Opini
Petani Butuh Pupuk, Negara Siap Sibuk
Oleh: Uqie Nai
(Member AMK)
TanahRibathMedia.Com—Dalam acara program Bunga Desa di Desa Pakutandang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Sabtu (20-01-2024) Bupati Bandung Dadang Supriatna (Kang DS) menyampaikan satu wacana yang dianggap menjadi solusi bagi petani terkait ketersediaan pupuk.
Dadang Supriatna yang akrab disapa Kang DS berencana membangun pabrik pupuk organik untuk kebutuhan petani di Kabupaten Bandung pada 2025 mendatang. Untuk merealisasikan program ini, pihaknya akan menerapkan mekanisme pemanfaatan pupuk organik dengan cara mengembangkan metode tradisional melalui penggunaan potensi-potensi yang ada di pedesaan semisal pupuk organik dari peternak kambing. Langkah berikutnya adalah menetapkan investor yang siap membiayai pembangunan pabrik. (Wartaparahyangan.com, Sabtu 20-1-2024).
Apa yang disampaikan bupati Bandung tentang rencananya membangun pabrik pupuk organik pada 2025 mendatang adalah bentuk perhatiannya sebagai pemimpin daerah. Dan ini sudah sepatutnya ditunjukkan oleh siapapun yang menjadi pemimpin. Yang menjadi catatan adalah, kebutuhan petani akan pupuk selain menjadi tanggung jawab pemimpin untuk mewujudkannya, ia juga harus mempertimbangkan urgensi dari pembangunan pabrik, dampaknya, dan pembiayaannya. Jangan sampai bagus diteori (program) tetapi buruk diimplementasi dan distribusi.
Rakyat Butuh Solusi Komprehensif, Bukan Sekadar Pabrik
Pembangunan (apapun bentuknya) haruslah bersifat urgen, artinya keberadaan pembangunan itu benar-benar dibutuhkan oleh rakyat, dan menjadi kemadaratan manakala tidak dibangun. Terkait pupuk, negara bersama pejabat daerah serta tenaga ahli bisa mengedukasi masyarakat untuk memanfaatkan limbah rumah tangga, kotoran ternak, atau sampah organik menjadi pupuk (kompos) secara mandiri untuk pertanian dan perkebunan mereka. Jika kompos berlimpah, negara bisa membantu mendistribusikannya ke daerah lain yang kekurangan pupuk organik. Edukasi ini di samping mengimplementasikan budaya hidup sehat dan bersih, juga mengurangi limbah dan efek rumah kaca (global warming) yang salah satunya disebabkan gas metana.
Jika pengelolaan limbah secara mandiri masih kurang, hingga negara merasa perlu membangun pabrik pupuk, maka negara harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Pertama, pendirian pabrik pupuk tidak dibangun di area pemukiman agar tidak mengganggu pada kesehatan warga.
Kedua, lokasi pendirian pabrik bukan di lokasi lahan produktif seperti persawahan, perkebunan, atau hutan yang merupakan lahan hidup publik.
Ketiga, pengolahan pupuk tidak menyebabkan polusi atau hal-hal yang membahayaakn lingkungan dan ekosistem.
Keempat, perencanaan, pengelolaan, serta pendistribusian ada dalam pengawasan negara. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir dan menutup celah kezaliman.
Kelima, pembiayaan sepenuhnya ditanggung oleh negara. Keenam, tidak membiarkan intervensi asing turut serta dalam program dan kebijakan negara meski dengan dalih kerjasama.
Kapitalisme Tak Bisa jadi Solusi
Untuk memenuhi kebutuhan petani atau terwujudnya pembangunan yang membawa kemaslahatan sebagaimana uraian di atas diperlukan peran pemimpin dan support system yang kompatibel. Dan semua itu tidak mungkin terjadi dalam sistem dan pemimpin yang menerapkan ideologi kapitalisme sekuler seperti saat ini. Karena asas kapitalisme adalah manfaat sementara akidahnya menjauhkan agama dari kehidupan, maka kebijakan yang dikeluarkan negara tidak akan murni berpihak kepada rakyat melainkan berpihak pada orang atau kelompok yang bisa memberikan keuntungan secara materi seperti para investor.
Fungsi negara yang seharusnya menjadi pengurus dan pelayan rakyat pun kian terpinggirkan sejak negara menganut sistem demokrasi dalam pemerintahannya. Yakni sistem pemerintahan yang berasal dari Barat untuk menerapkan hukum dan undang-undang buatan manusia. Hasilnya, pengelolaan sumber daya alam dan lahan hidup publik diserahkan pada kapital. Padahal, secara undang-undang (UUD’45 pasal 33) pengelolaannya berada di bawah tanggung jawab negara dan hasilnya diberikan untuk kepentingan masyarakat. Namun, karena keserakahan dan batilnya aturan manusia, undang-undang tersebut mengalami perubahan makna dengan adanya amandemen pada 2002 dan UU Ciptaker (Omnibus Law). Salah satunya memberikan hak guna usaha pada pihak pengusaha dalam waktu yang sangat lama. Lebih parah dari itu, ratusan ribu lahan sawah terus menyusut tiap tahunnya karena alih fungsi lahan yang diberikan negara pada pengusaha. Inilah yang akhirnya membuat negara gagal memenuhi kebutuhan dasar rakyat, selalu gagap memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi, lebih mengandalkan utang dan pajak ketimbang mengelola SDA, serta membiarkan asing mengintervensi kebijakan dalam negeri.
Islam, Support System Hakiki
Dalam pandangan Islam, kegiatan pertanian sangatlah penting bagi kelangsungan hidup manusia, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan yang paling vital dalam kehidupan sehari-hari yaitu pangan. Islam juga memuliakan profesi petani, karena selain mendapat manfaat ekonomi untuk mencukupi kebutuhan keluarga, bertani juga merupakan sebuah ibadah sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Tidaklah seorang muslim yang menanam tanaman atau bertani kemudian burung, manusia ataupun binatang ternak memakan hasilnya, kecuali semua itu merupakan sedekah baginya.” (HR Bukhari).
Pentingnya peran petani dalam konsumsi pangan masyarakat dan juga ketahanan pangan dalam negeri, Islam membebankan amanah di tangan pemimpin (negara) untuk memperhatikan kebutuhan pokok masyarakat kepala per kepala serta kebutuhan komunal seperti kesehatan dan pendidikan gratis, juga pelayanan kemanan. Bagi warga yang berprofesi petani, negara akan memberikan lahan pertanian bagi mereka yang tidak punya lahan; menyediakan benih dan pupuk gratis; memudahkan transportasi dan distribusi hasil pertanian; memberikan tenaga penyuluhan agar hasil produksi meningkat serta berkualitas salah satunya dengan memanfaatkan teknologi digital; atau membangun sarana produksi seperti pabrik pengolahan pangan atau pupuk jika negara memandang itu perlu. Yang tak kalah penting adalah pembiayaan untuk semua kebutuhan petani ditanggung oleh negara.
Infrastruktur semisal pabrik akan dibangun negara dengan asas kemaslahatan, dan tidak ada motif profit sebagaimana dalam kapitalisme. Kemaslahtan ini ditinjau dari kelayakan lokasi pembangunan, yakni tidak berada di lahan produktif seperti persawahan, perkebunan atau hutan lindung; aman untuk lingkungan; aman bagi kesehatan; serta dana yang memadai yang ada di Baitulmal. Jika dana di Baitulmal minim maka pembangunan akan ditunda, tetapi bila pembangunan itu bersifat vital maka negara akan menerapkan dharibah.
Yaitu pajak yang bersifat sementara, yang diminta hanya kepada warga muslim kaya saja sesuai kebutuhan pembangunan.
Anggaran negara yang tersimpan di Baitul Mal tersebut berasal dari ghanimah, fai, kharaj, khumus, usyr, dharibah, harta orang murtad, harta warisan (jika mayit tak memiliki ahli waris), zakat, dan hasil pengelolaan kekayaan alam (SDA).
Adapun pendistribusian dari harta itu masing-masing dibedakan peruntukkannya. Harta zakat disalurkan untuk 8 golongan sebagaimana QS. Attaubah ayat 60; hasil pengelolaan SDA untuk pembangunan infrastruktur; dan sisanya untuk kebutuhan negara seperti gaji pegawai, tentara, jihad, dan dakwah.
Dengan anggaran belanja negara yang begitu besar, terutama hasil pengelolaan dari kepemilikan umum seperti tambang, sumber energi, berbagai mineral, hasil laut, hutan, dll. Suatu keniscayaan negara dalam sistem Islam akan mampu melayani kebutuhan umat secara optimal. Negara tidak akan gagap apalagi bingung ketika rakyat membutuhkan perhatian serta solusi dari sisi pendanaan. Inilah peran hakiki seorang pemimpin ketika Islam diterapkan sebagaimana amanat dari hadits Rasulullah saw. berikut:
“Imam (pemimpin) itu adalah raa’in (pengurus/pelayan/penggembala). Ia bertanggung jawab atas apa yang menjadi urusannya yaitu rakyat.”(HR Bukhari).
Wallahualam bisshawab.
Via
Opini
Posting Komentar