Opini
Banjir Impor Jelang Lebaran, Solusi atau Sekadar Ambisi?
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
TanahRibathMedia.Com—Bulan Ramadan dan hari raya selalu diidentikkan dengan momen dimana jumlah permintaan barang yang meningkat. Terutama bahan pangan. Namun sayang, masalah berulang selalu terjadi. Lantas apa yang bisa menjadi solusi?
Kebijakan ala Sistem Destruksi
Salah satu permintaan yang cukup melonjak di momen bulan puasa dan hari raya adalah permintaan daging sapi. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi menyatakan impor daging dan sapi hidup akan segera tiba dalam waktu 2 - 3 pekan mendatang. Jumlah tersebut merupakan volume impor daging sapi yang telah disetujui pada tahun ini, yakni sebesar 145.250,60 ton (cnbcindonesia.com, 19-3-2024).
Ternyata tidak hanya daging sapi, impor barang-barang konsumsi pun ditengarai melonjak tajam menjelang lebaran tiba. Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menyatakan, nilai impor barang konsumsi per Februari 2024 sebesar US$ 1,86 miliar atau naik 5,11% daripada nilai impor Januari 2023. Sementara, dibandingkan Februari 2024 yang senilai US$ 1,36 miliar, dinyatakan naik sebesar 36,49% (cnbcindonesia.com, 15-3-2024). Kenaikan impor mencakup barang-barang peralatan mekanis, kendaraan, mesin, perlengkapan elektrik. Bahan pangan pun tidak ketinggalan, menunjukkan nilai impor dengan kenaikan pesat, antara lain beras dan bawang putih.
Kebutuhan yang meningkat saat bulan puasa dan lebaran yang datang setiap tahun, semestinya mampu diantisipasi dengan kebijakan cerdas yang tidak hanya mengandalkan keran impor. Program ketahanan dan kedaulatan pangan seharusnya menjadi program utama yang mampu menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional. Namun faktanya, kebijakan yang diterapkan saat ini sama sekali tidak mengacu pada kebijakan ketahanan pangan nasional. Justru sebaliknya, keran impor terus dibuka, namun kebijakan yang ada pun tidak mampu mempengaruhi harga barang konsumsi di pasar.
Kebijakan impor dinilai sebagai keputusan akhir yang mampu menuntaskan setiap masalah kekurangan stok di dalam negeri. Seolah menjadi tradisi, apalagi menjelang momen penting seperti bulan puasa dan hari raya.
Sebetulnya, negeri ini kaya akan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi yang melimpah. Dengan mekanisme pengelolaan yang benar, semestinya ketahanan pangan mampu terwujud sehingga mampu memenuhi setiap kebutuhan individu rakyatnya. Tanpa harus selalu bergantung pada impor.
Hanya saja, kebijakan menuju ketahanan pangan yang kuat membutuhkan keberanian dan kekuatan serta dana besar untuk mewujudkannya. Dan masalah ini menjadi masalah utama yang dihadapi Indonesia. Tidak hanya itu, ketahanan pangan dalam negeri juga sangat dikendalikan oleh kebijakan politik yang kuat.
Namun sayang, setiap kendala yang ada saat ini sama sekali tidak mampu disolusikan dengan cerdas. Indonesia yang saat ini menerapkan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal global, menjadikan kebijakan yang ada selalu dalam kendali negara asing. Sehingga negeri ini tidak mampu menentukan arah kebijakannya secara mandiri. Akibatnya Indonesia harus menandatangani Agreement of Agriculture yang memaksa negeri ini terlibat dalam liberalisasi pasar. Maknanya, tidak ada hambatan tarif atau hambatan lainnya dalam arus barang dan jasa antara satu negara dengan negara lainnya. Kebijakan inilah yang memudahkan setiap komoditas pangan impor membanjiri pasar dalam negeri.
Sebetulnya, impor pangan hanya akan mengancam kedaulatan negara. Impor pangan semakin lebar terbuka dengan adanya pengesahan UU Omnibus Law. Kebijakan tersebut semakin memperjelas bahwa pengadaan pangan melalui impor hanya sebagai bentuk orientasi bisnis yang selalu memperhitungkan untung rugi.
Sistem kapitalisme juga telah melegalisasi swastanisasi pangan. Akibatnya perusahaan korporasi besar bermain bisnis di bidang peternakan dan pertanian. Dengan kebijakan tersebut, mau tidak mau rakyat harus membayar mahal setiap kebutuhan pangannya setiap hari.
Kebijakan ala Islam
Masalah pangan merupakan salah satu masalah strategis dalam pelayanan rakyat. Sehingga wajib dikendalikan dalam sistem kebijakan yang amanah melayani rakyat. Bukan menjadikan rakyat sebagai obyek dan target bisnis.
Ketahanan pangan juga merupakan syarat penting agar suatu negara memiliki pengaruh besar. Rasulullah saw. bersabda,
"Barangsiapa diantara kalian mendapati rasa aman di rumahnya, diberi kesehatan badan dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul untuk dirinya." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sistem Islam memiliki konsep politik ekonomi yang sistematis dengan basis syariat Islam. Kebijakan tersebut salah satunya meliputi kebijakan politik pangan dan peternakan. Kebijakan tersebut menetapkan mekanisme pelayanan pangan untuk setiap individu rakyat, baik kebutuhan pokok maupun pelengkapnya.
Politik ekonomi meniscayakan hadirnya negara sebagai pengurus utama bagi rakyatnya, dengan penjaminan yang sempurna. Mekanisme kebutuhan pangan dalam sistem Islam meliputi, optimalisasi produksi, mendorong produksi lokal dan mengoptimasi hasil pangan dalam negeri, baik melalui intensifikasi, ekstensifikasi maupun diversifikasi yang semuanya berbasis pada teknologi terapan yang modern. Sehingga kualitas dan kuantitasnya terjamin.
Negara pun akan menjamin penyediaan subsidi yang memudahkan petani dalam mengembangkan produksi dengan teknologi mumpuni. Setiap biaya pengembangan kebijakan pangan ditetapkan dalam pos Baitul Maal. Dengan konsep tersebut, ketahanan pangan niscaya tercipta. Tidak perlu lagi tergantung pada impor atau kebijakan swasta asing yang terus menggadai kedaulatan negara.
Semua konsep ini hanya mampu diwujudkan dalam sistem Islam dalam wadah khil4f4h. Satu-satunya institusi dengan fondasi akidah Islam, melayani setiap rakyat dengan khidmat. Semata-mata sebagai bentuk ketundukan pada syariat Allah Swt.. Rida Allah Swt. tercurah, hidup pun penuh berkah.
Wallahu'alam bisshowwab.
Via
Opini
Posting Komentar