Nafsiah
Duka di Hari Pertama
Oleh: Cesc Riyansyah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Tak terasa Ramadan telah tiba padahal terasa baru kemarin sore kita ditinggal olehnya, tamu agung yang selalu dirindukan kaum muslimin di seluruh dunia.
Hari ini sebagian kaum muslim telah berbuka sebagai tanda selesai melaksanakan ibadah puasa selama sehari penuh.
Namun perasaan yang ada di hari pertama tak karuan, entah suka atau duka, bahagia atau justeru berderai air mata.
Saat hidangan berbuka ada di depan mata, meski alakadarnya menu khas Indonesia, kolak pisang dan kolang-kaling tentu menjadi menu favorit siapa saja.
Setiap suapannya terasa tak bermakna, bukan tak bahagia telah masuk waktu berbuka. Tetapi, tib-tiba saja terbayang wajah-wajah mereka yang entah pada hari ini bisa berbuka atau tidak.
Tak sadar air mata mulai berderai, teringat saudara di Palestina. Mereka pada hari ini juga menjalani puasa pertama, namun bedanya mereka sudah tidak makan sejak beberapa bulan lamanya.
Itulah yang menjadi sebab hari pertama ini sedikit tak bermakna sebab kita disini dapat berbuka tetapi saudara kita di Palestina entah makan atau tidak.
Begitu menyayat hati, saat di negeri sendiri masih sibuk berdebat masalah perbedaan penentuan awal Ramadan. Padahal di negeri para Nabi sedang sibuk untuk bisa mempertahankan diri.
Bertahan dari rasa haus dan lapar, bertahan dari rasa dingin yang menusuk hingga tulang, bahkan mereka berusaha bertahan dari dentuman meriam zionis laknatullah 'alaih.
Sungguh ironis kondisi negeri muslim terbesar dunia ini, hari-harinya disibukkan dengan masalah pribadi. Masalah negara yang tak kunjung usai hingga ia lupa pada saudara yang tengah menderita.
Bulan puasa yang seharusnya jadi momen persatuan malah terus berdebat masalah yang seharusnya tidak boleh diperdebatkan secara syariat.
Tuhan kita sama, Nabi kita sama, kitab dan kiblat kita pun sama. Tapi kenapa puasa kita selalu berbeda serta rasa dan kepedulian kita kepada sesama selalu tak sama.
Indonesia dan Palestina hanya terpisah karena wilayah. Tetapi masalah akiidah kita tidak ada perbedaan. Jika di sini kita berbuka, maka di sana juga berbuka. Jika di sini kita makan enak maka seharusnya di sana juga bisa makan enak. Jika di sini kita bahagia, maka di sana juga mereka harus bersuka cita.
Namun itu semua hanya cerita, akibat sekat negara bangsa kita dan Palestina seperti saudara namun tak pernah dipersaudarakan.
Sudah saatnya Ramadan jadi momen bersatunya kaum muslimin. Bukan hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia.
Pertanyaan, dengan apa kita bisa bersatu? Dengan apa kita bisa bersama jika dengan sekat negara bangsa tidak bisa lalu apa yang dapat persatukan kita?
Demokrasi kapitalisme telah nyata membuat kaum muslimin terpecah belah. Menjadikan kepingan puzzle yang tercecer diberbagai negeri.
Maka harus ada sebuah sistem kehidupan yang mampu menyatukan kembali puzzle-puzzle tersebut sehingga kaum muslimin dapat berpuasa bersama di hari yang sama dan berbuka dengan kenikmatan yang sama.
Sistem kehidupan itu tak lain hanya Khil4f4h sebab sejarah telah membuktikan lebih kurang 14 abad lamanya kaum muslim ada dalam satu suara, satu komando dan yang terpenting satu perasaan, satu pemikiran dan satu aturan sehingga terciptanya kesamaan dan kesejahteraan diseluruh dunia Islam.
Via
Nafsiah
Posting Komentar