Opini
Ironi Demokrasi, Lahirkan Penguasa Anti Kritik
Oleh: Muhammad Syafi'i
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Belum lama ini pernyataan Luhut Binsar Panjaitan yang meminta pengkritik angkat kaki dari Indonesia ramai mendapat sorotan. Pernyataan itu dinilai sebagai sikap anti kritik dan merusak demokrasi. Ternyata, banyak yang belum sadar bahwa penguasa anti kritik dilahirkan oleh demokrasi itu sendiri.
Memang secara konsep, demokrasi mengkultuskan teori kedaulatan di tangan rakyat. Teori ini dirangkum dalam jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat lah yang membuat hukum, rakyatlah yang menjadi pemimpin dan semuanya untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi di satu negara.
Namun kenyataannya, kedaulatan di tangan rakyat hanyalah fatamorgana.
Sesungguhnya rakyat tidak akan pernah bisa berkumpul semuanya untuk membuat hukum. Mustahil pula rakyat menjadi pemimpin bersama. Kendati demikian, John Locke dan kawan-kawan tidak kehabisan akal. Terciptalah trias politica yang membagi tiga kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Lembaga legislatif berisi sejumlah orang yang dianggap mewakili rakyat untuk melaksanakan tugas membuat undang-undang dan berbagai peraturan. Sedangkan eksekutif adalah lembaga yang diberi mandat oleh rakyat untuk berkuasa menjalankan aturan yang dianggap dibuat oleh rakyat melalui para wakilnya di lembaga legislatif. Adapun yudikatif merupakan lembaga yang dibuat untuk mengadili penyelewengan peraturan yang dibuat dan ditetapkan oleh legislatif.
Terwujudkah kedaulatan rakyat? Tidak juga.
Para wakil rakyat di lembaga legislatif yang diharapkan membuat peraturan sesuai aspirasi rakyat, tidak akan pernah bisa mewakili aspirasi seluruh rakyat. Tidak heran jika banyak peraturan yang dihasilkan oleh lembaga legislatif justru mendapat protes dari rakyat karena tidak sesuai dengan kepentingan dan aspirasi rakyat.
Lembaga eksekutif juga sama saja. Meski dipilih melalui pemilihan umum, bukanlah jaminan mereka akan menjalankan kekuasaan yang berpihak pada rakyat. Mahalnya biaya yang dikeluarkan saat pemilihan, menekan penguasa agar berpihak pada kepentingan para penyandang dana. Di sinilah demokrasi berperan dalam melahirkan penguasa yang anti kritik. Keberpihakan para pemodal (kapitalis) sangat dibutuhkan untuk membiayai kepentingan politik penguasa.
Sehingga demi menjaga dukungan para kapitalis, penguasa berani mengambil kebijakan yang akan menguntungkan para kapitalis, meskipun merugikan rakyat banyak. Kritikan rakyat dianggap angin lalu. Para pengkritik dianggap provokator dan pemecah belah.
Lagi pula, menguatnya para kapitalis terdapat peran dari demokrasi. Kebebasan berekonomi yang dijamin dalam sistem demokrasi menjadi lahan subur bagi para kapitalis dalam menumpuk hartanya dan memperluas cengkeraman bisnisnya. Keberpihakan penguasa menjadi sangat penting, terutama dalam menyingkirkan saingan. Para kapitalis pun tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana banyak demi mendapatkan dukungan dari penguasa. Hasilnya kapitalis menjadi sangat dominan dalam sistem demokrasi.
Kolaborasi penguasa dan kapitalis ini kemudian membentuk oligarki. Dari sini lahirlah kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan para elit oligarki. Lahir pula pejabat-pejabat yang anti kritik, demi menjaga kepentingan oligarki. Ibarat buah, jarak pagar yang bentuk dan warnanya menggoda namun isinya beracun. Itulah demokrasi. Menjanjikan kedaulatan rakyat, namun kenyataannya kedaulatan oligarki. Menampilkan calon pemimpin yang merakyat, tapi jadinya pemimpin yang anti dikritik oleh rakyat. Mengiming-imingi kebebasan tapi yang ada penindasan atas nama rakyat.
Lain halnya dengan Islam. Islam tidak pernah menjanjikan kedaulatan rakyat. Bahkan kedaulatan rakyat haram dalam Islam, karena kedaulatan hanya ditangan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Yang dijanjikan Islam adalah kehidupan yang berkah, penuh rahmat dan diridai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Caranya, dengan menjalankan seluruh perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya atau dengan kata lain menerapkan syariat Islam. Pemimpinnya, adalah pemimpin yang taat pada syariat Islam dalam pemerintahannya, ekonominya dan dalam seluruh aspek kehidupan.
Dikritik? Boleh, asal berdasarkan syariat Islam.
Pilih mana? Syariat Islam atau masih ingin ditipu oleh demokrasi?
Via
Opini
Posting Komentar