Opini
Generasi Rusak Makin Marak?
Oleh: Umi Hanifah
(Aktivis Muslimah Jember)
TanahRibathMedia.Com—Kesucian bulan Ramadan ternodai oleh ulah pemuda dengan aksinya yang di luar kemanusiaan, seorang siswi SMP dirudapaksa oleh 10 pemuda. Miris, marah, dan sedih melihat kondisi generasi saat ini, padahal merekalah calon pemimpin di negeri ini.
N, pelajar SMP berusia 15 tahun di Kabupaten Lampung Utara diperkosa 10 pria. Korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubung di wilayah Lampung Utara pada Sabtu (Kompas.com, 17-2-2024).
Peristiwa tragis ini tidak hanya sekali dua kali namun sudah sering terjadi . Hal ini tentu tidak bisa di biarkan, pemimpin dan aparat terkait harus mengambil tindakan tegas terhadap semua pelaku dengan memberikan hukuman keras agar mereka jera.
Aturan dan hukuman bagi pelaku pemerkosaan tertuang dalam pasal 285 KUHP dengan hukuman bagi pelaku maksimal 12 tahun penjara (Tirto.id, 17-2-2024).
Jika kita amati, hukuman seperti ini belum membuat efek jera bagi para pelaku, yang ada mereka makin berani melakukannya.
Maraknya generasi rusak menunjukkan beberapa kesalahan:
Pertama, rapuhnya bangunan keluarga. Keluarga sebagai pelindung dan tempat ternyaman sudah tidak bisa dirasakan lagi. Ayah dan ibu sibuk di luar rumah, mereka hanya memberi asupan nutrisi fisik namun lupa memberikan kasih sayang serta teladan yang baik bagi anak. Akibatnya anak tumbuh liar tidak terkendali, mencari jati diri namun salah arah. Mereka tidak tahu lagi mana yang baik dan buruk, asal mereka senang maka akan dilakukan meskipun merusak diri dan orang lain.
Kedua, gempuran media dengan tontonan pornografi yang bebas nilai menjadi santapan setiap hari. Akibatnya anak-anak yang seharusnya mencurahkan pikiran serta tenaganya demi masa depan teralihkan pada aktivitas sampah, masalah sahwat.
Ketiga, kurikulum pendidikan yang berorentasi pada dunia kerja tetapi tidak pernah menyentuh iman maka menghasilkan akhlak generasi menjadi bejat. Kurikulum yang bergonta-ganti nyatanya gagal menghasilkan anak didik berprestasi, namun menjauhkan rasa empati hingga sering menyakiti.
Keempat, lemahnya hukuman yang mengakibatkan terulang kembali perbuatan haram tersebut. Apalagi salah definisi tentang anak, usia di bawah 18 tahun dikatakan anak-anak yang belum bisa dikenakan hukuman. Padahal anak-anak usia 7 tahun sudah bisa membedakan baik dan buruk.
Kelima, abainya negara sebagai pelindung jiwa dan kehormatan rakyatnya. Sudah sering kali peristiwa serupa namun tidak pernah segera membuat kebijakan untuk menghentikannya, hanya sekadar himbauan agar para orang tua mendampingi anaknya agar tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah. Tayangan porno yang terbukti menjadi pemicu tindakan rusak juga masih bebas berseliweran, tidak berkurang justru semakin marak.
Semua kesalahan di atas adalah akibat di terapkannya sistem sekularisme kapitalis yang menyingkarkan agama dalam pengaturan kehidupan. Manusia merasa sombong bisa menentukan baik dan buruk dengan kesepakatan suara terbanyak. Anehnya masih banyak manusia yang masih mempertahankan sistem ini, sepertinya acuh yang penting bukan anaknya yang menjadi pelaku dan korbannya.
Di sisi lain, Islam sebagai sistem hidup mampu menjamin keamanan jiwa serta kehormatan rakyatnya dengan beberapa langkah:
Pertama, melarang tontonan yang merusak akal, tayangan pornografi dan yang menjerumuskan lainnya. Masyarakat dipahamkan bahwa memproduksi, menyebarkan, dan melihat konten porno adalah dosa besar serta akan menjerumuskan manusia pada kerusakan.
Kedua, membentengi keluarga agar tetap sebagai fungsinya dengan mencukupi kebutuhan dasar mayarakat. Ayah bisa maksimal dalam bekerja serta melindungi keluarganya, dan ibu akan tenang dirumah untuk mengurusi serta mengarahkan anak-anak dengan limpahan kasih sayangnya.
Ketiga, kurikulum yang berlandaskan akidah menjadikan para generasi tahu jatidirinya adalah khalifah fil ard. Mereka akan produktif dan siap menjadi calon pemimpin yang meninggikan Islam. Kehidupan mereka bermartabat jauh dari pergaulan bebas.
Keempat, sanksi yang dikenakan tegas dan membuat jera. Bagi pemerkosa yang belum menikah hukumannya di jilid 100 kali dan di ungsikan satu tahun di kota yang terpencil. Bagi pelaku yang sudah menikah hukumannya di rajam hingga mati. Hukuman di saksikan oleh masyarakat agar mereka tidak pernah terpikirkan untuk menirunya.
Pertanyaannya, maukah kita di atur dengan sistem Islam yang terbukti menjaga generasi dari berbagai kerusakan?
Allahu a’lam
Via
Opini
Posting Komentar