Nafsiah
3 Dimensi Ketakwaan
Oleh: Ma'arif Amiruddin
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Alhamdulillah, Ramadan kembali menyapa, senang rasanya kembali memasuki bulan yang mulia ini. Bulan yang di dalamnya dilipatgandakan amalan kebaikan, sehingga kesempatan emas bagi kita untuk maksimalisasi perolehan pahala untuk kebaikan akhirat.
Suasana Ramadan mampu 'memaksa' setiap orang untuk berbuat baik, di bulan ini semua orang datang ke masjid, di bulan ini banyak yang salat malam, di bulan ini banyak yang ikut pengajian dan di bulan ini banyak yang berinfak. Alhamdulilah.
Andai saja suasana seperti ini bisa terbawa ke bulan-bulan selanjutnya, tentu akan lebih baik. Jika itu terjadi, Insyaallah, Allah akan menurunkan berkah dari langit dan bumi.
Inilah suasana ketakwaan, orang-orang berlomba-lomba dalam beramal, sebagian besar masyarakat akan berusaha mendekatkan diri pada Allah, menjauhi maksiat dan banyak berdoa.
Sejatinya, suasana ketakwaan bisa dibawa ke bulan-bulan lain. Caranya? Dengan mengaktifkan tiga dimensi ketakwaan, yakni ketakwaan individu, kelompok dan negara.
Hari ini kita menyaksikan, hanya ada dua ketakwaan yang aktif, yakni individu dan sebagian kelompok masyarakat, itupun tidak semua individu dan tidak semua kelompok masyarakat, namun kita tetap bersyukur. Alhamdulilah.
Ketakwaan individu tercermin dari perilaku individu yang rutin mengamalkan praktik ibadah mahdah, misalnya, rajin salat, rajin ke masjid, rajin ikut pengajian, rajin baca Qur'an dan bentuk ibadah individu lainnya.
Ketakwaan masyarakat bisa terdeteksi dengan lahirnya kelompok-kelompok dakwah, yang aktivitasnya adalah mengajak pada jalan Allah dengan berbagai metode. Mereka terorganisir dengan rapi, sehingga gerakannya pun berdampak di masyarakat. Sehingga muncul gelombang masyarakat 'hijrah', mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk menuju kebiasaan untuk taat pada Allah.
Ketakwaan negara seperti apa? Yakni tercermin dari kebijakan yang diambil, hukum yang diterapkan serta standar apa yang digunakan dalam menentukan nilai baik dan buruk. Hari ini kita menyaksikan, rata-rata penguasa muslim mengambil kebijakan yang tidak Islami, menerapkan hukum yang bukan dari Islam, atau minimal menerapkan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Serta landasan nilai yang diambil, bukan berdasarkan Islam.
Sehingga wajar jika hari ini, di bulan-bulan selain Ramadan, suasana ketakwaan itu luntur. Orang-orang kembali bermaksiat, selain didukung suasana dan dorongan nafsu, kemaksiatan juga seakan dipermudah dan difasilitasi oleh penguasa.
Lihatlah bagaimana praktik ribawi merajalela, perzinaan makin menjadi, judi kian marak, miras masih mudah ditemukan serta pornografi (aurat terbuka) jadi tontonan sehari-hari.
Begitulah keadaan suatu negeri yang tidak bertakwa, padahal Ramadan sudah berlalu berkali-kali, tapi tidak juga menjadi titik balik perubahan ketakwaan negara. Padahal Ramadan adalah bulan tarbiyah, yang goals nya adalah takwa. Allah Swt. berfirman:
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ùƒُتِبَ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ُ الصِّÙŠَامُ ÙƒَÙ…َا Ùƒُتِبَ عَÙ„َÙ‰ الَّØ°ِينَ Ù…ِÙ†ْ Ù‚َبْÙ„ِÙƒُÙ…ْ Ù„َعَÙ„َّÙƒُÙ…ْ تَتَّÙ‚ُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." (QS al-Baqarah [2]: 183)
Ayat di atas sangat sering diucapkan oleh para da'i, namun esensinya belum juga bisa ditangkap oleh para pemangku jabatan. Ada apa gerangan?
Mudah-mudahan Ramadan tahun ini menjadi titik balik menuju tiga dimensi ketakwaan, yakni ketakwaan individu, masyarakat dan negara. Mengingat tujuan hidup manusia memang adalah untuk ibadah, yakni taat dan patuh pada Pencipta Alam Semesta, itulah esensi takwa.
Via
Nafsiah
Posting Komentar