Opini
Menulis: Merangkai Makna, Membangun Semangat, dan Menyuarakan Warisan Ilmu
Oleh: Mihzam Farid Ali Usman
(Sahabat Tanah Ribath Media)
"Menulis lagi, menulis lagi," gerutu seorang siswa.
"Memangnya mengapa Nak?" Sahut Sang Guru.
"Capek Pak! Dari tadi menulis terus." Jawabnya.
Percakapan ini menggambarkan ketegangan di kelas saat guru tengah menulis di papan tulis dan murid menyuarakan kelelahannya akibat serangkaian aktivitas menulis sejak pagi.
Anak-anak memang cenderung belum memiliki kemauan kuat untuk menulis, namun hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki minat dalam menulis.
Sebagai seorang guru sekaligus orang tua, kita memilki tanggung jawab untuk menumbuhkan minat dan kemauan kuat menulis pada anak-anak dengan mengenalkan manfaat menulis sejak dini serta memperkenalkan karya-karya para ulama kepada mereka.
Tentu, hal ini juga berlaku bagi kita sebagai orang dewasa, terutama sebagai muslim dan pengemban dakwah. Mengetahui manfaat menulis, baik untuk diri sendiri, orang lain, maupun Islam, adalah langkah penting dalam menjaga warisan intelektual dan nilai-nilai positif.
Bahkan Allah Swt. bersumpah dalam Al-Qur'an dengan sebuah alat tulis, yaitu pena, sebagaimana firman dalam QS Al-Qalam ayat 1.
"Nun, Demi pena dan apa yang mereka tuliskan." (QS: Al-Qalam :1)
Ayat ini mencerminkan keagungan pena dan hasil tulisan dalam pandangan Allah, tetapi nilainya akan lebih mulia jika dilandasi oleh ibadah kepada-Nya. Sumpah ini menegaskan bahwa keberkahan dan keagungan pena tergantung pada ketakwaan dan tujuan yang diarahkan kepada-Nya.
Keagungan pena dan hasil tulisan di sisi Allah muncul ketika semuanya bermanfaat dan didasari oleh ibadah kepada-Nya.
Imam al-Ghazali mengungkapkan keberatan, menyatakan bahwa, "Setetes tinta ulama lebih berat timbangannya di sisi Allah daripada ribuan darah syuhada' yang meninggal di medan perang." Dalam konteks lain, beliau menegaskan, "Kalau Engkau bukan anak raja, dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis."
Qatadah menambahkan dimensi positif, menyatakan bahwa "Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah," serta sebagai perantara untuk memahami sesuatu, menjadikan menulis penting dalam tegaknya agama dan kehidupan yang terarah.
Sayyid Qutb menyoroti kekuatan tulisan dengan pernyataan, "Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala," mempertegas dampak luas tulisan dalam memengaruhi pikiran banyak orang.
Para ulama mewariskan tradisi menulis sebagai suatu yang istimewa dan mulia. Melalui tradisi ini, ilmu-ilmu Islam tetap lestari dan dapat diwariskan pada generasi setelahnya. Meskipun ratusan bahkan ribuan ulama telah meninggal puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, namun nama dan karya-karya mereka tetap harum dan lestari. Nama-nama ulama seperti Imam al-Syafi’I, Imam Al-Ghazali, Imam an-Nawawi, Sayyid Qutb, dan Hamka menjadi sebagian kecil dari pantheon ilmuwan Islam yang mengilhami.
Dengan menunjukkan kelestarian tradisi menulis, sudah terbukti betapa banyak manfaatnya bagi diri sendiri, orang lain, dan kemajuan Islam. Menulis, bagaikan merangkai bunga, menciptakan keindahan yang mempesona dan menarik setiap orang untuk memetiknya. Demikian juga, menulis adalah seni merangkai kata agar terasa indah, renyah, berisi, dan mengandung makna yang bermanfaat.
Dengan tulisan ini, penulis ingin menegaskan bahwa meski belum istikamah dalam menulis, Insyaallah penulis sedang berusaha menumbuhkan kemauan kuat untuk terus berkarya. Tulisan ini diharapkan menjadi pemicu semangat penulis untuk lebih konsisten.
Insyaallah, penulis berkomitmen untuk konsisten menghasilkan tulisan di bidang pendidikan, remaja, dan politik. Pemilihan ketiga bidang ini didasari oleh keahlian penulis sebagai seorang guru yang melek terhadap politik.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Via
Opini
Posting Komentar