Opini
Politik Identitas
Oleh: Larama
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Tinggal menghitung hari, di negeri ini akan berlangsung Pemilihan Umum. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan dalam rangka memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg), serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 14 Februari mendatang.
Sama seperti pada Pemilu pada tahun-tahun sebelumnya, ciri khas dari Pemilu yang dengan mudah kita temui adalah alat-alat peraga Pemilu seperti spanduk, poster, stiker, dan kalender yang bertebaran laksana jamur yang tumbuh di musim hujan. Spanduk dan alat peraga Pemilu lainnya digunakan untuk mengkam-panyekan para calon supaya bisa meraup suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat.
Namun bukan berarti ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan, salah satunya adalah politik identitas.
Mungkin dari kita sering mendengar politik identitas, lalu apa sih politik identitas? Politik identitas adalah kegiatan politik yang berdasarkan identitas individu baik dari ras, etnis, suku, hingga agama. Dampak politik identitas juga cukup serius karena bisa menyerang golongan tertentu yang menimbulkan diskriminasi dan radikalisasi.
Sementara itu, dilansir dari www.detik.com, Mahfud menilai politik identitas merupakan bagian dari radikalisme dan punya tiga implikasi. Kata Mahfud, "Saya akan cerita dulu, politik identitas itu menimbulkan tiga implikasi. Karena politik identitas itu bagian dari radikalisme. Satu intoleransi, yang kedua jihadis pengeboman-pengeboman itu lalu yang ketiga infiltrasi-infiltrasi."
Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa politik identitas muncul karena adanya rasa ketidakadilan yang dialami oleh kelompok masyarakat tertentu. Politik identitas itu sendiri baru muncul pada Pilpres (Pemilihan Presiden) 2019, Pilgub (Pemilihan Gubernur) 2017 di sinilah politik identitas menguat setelah terjadinya penghinaan Surah Al-Maidah Ayat 51, kemudian ditampilkan kembali pada Pilpres 2019.
Narasi politik identitas ini seakan akan sengaja dilempar ke masyarakat untuk memberi pemahaman bahwa agama dan politik tidak bisa disatukan dalam pengurusan masyarakat, ini sesuai dengan fakta bahwa politik identitas semakin kuat digaungkan pasca Pilgub (Pemilihan Gubernur) DKI Jakarta.
Politik identitas ini jika dilihat dari sejarahnya seakan-akan bertujuan untuk menyerang umat Islam yang berada di Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dengan penggunaan kata jihadis. Kita semua tahu bahwa ajaran jihad hanya ada pada agama Islam tidak terdapat pada agama lain, lagi-lagi salah satu dari ajaran Islam diframing buruk demi kepentingan politik praktis semata, dan ironisnya pelakunya adalah orang Islam itu sendiri.
Bagaimana Islam memandang masalah politik identitas? Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA), memang semua itu adalah identitas individu, tetapi tidak dalam satu level, sehingga tidak tepat jika dianggap sama nilainya sebagai sumber diskriminasi dan bernilai negatif. Fakta keberadaan agama dan pengaruhnya bagi individu dan masyarakat, itu jelas berbeda dengan keberadaan etnis, suku, dan ras. Keberadaan agama itu mempengaruhi individu dengan hubungan rasional, tetapi keberadaan etnis, suku, dan ras itu bersifat emosional, sehinga keduanya tidak layak untuk di bandingkan.
Politik Identitas dalam Kaca Mata Islam
Politik identitas dalam Islam itu sendiri memang ada dan satu paket dengan sistem kepemimpinannya alias sistem yang di pakai adalah sistem politik Islam bukan dengan sistem demokrasi yang jelas-jelas selalu menyerang dan membuat citra Islam terlihat buruk di mata pemeluknya, dan menjadikan kaum muslim menjadi takut terhadap ajaran agamanya, dan ini adalah keberhasilan musuh-musuh kaum muslim untuk menjauhkan umat Islam dari ajarannya.
Sementara itu bagi seorang muslim wajib berpolitik dengan standar identitas agamanya, hal itu di sebabkan dalam Islam itu sendiri syara telah mengatur ketentuan-ketentuan menjadi seorang pemimpin dalam Islam, salah satu dari ketentuan itu adalah harus seorang muslim, haram hukumnya menjadikan orang kafir sebagai pemimpin kaum muslim, pengharaman ini bukan tanpa alasan.
Bukan pula ketika sistem Islam diterapkan dan pemimpinnya harus seorang muslim semua hak-hak, harta benda, serta jiwa dan raga mereka akan di telantarkan dan mereka akan mendapat perlakuan yang diskriminasi ras, tidak itu tidak akan pernah terjadi jika ajaran Islam dan ajarannya diterapkan.
WaLlahu a'lam bi showab...
Via
Opini
Posting Komentar