Opini
Demokrasi Game Politik: Ketika Politik Jadi Arena Permainan
Oleh : Mihzam Farid
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Demokrasi Game Politik (DGP) menjadi panggung pertarungan di ranah politik yang dirancang oleh para kapital untuk memegang kendali kekuasaan negara.
Peserta utamanya adalah politikus yang haus akan ketenaran dan kekuasaan.
Sejarah Demokrasi
Gagasan demokrasi berawal dari kebudayaan Yunani, di mana rakyat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan negara. Sejarah demokrasi Amerika Serikat (1829-1877) seperti yang diuraikan dalam buku "Throes of Democracy" karya Walter A. Mcdougall, mencerminkan pergolakan politik pada masa itu. Cleisthenes, bapak demokrasi Athena, memperkenalkan demokrasi langsung dengan pemilihan warga secara acak, memberikan kontrol langsung dari rakyat terhadap pemerintahan. Namun, di Eropa Barat pada abad pertengahan, konsep demokrasi langsung tidak diterapkan.
Parlemen Inggris, sejak Magna Carta, membatasi kekuasaan raja dan melindungi hak-hak tertentu rakyat. Meskipun Parlemen De Montfort pada 1265 langkah awal terpilihnya parlemen, partisipasi terbatas hanya pada beberapa orang terpilih.
Aturan Main Demokrasi Game Politik (DGP)
Seperti permainan pada umumnya, DGP memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh para pemain (elit politik). Contohnya, pemain harus berkontrak dengan oligarki sebagai penyokong dana. Demokrasi menjadi dasar permainan ini.
DGP terbagi dalam beberapa ronde dengan alur permainan yang berbeda, menciptakan dinamika politik yang kompleks. DGP menghadirkan dinamika permainan yang berubah setiap ronde. Pemain harus menavigasi taktik yang berbeda-beda untuk tetap relevan dan mendapatkan keunggulan. Keselamatan politik mereka tergantung pada kemampuan mereka menguasai berbagai aspek permainan.
Ronde Pertama: Perburuan Harta Karun dalam Demokrasi Game Politik (DGP)
Dalam ronde pertama, peserta terlibat dalam permainan mencari harta karun politik. Mereka harus mengumpulkan teman politik, jabatan, dan sumber daya materi seperti uang. Bagi pemenang DGP sebelumnya, ini menjadi tantangan untuk mempertahankan harta karun mereka. Namun, bagi peserta lain, opsi bergabung dengan pemenang (berkoalisi) atau menjadi lawan (oposisi) muncul sebagai strategi. Mereka membangun kekuatan baru untuk menandingi, menciptakan dinamika persaingan yang menarik dalam arena politik.
Ronde Kedua: Intrik Politik dan Manuver Taktis
Pada ronde kedua, peserta menghadapi tantangan baru dengan meningkatnya intrik politik dan manuver taktis. Aliansi dapat terbentuk atau runtuh, dan permainan kekuasaan semakin kompleks. Para pemain harus cerdas dalam memilih sekutu dan menjaga stabilitas, sambil terus mengejar harta karun politik untuk memastikan kelangsungan permainan.
Ronde Ketiga: Momen Klimaks dan Strategi Terakhir
Ronde ketiga menjadi puncak permainan, di mana peserta mencapai momen klimaks dan merancang strategi terakhir mereka. Persaingan makin ketat, dan keputusan strategis menjadi kunci untuk memenangkan permainan. Pemain harus bijak dalam menggabungkan kekuatan politik dan sumber daya untuk mendominasi panggung politik.
Final: Panggung Demokrasi - Momen Pemilihan Umum
Puncak Demokrasi Game Politik (DGP), panggung demokrasi mencapai momen krusial: Pemilihan Umum. Peserta terbaik yang telah bertahan melalui berbagai ronde bersaing untuk memenangkan dukungan rakyat dan menduduki posisi tertinggi.
Dalam persiapan menuju pemilihan, peserta merancang strategi terakhir dan melontarkan janji politik untuk menarik pemilih. Kredibilitas dan daya tarik peserta diuji di antara pemilih yang menjadi penentu akhir permainan ini. Janji-janji tersebut menjadi kunci untuk meraih kepercayaan dan mendapatkan suara mayoritas.
Sebenarnya, final ronde ini bisa dianggap sebagai bentuk perjudian politik bagi para peserta DGP, yang bertaruh untuk mencapai kemenangan.
Potensi cara curang dan taktik kotor menjadi fenomena yang mungkin terungkap di panggung final ini. Apalagi, mereka harus memenangkan pertandingan sesuai tuntutan dari oligarki yang mendukung mereka.
Perspektif Islam terhadap Demokrasi
Dalam visi Islam, demokrasi menciptakan perdebatan dan interpretasi yang beragam. Beberapa ulama dan cendekiawan Islam mendukung nilai-nilai demokrasi sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial dan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan. Meskipun demikian, sebagian ulama lain berpendapat bahwa demokrasi dianggap sebagai sistem kafir yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip Islam, terutama dalam pengambilan hukum yang dalam Islam diberikan hak prerogatif kepada Allah Swt..
Demokrasi juga dianggap dapat menghasilkan pemahaman sekularisme, yang memisahkan agama dan kehidupan, serta konsep-konsep lain yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, solusi politik yang sesuai bagi umat Islam bukanlah demokrasi, melainkan sistem siyasah (politik)Islam, yaitu Khil4f4h.
Via
Opini
Posting Komentar