Nafsiah
Hikmah Ramadan: "Puasa untuk Allah"
Oleh: Maman El Hakiem
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Hari Ketujuh Ramadan
TanahRibathMedia.Com—Setiap perbuatan atau amal manusia di dunia memiliki nilai dan tujuannya. Khusus berkaitan dengan ibadah, jika melakukan amal tanpa disertai dalil berupa perintah untuk mengerjakannya, maka amal tersebut tidak termasuk ibadah. Berpuasa pada bulan Ramadan merupakan perintah Allah Swt. yang hukumnya wajib, sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 183, bahkan termasuk ibadah istimewa yang langsung untuk Allah Swt. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Bukhari dikatakan, Allah Swt. berfirman, yang maknanya “Setiap amal manusia adalah untuknya kecuali puasa. Amal orang berpuasa adalah untuk-Ku”.
Apa yang tersirat pada hadis tersebut mengindikasikan, bahwa setiap amalan manusia adalah untuknya, kecuali amalan puasa, Allah Swt. khususkan untuk diri-Nya. Dengan kata lain, bahwa Allah telah menyematkan amalan puasa untuk-Nya.
Betapa pentingnya amalan puasa ini, sehingga mungkin muncul pertanyaan, "Kenapa Allah bisa menyematkan amalan puasa untuk-Nya?" Menurut para ulama setidaknya ada dua alasan berikut ini:
Pertama, ibadah puasa menjadikan seseorang harus meninggalkan berbagai kesenangan dan syahwat. Larangan tersebut tidak ditemukan di dalam amalan lainnya. Kita ambil contoh, misalnya saja saat beribadah ihram. Ketika berihram memang ada perintah meninggalkan jima’ (berhubungan badan dengan istri) dan meninggalkan berbagai wangi-wangian. Hanya saja sebatas itu, bentuk kesenangan lain dalam ibadah ihram boleh dilakukan.
Contoh lainnya, larangan makan dan minum pada ibadah salat. Di dalam ketentuan ibadah salat memang dituntut untuk meninggalkan makan dan minum. Hanya saja, larangan tersebut sifatnya sesaat. Sebabnya, boleh mendahulukan makan minum, jika makanan telah dihidangkan dan kita merasa butuh dengan makanan tersebut, bahkan dianjurkan untuk menyantap makanan tadi terlebih dulu, boleh menunda salat sampai selesai makan.
Dengan demikian, pada amalan puasa terdapat bentuk meninggalkan berbagai macam syahwat yang tidak ditemukan pada amalan selainnya. Andai seseorang bisa menahan semua syahwat–syahwat hubungan badan dengan istri dan meninggalkan makan-minum ketika puasa-, dan dia meninggalkan itu semua karena Allah, padahal tidak ada yang melihat apa yang dia lakukan tersebut selain Allah, maka ini mengindikasikan benarnya iman orang yang bersangkutan. Hal demikian, seperti dikatakan oleh Ibnu Rajab, “Inilah yang menunjukkan benarnya iman orang tersebut.”
Puasa yang seperti itu akan selalu menyadari bahwa dia berada dalam pengawasan Allah meskipun dia sedang sendirian. Ia telah mengharamkan melakukan berbagai macam syahwat yang dia sukai, bahkan lebih menaati Rabbnya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena takut pada siksaan dan selalu mengharap ganjaran-Nya.
Menurut sebagian ulama salaf ada yang mengatakan, “Berbahagialah orang yang meninggalkan syahwat yang ada di hadapannya karena mengharap janji Rabb yang tidak nampak di hadapannya.”
Maka sudah menjadi hal yang wajar bila amalan puasa, hanya Allah saja yang membalas amalan puasa seperti ini dan Allah pun mengkhususkan amalan puasa tersebut untuk-Nya dibanding amalan-amalan lainnya.
Kedua, amal puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya yang tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Ibadah puasa harus dilakukan dengan niat hati yang ikhlas, sekali pun pada puasa ini terdapat beragam bentuk syahwat yang harus ditinggalkan. Akhirnya amalan puasa sesungguhnya akan menjadikan seseorang terhindar dari penyakit hati, semisal riya sebagaimana pendapat Imam Ahmad yang mengatakan, "Di dalam ibadah puasa sulit sekali terdapat riya’ (ingin dilihat/dipuji orang lain).”
Demikianlah, dua alasan kenapa Allah Swt. mengeklaim amalan puasa untuk-Nya, berbeda dengan amalan ibadah lainnya.
Wallahu'alam bish Shawwab.
Via
Nafsiah
Posting Komentar