Opini
Drama di Balik Ambisi Berkuasa
Oleh: Ummu Fifa
(Muslimah Indramayu)
TanahRibathMedia.Com—Rakyat Indonesia baru saja menyelesaikan penyelenggarakan kontestansi politik dalam memilih presiden-wakil presiden, anggota legislatif pusat, anggota legislatif daerah tingkat I dan II serta anggota DPD.
Seperti biasa sebelum pesta demokrasi tersebut digelar, jauh-jauh hari para calon menyiapkan aktivitas ritual berupa upaya pembentukan image untuk menarik perhatian rakyat. Beragam cara ditempuh mulai dari tiba-tiba menjadi agamis, blusukan, sampai bagi-bagi sembako dan uang.
Baru hitungan hari kita melewati momen tersebut, perolehan suara para kontestan sudah bisa diprediksi. Bagi pemenang, mereka menanggapinya dengan suka cita. Namun bagi yang belum beruntung, beragam ekspresi ketidakpuasan mulai tampak. Salah satunya diberitakan oleh laman news.okezone.com (19-02-2024), seorang caleg DPRD Kabupaten Subang membongkar kembali jalan yang sebelumnya ia bangun. Selain membongkar jalan, ia juga melakukan aksi teror petasan yang menyebabkan seorang warga berusia 60 tahun mengalami serangan jantung hingga tewas. Lebih dari itu, ada juga yang mengalami stres, depresi, hingga bunuh diri.
Gangguan Mental Suatu Keniscayaan dalam Pesta Demokrasi
Mekanisme pemilihan calon pemimpin dalam sistem demokrasi tidaklah sederhana. Faktanya kepiawaian bukanlah yang utama untuk bisa memenangkan kontestansi politik. Kurangnya edukasi politik yang benar, diperparah dengan lemahnya pola pikir masyarakat, menjadikan praktek money politic-lah yang menentukan seseorang menang atau kalah.
Dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk bisa “membeli suara” rakyat. Nilai rupiah yang digelontorkan bukan receh-receh, nominalnya bahkan mencapai bilangan miliar. Kondisi ini yang menarik para sponsor yang notabene mereka adalah pengusaha, untuk ikut berkiprah dalam membekingi kemenangan sang calon. Tentunnya istilah “no free lunch” berlaku di sini. Kontrak politik tak dapat dihindari di area ini. Mekanisme pemilihan seperti ini lah yang menjadi cikal bakal terbentuknya pemerintahan oligarki.
Maka celakalah bagi mereka yang kalah dalam arena pertandingan. Mereka harus memikirkan bagaimana cara mengembalikan dana yang telah terpakai selama masa kampanye. Pada akhirnya berita-berita caleg yang gagal nyalon dan tim suksesnya mengalami gangguan mental sampai nekad bunuh diri, menjadi informasi yang marak pascapemilu. Berbagai fenomena tersebut menggambarkan lemahnya mental para calon pemimpin atau tim suksesnya yang hanya siap menang dan tidak siap kalah.
Mengapa Berambisi Menjadi Pejabat?
Dalam sistem demokrasi-kapitalis, hubungan antara pemimpin dan rakyat terbentuk seperti majikan dan pelayan. Namun tak seperti biasanya, posisi majikan (yang disimbolkan dengan rakyat) justru menempati posisi marjinal, tertuntut, dan pasrah untuk menjalankan segala aturan yang disahkan oleh pelayan rakyat (yang disimbolkan dengan pejabat).
Dengan dalih telah melayani rakyat, maka menurut para pejabat, wajar jika mereka memperoleh upah. Nelangsanya upah untuk pelayan rakyat tersebut diperoleh dari hasil pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat, karena sebagian besar hasil pengelolaan SDA sudah menjadi hak pribadi para pengusaha.
Aspek inilah yang menggiurkan para penganut kapitalis, yaitu upah, fasilitas, dah posisi kekuasaan. Bukan lagi menjadi perkara yang tabu, di tengah himpitan hidup rakyatnya, media daring ataupun luring menyuguhkan informasi mengenai besarnya gaji dan tunjangan para pejabat. Ditambah dengan “bonus” selama berkuasa, mereka juga bisa menjadi pahlawan bagi anggota keluarganya. Cukup mudah bagi mereka untuk mempraktikan nepotisme. Memosisikan anak keturunannya pada “tempat-tempat basah” dan strategis.
Sehingga bagi mereka yang memiliki peluang, apapun akan ditempuh untuk menempati posisi tersebut. Tak peduli besarnya biaya yang harus dikeluarkan dengan pamrih mendapat suara atau dukungan rakyat. Maka tak ayal, mahalnya biaya pencalonan ini, membuat sebagian rakyat merasa pesimis bahwa pemilu mampu mewujudkan pemimpin yang amanah.
Ketika mereka terpilih, yang pertama kali akan mereka tunaikan adalah menyelesaikan kontrak politik. Langkah berikutnya mengamankan ekonomi pribadi plus menyiapkan keberlanjutan kekuasaannya. Kesulitan hidup mayoritas rakyat hanya menjadi “barang dagangan” politik di masa-masa kampanye.
Inilah yang akan terus dilestarikan oleh para pejuang demokrasi. Melenakan para pejabat dalam meraih kebahagiaan dunia. Mereka berlomba-lomba untuk me
ndapatkan bagian terbesar dalam kekayaan dunia. Pada akhirnya, jurang terjal pun sangat nyata terbentuk. Menciptakan kesenjangan ekonomi yang sangat curam antara pejabat dan rakyatnya.
Amanah Kepemimpinan dalam Islam
Karakteristik akidah Islam yang lurus menuntun manusia untuk senantiasa menghamba hanya kepada Allah Swt.. Zat yang Maha Melimpahkan rezeki-Nya untuk seluruh manusia, sekaligus Zat yang Maha Mengatur agar manusia senantiasa dalam naungan keadilan. Allah Swt. berfirman:
“Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS Al-An’am: 162).
Dibaca sebagai doa iftitah dalam setiap salat, seorang hamba yang mukhlis paham bagaimana seharusnya menjalani kehidupan dunia. Keridaan Allah yang menjadi tujuan dan sumber kebahagiaannya. Mereka senantiasa akan menimbang setiap perbuatannya dengan standar Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Berawal dari ketulusan akidah tersebut, mereka hanya akan memilih pemimpin yang sejalan dengan visi misi hidupnya. Seorang pemimpin yang faqih terhadap ilmu dan pemahaman Islam. Berbekal pemahaman agama yang baik, rakyat merasa yakin, seorang pemimpin yang ber-syaksiyah Islamiah (berkepribadian Islam) mampu menjaga kehidupannya selamat sampai akhirat.
Mekanisme pemilihan seorang pemimpin pun sangat sederhana, tidak membutuhkan biaya mahal serta penuh kejujuran tanpa tipuan dan janji-janji palsu. Islam telah mengaturnya sebagaimana yang telah dicontohkan oleh generasi terbaik umat yaitu Rasulullah dan para penerusnya. Proses pemilu hanya dijadikan sebagai uslub (cara) menetapkan seorang pemimpin. Melalui majelis ummat di setiap daerah, rakyat mewakilkan pilihan yang dikehendakinya untuk kemudian ditetapkan sebagai pemimpin umat dengan batas waktu tidak lebih dari tiga hari.
Seorang “faqih fiddin” tidak berharap terpilih menjadi pemimpin, karena dia paham konsekuensinya di hadapan Allah Swt.. Kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Rasulullah saw. mengingatkan para pemimpin dalam sabdanya:
“Sungguh manusia yang dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim.” (HR Tirmizi).
Seseorang menerima kepemimpinan dengan dorongan bahwa umat harus ada yang menjaga, mengurusi, mengayomi, cukup makan dan minum serta terjaga dari musuh-musuh yang senantiasa menginginkan kebinasaannya. Berbekal keimanan yang baik, serta penjagaan dari rakyat yang sefrekuensi, kepemimpinan yang adil niscaya terwujud.
Kondisi ini akan terus diperjuangkan oleh sebagian masyarakat yang mendambakan ketinggian moral dalam balutan keimanan. Suatu aktivitas yang tak akan hilang dari umat terbaik yakni amar ma’ruf nahi munkar. Sampai akhirnya ummat ini kembali kepada kepemimpinan yang satu.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar