Opini
Tingginya Beban Hidup, Mematikan Fitrah Keibuan
Oleh: Safiati Raharima, S.Pd.
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Ibu mana yang tega membunuh anak kandungnya sendiri? Jawabnya adalah ibu yang hidup dalam tekanan ekonomi dan berbagai masalah kehidupan lainnya di dalam sistem demokrasi saat ini. Memang tak mudah bertahan dalam sistem saat ini, kita butuh kekuatan keimanan dan kesabaran yang sangat luar biasa.
Apalagi bagi seorang ibu yang harus mengasuh, mendidik bahkan mencari nafkah untuk anak-anaknya. Tuntutan ekonomilah yang membuat seorang ibu harus putar otak untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Oleh karena itu, tak jarang kita temukan kasus pembunuhan yang dilakukan seorang ibu kepada anak-anaknya. Seperti yang saat ini terjadi, berita seorang perempuan 38 tahun yang tinggal 1 km dari lokasi penemuan mayat bayi laki-laki yang ditemukan di pondok kebun sawit di Desa Membalong, Kecamatan Membalong, Kabupaten Belitung ditangkap pada Jumat (19-01-2024).
Dia adalah ibu dari mayat bayi tersebut. Ironi, sang ibu membunuh bayinya tersebut usai dilahirkan.
Kasus ini berhasil diungkap Jajaran Satreskrim Polres Belitung, setelah dua hari melakukan penyelidikan pasca penemuan mayat bayi. Pelaku seorang ibu rumah tangga (IRT) yang tinggal tak jauh dari lokasi kejadian, diamankan polisi di kediamannya pada Senin (22-01-2024).
Menurut Waka Polres Belitung, Kompol Yudha Wicaksono, berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Satreskrim Polres Belitung dibantu Polsek Membalong selama dua hari berhasil mengungkap kasus ini (Selasa, 23-01-2024).
Pelaku sendiri tinggal di wilayah RT 1 Desa Membalong yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi kejadian. Sementara ini, polisi hanya mengamankan satu orang pelaku yang terlibat kejadian pembunuhan dan pembuangan bayi tersebut. Sedangkan barang bukti yang diamankan berupa satu karung warna putih dan baju pelaku berwarna merah jambu yang digunakan untuk menutupi bayi.
Yudha menjelaskan, tersangka R melakukan perbuatannya seorang diri. Mulai dari proses melahirkan di kamar mandi rumahnya hingga membuang bayi di pondok kebun warga. Berdasarkan kronologis kejadian, pelaku melahirkan bayi tersebut pada Kamis (18-01-2024) sekitar pukul 21.00 WIB. Pada saat melahirkan di kamar mandi rumahnya, pelaku sudah menyiapkan baskom plastik berisi air untuk wadah ketika bayi lahir. Ibu ini melahirkan seorang diri tanpa dibantu siapapun. Dia melahirkan normal. Lalu setelah bayi lahir, pelaku menghabisi nyawa sang bayi yang tidak berdosa tersebut.
Kepada polisi, tersangka R mengaku tega membunuh bayinya itu karena tidak menginginkan kelahirannya. Alasannya, karena tidak cukup biaya untuk membesarkan. Tersangka R memiliki suami yang bekerja sebagai buruh (bangka.tribunnews.com, 23-1-2024).
Mengapa kasus ini bisa terjadi di tengah-tengah kehidupan kita? Manusia seolah tak lagi memiliki akal sehat dan hati nurani ibu pada anak-anaknya jadi mati. Penerapan sistem salah menjadi penyebab utama semua ini bisa terjadi. Hilangnya nyawa tak menjadi masalah dalam sistem yang salah ini. Kondisi ekonomi yang makin sulit menjadi alasan utama kasus pembunuhan yang terjadi.
Meregang nyawa akibat kemiskinan yang menjadi beban kehidupan keluarga hingga tak mampu lagi bertahan hidup dalam pengurusan sistem demokrasi kapitalis. Mau mengadu pada siapa atas kesengsaraan yang dirasakan? Mau minta makan ke mana ketika perihnya menahan lapar? Mau sampai kapan semua ini terus terjadi? Hilangnya harapan hidup seorang ibu dan anak pada sistem ini bersamaan dengan semakin rakusnya para penguasa mengambil hak rakyat. Demokrasi akan terus menghasilkan berbagai kerusakan serta kegagalan melindungi ibu dan anak dari beban fisik dan psikis. Tekanan datang bertubi-tubi pada seorang ibu menyebabkannya gelap mata, hingga anak-anaknya tewas di tangannya.
Publik akan terus bertanya-tanya, kenapa bisa seorang ibu tega membunuh anak kandungnya sendiri? Namun, inilah sistem demokrasi, tindakan kriminal mudah terjadi dalam sistem ini, karena sistem ini menuhankan aturan manusia. Padahal aturan Sang Pencipta, Allah Swt. yang paling benar dan mengetahui apa yang terbaik bagi manusia.
Naluri keibuan akan makin tergerus habis dalam sistem ini, padahal naluri ini ialah salah satu bentuk naluri yang Allah berikan kepada setiap perempuan, melekat sebagai fitrahnya. Seorang ibu seharusnya sosok yang lembut, penuh kasih sayang, dan menjaga kelangsungan generasi. Seorang ibu seharusnya bukan sosok yang menakutkan bahkan menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri.
Makin banyaknya keluarga miskin menjadi salah satu indikator nyata, kaum ibu terus menjerit karena harga bahan pokok makin membumbung tinggi. Tak diragukan lagi rezim demokrasi telah gagal menjadi penanggung jawab pemenuhan segala kebutuhan rakyat dan juga gagal dalam melindungi rakyatnya. Sistem ini berupaya menjauhkan peran agama dari urusan politik.
Nyatanya pergantian pemimpin dalam sistem demokrasi selalu terjadi, tetapi tidak satu pun yang bias menyejahterakan rakyat, justru rakyat semankin melarat. Bukan hanya gagal menyejahterakan rakyat, tapi juga gagal membantu para ibu untuk mendidik anak-anaknya selama ini. Derita ibu dan anak akan berakhir jika sistem demokrasi mati dan tidak bangkit kembali.
Hanya Sistem Islam yang Mampu Memuliakan Perempuan
Setelah kita tahu bahwa sistem kapitalisme tidak mampu mengatasi penderitaan para ibu, lalu sistem apa yang berhak menggantikan sistem tersebut?
Tentunya, sistem yang mampu menggantikan sistem yang rusak adalah sistem yang berasal dari zat yang telah menciptakan manusia, alam semesta dan kehiduan ini. Sistem yang sempurna yang menjamin kemuliaan dan kesejahteraan manusia. Itulah sistem Islam.
Dalam Islam kedudukan perempuan sangat mulia sebagai pencetak generasi. Perempuan harus mengoptimalkan perannya sebagai ibu dan pengatur urusan rumah tangga (ummu wa rabbatul bait). Perempuan juga sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Selain itu, Allah tidak membedakan penciptaan perempuan dan laki-laki. Yang membedakannya hanya ketakwaan individu. Mereka diciptakan dengan kemampuan masing-masing sesuai dengan fitrahnya. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al Hujurat ayat 13 yang artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Islam telah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dengan menetapkan beban nafkah dan peran sebagai kepala keluarga ada pada pundak suami, bukan pada diri istri.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS Al-Baqarah: 233).
Jika tidak memiliki keluarga, atau ada namun keluarga tersebut tidak mampu menanggung nafkahnya, maka Islam pun memiliki solusi yang rinci. Sehingga perempuan tetap dijamin sejahtera, tanpa harus bekerja.
Pertama, kewajiban nafkah beralih ke kerabat atau tetangga. Rasulullah ï·º. bersabda:
"Tidak beriman kepada-Ku seorang yang tidur malam dalam keadaan kenyang, sementara tetangga sebelahnya lapar dan dia mengetahui.” (HR Al-Bazzar dan Thabrani).
Kedua, jika tidak ada kerabat atau tetangga yang mampu menanggung pula, maka kewajiban itu beralih pada negara. Harta tersebut diambil dari kas baitul mal. Sabda Rasulullah ï·º:
"Barang siapa meninggalkan harta (kekayaan), maka (harta itu) untuk ahli warisnya, dan barang siapa meninggalkan keluarga (miskin yg tak mampu), maka itu menjadi tanggunganku kepadaku.” (HR Bukhari).
Ketiga, jika negara tidak mempunyai kas lagi untuk menanggung, maka kewajiban ini kembali beralih ke umat Islam yang mempunyai kelebihan harta.
Berkata Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya, Al-Muhalla (4/281).
“Orang-orang kaya di tempatnya masing-masing mempunyai kewajiban menolong orang-orang fakir dan miskin, dan pemerintah pada saat itu berhak memaksa orang-orang kaya (untuk menolong fakir-miskin)."
Semua konsep di atas terbukti pernah diterapkan dalam sistem Islam yakni Khil4f4h Islamiyah. Pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Khattab, di mana ia memberikan perhatian dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin dalam menjamin kebutuhan para ibu.
Di mana kisahnya yakni Khalifah Umar mengajak asistenya Aslam melakukan ronda keliling kota untuk memastikan kondisi rakyatnya. Pada malam itu, Umar mendengar suara anak-anak menangis dari sebuah pondok. Anak itu menangis karena kelaparan. Sedangkan ibunya memasak air dan batu untuk membuat anak tenang dan tertidur. Melihat rakyatnya masih ada yang kelaparan hati khalifah Umar teriris. Lalu, umar ke Baitul Mal dan mengambil bahan makanan yang diperlukan ibu dan anak-anaknya. Asistennya Aslam meminta agar Umar menunda pekerjaan tersebut. Umar berkata, “apakah kamu menjamin bahwa besok aku masih hidup?”
Ketika Aslam menawarkan bantuan untuk membawa gandum, Umar pun menjawab,
“Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?”
Sungguh luar biasa teladan kepemimpinan dalam negara yang menerapkan sistem Islam. Dalam Islam pemimpin bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya, dan tidak akan membiarkan rakyatnya menderita, termasuk para ibu. Sebab kepemimpinan mereka akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah ï·» .
Bahkan di dalam sistem Islam, orang-orang badui yang sering berpindah-pindah, dikirimkan guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya. Kaum ibu akan tenang karena pemimpin Islam akan selalu berupaya membantu para ibu menjalankan semua perannya dalam keluarga. Dengan penerapan hukum Islam, kemuliaan para ibu sebagai pilar keluarga dan masyarakat akan terjaga, sehingga seorang ibu mampu mengoptimalkan berbagai perannya, baik sebagai individu, sebagai istri, sebagai ibu untuk mendidik anak-anaknya, maupun sebagai anggota masyarakat.
Wallahu'allam Bishawwab.
Via
Opini
Posting Komentar