Opini
Demokrasi Bikin Crazy?
Oleh: Nanik Farida Priatmaja, S. Pd.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Pesta demokrasi 2024 telah usai. Kini saatnya proses penghitungan suara, yang pastinya sukses membuat cemas hati para kandidat peserta pemilu.
Meski penghitungan cepat (quick count) telah dilakukan dan diketahui hasilnya, namun penghitungan di lapangan masih belum final.
Seperti pemilu tahun-tahun sebelumnya, pesta demokrasi tak jarang menyisakan duka. Terutama bagi para kandidat atau caleg gagal mengalami gangguan mental usai penghitungan suara. Pasalnya harapan mereka pupus dan harus menanggung beban secara fisik ataupun psikis. Tak heran banyak yang berakhir di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Direktur RSUD dr. Abdoer Rahiem Roekmy Prabarini menyampaikan, ada sejumlah kasus gangguan jiwa yang harus segera ditangani dan mendapat perawatan. Di antaranya, kecemasan berlebihan hingga berhalusinasi, meracau, mendengar dan melihat sesuatu yang ilusi, tidak enak makan, bahkan tidak mau mandi. Berdasarkan yang sudah-sudah, banyak dari para “caleg gagal” mengalami gangguan mental yang demikian.
Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ. menyampaikan, caleg yang mencalonkan diri, tetapi tanpa tujuan jelas dan hanya untuk kekuasaan ataupun materi, rentan mengalami gangguan mental. Ini karena jika kalah, pasti kecewa berat, hingga depresi dan ingin mengakhiri hidupnya. Bahkan, yang depresi bukan hanya calegnya, melainkan juga keluarga dan tim suksesnya. (Antara News, 11-12-2023).
Maraknya caleg gagal dan berakhir dengan gangguan jiwa adalah bukti nyata bahwa pesta demokrasi rawan menjadikan para kontestan rentan gangguan jiwa. Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya yakni mahalnya biaya pemilu, hampir mayoritas peserta pemilu hanya bertujuan meraih kekuasaan semata, kontestan yang mendapat suara terbanyak tak mampu merepresentasikan suara rakyat.
Sudah bertahun-tahun pesta demokrasi digelar dengan mahal, mau tak mau para kontestan (baik eksekutif maupun legislatif) membutuhkan modal besar. Seperti yang disampaikan Fahri Hamzah, untuk menjadi capres membutuhkan dana setidaknya Rp5 miliar. LPM FE UI mengatakan bahwa untuk menjadi caleg DPR RI berkisar Rp1,15 miliar hingga Rp4,6 miliar.
Tak dimungkiri ongkos demokrasi di negeri ini memang mahal. Pasalnya biaya tersebut digunakan untuk berbagai hal. Misalnya untuk biaya akomodasi ke daerah pemilihan (dalil) butuh penginapan, transportasi, keperluan konsumsi dan sebagainya. Belum lagi biaya kampanye semisal produksi baliho, benner, kaos, iklan di media baik online ataupun offline. Memiliki tim sukses pun butuh banyak dana, semisal untuk pengumpulan masa, bakti sosial, biaya saksi hingga "pesangon" untuk menggait hati rakyat.
Wajar para kontestan pesta demokrasi harus merogoh kocek ratusan juta hingga miliaran demi mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Tak jarang mereka pun memperoleh modal dengan menjual aset, berutang hingga mencari sponsor. Sehingga ketika mereka gagal maka harapannya akan runtuh, hartanya terkuras habis bahkan beban mental tak hanya dirasakannya sendiri namun juga keluarga dan tim suksesnya. Inilah yang menjadikan para kontestan gagal rentan terjadi gangguan jiwa.
Bagi sebagian orang menjadi bagian dari wakil rakyat adalah perjuangan dan hanya bisa dilakukan melalui pemilu. Namun mayoritas calon legislatif bertujuan hanya memperoleh kekuasaan dan kekayaan.
Sistem demokrasi berasas sekuler menghimpun para kontestan yang berpaham sekuler pula. Sehingga mereka tak segan melakukan segala cara untuk bisa memenangkan kontestasi dan tak peduli halal haram. Wajar jika keberadaan wakil rakyat jauh dari rakyat.
Sistem sekuler menjadikan masyarakat sangat awam dengan agama. Bahkan tak paham hakikat penciptaan manusia yakni beribadah kepada Allah Taala. Menjadikan materi sebagai sumber kebahagiaan. Sehingga meraih jabatan menjadi mimpi besar dan dianggap mampu menaikkan harga diri. Jabatan adalah jalan kemudahan mendapat fasilitas hidup. Tak mengherankan para kontestan sekuler akan mengalami depresi ketika tak mendapat suara terbanyak, karena salah memaknai tujuan hidup sejak awal.
Fakta pemilu dari tahun ke tahun nyatanya tak menghasilkan para wakil rakyat yang sesuai dengan harapan rakyat (pro rakyat). Pasalnya berbagai kebijakan yang ditetapkan wakil rakyat malah tidak memihak rakyat. Slogan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat nyatanya hanyalah slogan yang tak mampu terialisasi.
Legalisasi kebijakan hanya memenuhi kemaslahatan oligarki. Misalnya munculnya banyak UU yang sangat pro oligarki yang ditetapkan padahal banyak penolakan dari rakyat. Sehingga siapa pun pemenang pemilu baik presidennya ataupun anggota parlemennya, tidak mampu menjamin kesejahteraan ataupun keadilan bagi rakyat.
Pesta demokrasi ini hanyalah alat untuk mengukuhkan kekuasaan para oligarki. Rakyat seakan berperan sebagai penentu penguasa, padahal para oligarki dan politisi telah mengatur sedemikian rupa agar yang menjadi pemenang adalah mereka yang bisa "disetir" dan disukai oligarki. Hal inilah pula yang menjadi salah satu penyebab munculnya kecurangan semisal hasil perhitungan tinggi namun ternyata posisinya terjegal dan tak mampu berbuat banyak sehingga depresi.
Kekuasaan ataupun jabatan dalam Islam adalah amanah yang berat. Kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Siapapun yang memegang kekuasaan maka harus benar-benar menjalankan amanahnya secara maksimal.
“Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim).
Jabatan adalah amanah yang harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Sehingga pemegang jabatan harus paham agama dan memiliki kapabilitas. Jika tidak, maka akan menjerumuskan diri sendiri dan mencelakakan umat.
Para kandidat pemegang kekuasaan dalam Islam adalah mereka yang taat kepada Allah Swt. dan bertujuan semata untuk mencari rida-Nya. Sehingga jika ia tak mendapatan jabatan, maka tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya.
Pemilu dalam sistem politik Islam dilaksanakan secara sederhana, tak membutuhkan biaya tinggi hingga para kandidat perlu menguras harta apalagi berutang. Sehingga ketika tidak terpilih maka tidak menjadi beban. Individu yang memiliki keimanan yang tinggi, baginya kemenangan dan kekalahan keduanya adalah ketetapan Allah Swt. yang harus disyukuri.
Walhasil, masihkah mempertahankan sistem demokrasi yang jelas-jelas bikin crazy?
Via
Opini
Posting Komentar