sekitar Rp 250 juta sampai Rp 500 juta. (CNBC Indonesia).
Uang sebesar itu digunakan untuk berbagai hal mulai dari akomodasi ke daerah pemilihan, biaya kampanye (atribut seperti baliho, kaos, umbul-umbul, logistik dan lainnya). Belum lagi untuk tim sukses, bantuan sosial, biaya pengumpulan massa, hingga biaya saksi. Biaya ini juga dipengaruhi oleh ukuran dan karakteristik dapil, kebijakan dan mekanisme parpol, serta strategi dan gaya kampanye caleg.
Belajar dari pengalaman pesta demokrasi sebelumnya, pemerintah telah mempersiapkan sejumlah RS dan RSJ untuk mengantisipasi kejadian serupa. Salah satunya RS Otto Iskandar Dinata, Soreang Bandung, Jawa Barat sedang menyiapkan 10 ruangan VIP dan dokter spesialis jiwa. Begitupun RSUD dr.Abdoer Rahiem Situbondo Jawa Timur, tengah mempersiapkan poli kejiwaan dan ruangan rawat inap untuk kasus yang ringan hingga kronis (Kompas TV.com, 24-11-2024).
Banyaknya masyarakat yang tergiur untuk menjadi caleg karena menjadi caleg adalah sebuah kebanggaan. Meskipun ada juga yang bertujuan ikhlas untuk melakukan perubahan, membangun bangsa bahkan ingin menerapkan hukum Islam. Mereka berharap dengan masuk ke dalam parlemen bisa memberi warna, tapi faktanya mereka yang justru terwarnai.
Keberadaannya tidak bisa mengubah kondisi bobrok yang sudah ada, bahkan mereka terlindas oleh orang-orang yang memiliki ambisi kekuasaan dan harta.
Semua ini karena sistem demokrasi asasnya sekuler yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga agama tidak menjadi acuan dalam melakukan sesuatu. Ajaran agama dipilah pilih sesuai keinginan dan manfaat yang mereka rasakan. Segala hal bisa dihalalkan demi memenangkan kontestasi. Mereka yang ikhlas dan memiliki kemampuan akan kalah dan tersingkir oleh mereka yang memiliki uang dan koneksi.
Kehidupan sekuler juga melahirkan masyarakat yang tidak memahami hakikat penciptaan karena mereka jauh dari agama. Tujuan hidup mereka adalah mendapatkan kesenangan dunia dan memenuhi kebutuhan jasmani.
Maka wajarlah manusia dalam alam demokrasi akan berupaya mati-matian untuk mendapatkan semua itu salah satunya dengan menjadi caleg. Jabatan dianggap mampu menaikkan harga diri dan jalan mendapatkan keuntungan materi. Jabatan juga bisa memudahkan urusan mereka.
Ekpektasi yang tinggi akan sebuah jabatan inilah yang membuat mereka yang lemah imannya menjadi stres hingga depresi ketika gagal mendapatkannya.
Slogan demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat hanya pemanis saja. Nyatanya mereka yang menang sama sekali tidak menjadi representasi rakyat. Bahkan seringkali mereka mengkhianati rakyat yang notabene adalah orang yang berjasa dalam mendapatkan jabatannya dengan membuat kebijakan yang tidak pro pada rakyat. Mereka wakil rakyat tapi tidak mewakili suara rakyat. Mereka hanya mewakili rakyat menikmati fasilitas dan kemudahan yang didapatkan dari uang rakyat.
Inilah fakta kebobrokan demokrasi, pesta demokrasi hanyalah alat legitimasi untuk melanggengkan para oligarki. Rakyat ibarat pendorong mobil mogok, yang setelah mobil itu jalan, rakyat ditinggal dan malah apes karena pengaruh asap kendaraan yang telah melaju tadi.
Pesta demokrasi telah diatur sedemikian rupa agar pemenangnya adalah mereka yang mau tunduk pada keinginan pemodal. Ini juga yang menyebabkan caleg jadi depresi saat mengetahui suaranya telah dicurangi. Meski mengetahui fakta ini caleg tidak bisa berbuat apa-apa.
Semua ini juga didasari oleh sistem pendidikan sekuler yang tidak membangun jiwa dan mental manusia. Hasil pendidikan sekuler membuahkan generasi yang rapuh, terlihat bagus tapi aslinya rusak. Maka wajar sekarang ada istilah generasi stroberi. Tontonan juga mempengaruhi gaya hidup generasi saat ini. Mereka siap menang tapi tidak siap kalah.
Islam Memandang Kekuasaan
Dalam paradigma Islam kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya. Mencalonkan diri atau dicalonkan semua mubah dan pilihan. Seorang muslim akan mengukur dirinya apakah layak untuk memikul amanah ini. Ia yakin bahwa amanah ini bisa jadi kunci surganya atau malah jalan gerbang menuju neraka.
Ingatkah sabda Rasulullah saw. berikut, "Barang siapa diberi amanah oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah akan mengharamkan surga atasnya." (HR Muslim)
Selain amanah, jabatan juga harus dijalan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Ia harus tahu dan sadar bahwa jika ia salah menjalankan amanah ini efeknya tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi masyarakat bahwa dan umat seluruhnya.
Jabatan sama dengan aktivitas atau profesi lainnya yang tujuannya semata hanya mengharapkan rida Allah Swt.. Bukan ajang kebanggaan, atau untuk meraup keuntungan.
Dalam Islam pemilihan wakil rakyat (majelis umat dan wilayah) dilakukan secara sederhana dan berbiaya ringan. Calon pejabat tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk biaya pencalonan dan biaya pencitraan diri hanya demi dilirik dan dipilih rakyat. Begitupun pemilihan kepada wilayah bahkan Khalifah semua mudah, sederhana dan tidak membutuhkan biaya dan waktu yang lama.
Mereka yang diberi amanah tidak perlu menebar janji, karena mereka hanya perlu menjalankan tugasnya sesuai ketetapan yang telah Allah berikan. Semua ada di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah saw.. Amanah adalah taklif (syariah Islam) yang harus dijalankan dengan sepenuh hati dengan cara melaksanakan semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Islam juga memiliki sistem pendidikan yang mampu mencetak SDM unggul serta memahami kekuasaan adalah amanah. SDM yang beriman pada qadha dan qadar yang telah Allah tetapkan. Sistem pendidikan yang mampu membuat manusia senantiasa bersyukur dan bersabar sehingga terhindar dari stres, depresi bahkan bunuh diri.
Wallahua'lam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar