Nafsiah
Hikmah Ramadan: "Tradisi Mudik"
Oleh: Maman El Hakiem
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Hari keduabelas Ramadan
TanahRibathMedia.Com—Mudik ternyata akronim dari "mulih dhisik" yang artinya adalah "pulang dulu" , merupakan sebuah tradisi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakat Indonesia. Mudik bukan sekadar perjalanan fisik menuju kampung halaman, tetapi lebih dari itu, merupakan perjalanan spiritual yang mempererat tali ukhuah antar sesama manusia. Di balik keriuhan dan kepadatan di jalanan, terkandung makna yang dalam tentang persaudaraan, kebersamaan, dan berbagi rezeki.
Sebagai tradisi yang bermula dari banyaknya kaum perantauan di kota untuk pulang kampung. Pada awalnya sekadar melihat keluarga saja, namun akhirnya menjadi tradisi setiap menjelang hari raya atau lebaran. Mudik seakan mengajarkan kita untuk tidak hanya berfokus pada diri sendiri, tetapi juga memperhatikan keberadaan dan kebutuhan sesama.
Suasana mudik adalah saat di mana orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat bersatu dalam satu tujuan, menyambut kehadiran bulan suci Ramadan dengan penuh kegembiraan, dan kerinduan akan kebersamaan keluarga saat merayakan lebaran.
Mudik bukan hanya tentang pulang ke kampung halaman, tetapi juga tentang pulang ke hati nurani atau fitrahnya manusia. Saat kita menjejakkan kaki di tanah kelahiran, tentu akan merasakan kehangatan dan keakraban yang sulit didapatkan di tengah hiruk-pikuk kehidupan perkotaan. Ini adalah saat di mana kita kembali mengenang nilai-nilai luhur yang telah diajarkan turun temurun, seperti adab sopan santun, tolong-menolong, dan saling mencintai sesama manusia.
Lebih dari itu, mudik juga menjadi momentum untuk berbagi rezeki dengan mereka yang membutuhkan. Dalam tradisi mudik, kita sering kali melihat berbagai aktivitas mulia, semisal berbagi makanan dan pakaian kepada saudara atau orang-orang yang kurang mampu. Hal ini mengingatkan kita, bahwa keberkahan bukan pada banyaknya harta yang kita miliki, melainkan pada kemampuan kita untuk berbagi kepada sesama.
Namun, tidak semua orang yang ada di perantauan bisa merayakan lebaran di kampung halaman dan merasakan suasana mudik. Banyak dari mereka yang terhalang oleh kendala finansial atau jarak yang jauh. Oleh karena itu, sebagai masyarakat yang berbagi, penting bagi kita untuk menjaga inklusivitas dan keadilan sosial, sehingga semua orang dapat merasakan kebahagiaan dan kehangatan dalam momen mudik.
Dengan demikian, mudik bukanlah sekadar perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya, tetapi sebuah perjalanan bermakna yang mengajarkan kita tentang nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan, dan berbagi rezeki. Melalui mudik, kita dapat menyambung kembali tali ukhuah yang mungkin terputus dan memperkuat jalinan sosial di tengah-tengah kesenjangan yang ada. Semoga tradisi yang mulia ini tetap terjaga dan terus menjadi inspirasi bagi kita semua dalam menjalani kehidupan yang penuh makna dan berkah.
Sesungguhnya pada harta yang kita miliki ada hak untuk mereka yang membutuhkan. Tradisi berbagi saat mudik akan mengalirkan harta agar tidak berputar pada orang kaya saja. Hal ini sebagaimana tersirat pada makna ayat Allah Swt., "...Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS Al Hasyr: 7)
Wallahu'alam bish Shawwab.
Via
Nafsiah
Posting Komentar