Opini
Mengadu Asa Berujung Sengsara
Oleh: Ayu Winarni
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Kondisi perekonomian yang rendah berakibat sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, tentu juga menjadi alasan untuk seseorang memilih profesi sebagai asisten rumah tangga (ART).
Harapannya, dengan begitu mereka mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Namun naas, nasib ART sering kali berujung tragis.
Baru-baru beredar sebuah video seorang ART memanjat pagar rumah majikannya hanya untuk meminta sedikit makanan kepada tetangga. Kondisinya terlihat sangat memprihatinkan, tampak begitu kurus dengan rambut dipotong pendek layaknya seorang laki-laki. Setelah ditelusuri, ART tersebut ternyata korban dari kejahatan majikan. Sementara, kasusnya kini sudah ditangani pihak berwajib.
Di lokasi yang berbeda juga terjadi kasus serupa. Dikutip dari Tribunnews. com (17-02-2024), sebanyak lima asisten rumah tangga (ART) di Jatinegara, Jakarta Timur, menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh majikan. Kasus penganiayaan terungkap setelah korban melarikan diri dari rumah majikan pada Senin (12-2-2024) sekitar pukul 02.30 WIB. Korban kemudian ditemukan oleh tetangga dalam kondisi penuh luka-luka di tubuhnya.
Perbudakan Modern
Menjadi ART tidak dianggap sebagai sebuah profesi. Maka tentu, tak semua orang menginginkannya. Namun karena faktor kemiskinan, menjadi ART adalah pilihan. Tersebab menjadi ART bukan dianggap profesi, sehingga pemenuhan hak-haknya sering kali hanya berdasarkan belas kasihan atau kemurahan hati majikan.
Hubungan antara ART dengan majikan (pengguna jasa) tidak dianggap sebagai hubungan kerja sebagai mana pada industri pada umumnya, yakni tenaga kerja dan pemberi tenaga kerja. Sehingga menjadi ART lebih dipahami sebagai "pembantu" dari pada pekerja.
Hal ini karena ART bekerja secara tertutup dalam sebuah keluarga, sehingga hal ini dapat mengaburkan relasi hubungan kerja antara ART dengan pengguna jasa (majikan). Apalagi ART yang tinggal serumah dengan majikan, mengakibatkan tidak adanya batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Pengaburan relasi yang seperti inilah yang membuat hak-hak ART tidak terpenuhi, jam kerja tidak terbatas, gaji yang tidak sesuai dan tidak adanya jaminan keselamatan. Lagi-lagi, ini tidak terlepas dari penerapan sistem kapitalis hari ini yang menjadikan relasi kuasa sebagai alat untuk kezaliman terhadap sesama. Yang kaya berkuasa, yang miskin menjadi budak.
Tiada Keseriusan Negara
Maraknya tindak kekerasan yang di alami ART, tentu menuntut adanya kepastian hukum dari negara. Namun, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang sudah direvisi dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja nyatanya tidak mengatur kedudukan pekerja rumah tangga (PRT).
UU Ketenagakerjaan lebih kepada mengatur hubungan kerja yang sifatnya formal. Sedangkan profesi PRT/ART tergolong profesi yang informal. Karena dari sudut pandang pemberi kerja pada ART bukanlah dari pengusaha atau perusahaan, inilah yang mengakibatkan ART tidak punya payung hukum.
Pembahasan RUU terkait pengaturan PRT sudah ada sejak lama. Namun tak kunjung di sahkan menjadi Undang-Undang. Kemudian seolah menjadi angin segar bagi para pekerja ART, dimana awal tahun 2023 secara resmi mengesahkan RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR, yang artinya akan masuk tahap pembahasan tingkat pertama DPR dan pemerintah. Nyatanya, hingga saat ini belum juga mendapat persetujuan menjadi UU. Ini artinya, negara memang tidak ada keseriusan untuk melindungi ART.
Jikapun UU PPRT ini disahkan menjadi UU, tak ada jaminan negara mampu memberikan perlindungan hakiki akan nasib ART menjadi lebih baik. Karena pengesahan UU bukanlah solusi mendasar atas masalah ini. Selama sistem kapitalis yang menopang lahirnya UU ini tetap eksis, selama itu pula kezaliman itu terjadi. Tersebab sistem kapitalis ini selalu memisahkan kedudukan antara miskin dan kaya.
Kebijakan Islam terhadap Tenaga Kerja
Islam mengatur, memanusiakan dan memuliakan pembantu. Islam juga mengakui hak-hak mereka untuk pertama kalinya dalam sejarah, ketika sejarah umat lain dipenuhi dengan perlakuan yang tidak manusiawi. Rasulullah saw. telah memberikan contoh keteladanan bagaimana cara memperlakukan para pembantu.
Islam telah mengatur pemanfaatan jasa yang kemudian secara khusus dibahas dalam hukum-hukum ijarah. Ijarah dalam istilah syariah adalah akad manfaat atau jasa dengan suatu kompensasi. Dalam akad ijarah ini ada 4 komponen: ajir (pihak yang mengerahkan tenaga/buruh), musta'jir (orang yang membayar upah), manfaat (jasa) dan ujrah (sesuatu yang dibayarkan sebagai kompensasi/upah atas manfaat).
Maka dari pengertian ini, ART termasuk ke dalam akad ijarah, yakni seseorang yang bekerja dengan mengerahkan tenaganya kepada pihak yang telah mengontrak yang kemudian atas setiap manfaat/jasa yang didapatkan oleh yang mengontrak (musta'jir), seorang pekerja berhak mendapatkan kompensasi/upah. Boleh hukumnya ijarah ini apabila terealisasi pemberian manfaat/jasa kepada pihak lain dengan kompensasi. Sebaliknya, jika tidak terealisasi pemberian manfaat/jasa kepada pihak lain, maka ijarah-nya disini tidak boleh, sebab upah adalah kompensasi yang berasal dari pihak lain.
Dikutip dari buku Bisnis Islam karya Syekh Yusuf as-Sabatin disebutkan bahwa di dalam ijarah Al-Ajir (kontrak kerja) harus ada pembatasan (penentuan) pekerjaan, jangka waktu upah dan tenaga; juga harus ada penjelasan tentang jenis pekerjaan sehingga tidak mahjul (tidak jelas). Sebab, ijarah terhadap sesuatu yang tidak jelas statusnya fasad.
Para pekerja tidak boleh dibebani pekerjaan kecuali yang mereka mampu. Untuk upah pekerjaan, menjadi kompensasi ijarah disyaratkan harus jelas dan tidak mahjul. Nabi saw. bersabda: "Siapa yang memperkerjakan seorang pekerja, hendaklah ia memberitahukan upahnya." (HR Ahmad).
Upah harus fix disepakati sebelum dimulainya pekerjaan dan upah wajib diserahkan segera setelah selesainya pekerjaan.
Tentu tidak akan pernah terjadi kezaliman, jika semua itu dikembalikan kepada ketentuan hukum syarak. Dengan perincian yang sangat jelas diatur dalam Islam, baik pekerja (ajir) maupun pemberi kerja/majikan (musta'jir) akan sama-sama terhindar dari kezaliman.
Kewajiban Negara
Islam tidak melarang perempuan menjadi tenaga kerja. Namun, hukum bekerja bagi perempuan berbeda dengan laki-laki. Bagi laki-laki, bekerja mencari nafkah untuk keluarganya adalah wajib. Sedangkan hukum bagi perempuan adalah mubah karena tugas utama perempuan adalah sebagai ibu dan pengurus rumah tangga (ummun wa rabbatul bait).
Untuk memacu para laki-laki untuk memenuhi tanggung jawab nafkah keluarga adalah tugas dari negara. Dalam negara khil4f4h, negara hadir untuk menyediakan lapangan pekerjaan, pelatihan skill dan keterampilan hingga memberikan permodalan usaha. Khil4f4h menjamin kebutuhan keluarga terpenuhi dengan ketersediaan lapangan kerja yang memadai untuk laki-laki, sehingga tidak lagi menuntut para perempuan bekerja yang bisa melalaikan tugas utamanya.
Penjaminan kebutuhan hidup terpenuhi seperti ini tidak bisa terwujud dalam kehidupan sistem kapitalis hari ini. Melainkan semua itu hanya akan terealisasikan manakala menjadikan Islam sebagai asas kehidupan yang menjadi halal dan haram sebagai standar perbuatan.
Wallahu a'lam bisshawab
Via
Opini
Posting Komentar