Opini
Menghalau Kehancuran Generasi
Oleh: Meilina Tri Jayanti, S.P.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Keberlanjutan sebuah generasi bagi suatu bangsa adalah perkara yang mutlak. Bukan hanya dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi kualitas. Generasi muda memiliki potensi sebagai armada penggerak kemajuan bangsa. Ini karena mereka pada umumnya memiliki segala kemampuan seperti kondisi fisik yang kuat, daya pikir, ide dan kretivitas, serta karakter yang mobile.
Namun sayang, kondisi generasi muda saat ini khususnya di negeri kita tercinta, amat jauh dari fitrahnya. Generasi muda kita banyak 'kluntang klantung' di pinggir jalan dengan pakaiannya compang-camping dan tidak terurus.
Mayoritasnya anak putus sekolah yang tidak mampu menetapkan masa depan. Atau bagi mereka yang berkesempatan mengenyam pendidikan, malah tak jarang menjadi pelaku bullying, tawuran, tindak asusila, penyalahgunaan narkoba, penipu ulung, terjerat pinjol, pembunuh, perampok, dan masih banyak lagi.
Menyikapi hal tersebut, sebagian elit pemerintah sudah mulai memikirkan keberlangsungan kondisi bangsa ini. Mereka menduga rusaknya mental generasi muda disebabkan oleh minimnya pengaruh serta pola asuh sang ayah (fatherless) di dalam rumah.
Dilansir pada laman idntimes.com (14-03-2024), pemerintah kini sedang merancang aturan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) pria agar bisa ikut menikmati “cuti ayah” untuk mendampingi istrinya melahirkan dan mengasuh bayi. Namun apakah potret buram generasi muda negeri ini hanya disebabkan faktor fatherless?
Faktor Penentu Lahirnya Generasi
Generasi cerdas berkualitas tidak terwujud dengan sendirinya. Banyak faktor yang mengiringi perjalanan hidup seorang anak. Setidaknya ada tiga elemen yang harus terlibat yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Ketiga elemen inilah yang akan menjadi support system sepanjang perjalanan hidup sebuah generasi.
Faktanya kehidupan yang diatur dengan sistem kepitalis-sekuler saat ini membuat ketiga elemen utama tersebut rusak. Alih-alih membersamai proses pertumbuhan dan perkembangan menuju generasi berkualitas, mereka malah menjadi predator utama yang merusak. Masing-masing dari elemen tersebut tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya.
Pertama: Keluarga. Bermula dari kesulitan dan persaingan hidup, mayoritas orang tua kini hanya disibukkan dengan upaya mencari nafkah. Tak hanya seorang ayah, ibu pun kini sudah mengalami degradasi orientasi dalam keluarga. Mendidik dan memberi teladan yang baik bagi sang anak, bukan lagi yang utama. Diperparah dengan ide feminisme yang merupakan turunan dari kapitalisme-sekuler, orang tua akhirnya berlomba untuk meninggalkan keluarganya.
Gaya hidup permisif (serba boleh), hedonis, dan liberal pun turut andil dalam merendahkan kualitas seorang ayah. Mereka banyak “gagal paham” dalam menghadapi persoalan keluarga. Tak jarang dari mereka mengondisikan anak menjadi broken home dan seorang perempuan menjadi single parent. Jauh dari tuntunan wahyu ilahi yang tertulis dalam QS At-Tahrim: 6 “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Kedua: Masyarakat. Sebagai makhluk sosial, generasi pastinya akan beraktivitas bersama dengan masyarakat. Pola pikir masyarakat yang individualis, acuh tak acuh, “masa bodo” hanya akan menciptakan generasi yang egois dan mementingkan diri sendiri. Mereka tumbuh menjadi generasi yang anti kritik dan mudah tersinggung. Sulit melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar. Padahal dengan landasan iman kepada Allah dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar, Allah menyematkan umat muslim sebagai “Umat Terbaik”.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali-Imran: 110)
Ketiga: Negara. Selama negeri ini menjadi penganut setia sistem kapitalis-sekuler, maka bisa dipastikan sampai kapan pun negara tidak akan mampu untuk keluar dari berbagai masalah yang terjadi. Karakteristik sistem ekonomi-kapitalis yang rakus tidak akan mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera secara merata.
Pasalnya pada sistem ini, SDA yang merupakan milik umum seolah dimiliki oleh negara dan negara berhak menentukan siapa pihak yang bisa mengeksploitasi SDA tersebut, yakni mereka yang bermodal kuat. Dari sinilah awal mula lingkaran setan terbentuk antara si kaya dan si miskin, dan sulit untuk diurai. Bahkan kondisi kemiskinan dan kebodohan masyarakat cenderung “dipelihara” demi kepentingan mereka.
Hidup di zona nyaman, membuat penguasa sulit menemukan akar masalah yang menimpa rakyatnya. Solusi yang ditawarkan untuk mengurai masalah cenderung tambal sulam/pragmatis, tidak menyentuh akar masalah. Sebagaimana usulan cuti bagi ASN pria yang istrinya melahirkan.
Tidak salah dengan ide tersebut, namun penyebab kondisi fatherless sangat kompleks dan inilah yang menjadi faktor utama seorang ayah menjadi tidak berkualitas dalam proses pendidikan keluarga. Pemenuhan kebutuhan primer yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, justru diupayakan oleh masing-masing individu. Ibarat atlit bertanding di arena kelas bebas, siapa yang kuat dia lah yang menang. Tak sedikit dari mereka akhirnya mengalami berbagai tekanan.
Solusi Islam
Bagi siapa pun yang mempelajari Islam (apalagi seorang muslim) akan menemukan betapa adilnya aturan Allah. Islam menjadikan kualitas generasi tidak hanya bertumpu pada tanggung jawab orang tua, namun juga disertai dengan support system, termasuk peran masyarakat dan negara dengan segala kebijakannya dalam berbagai bidang.
Sistem ekonomi Islam mampu menciptakan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Tanggung jawab seorang penguasa dalam mengelola dan mendistribukan kekayaan rakyat yang berasal dari berbagai sumber kepemilikan (individu, umum/SDA dan negara), mampu mewujudkan keseimbangan ekonomi masyarakat.
Mekanisme pemerataan kekayaan dalam Islam diterapkan dalam beberapa kebijakan. Pertama, kekayaan yang berasal dari individu mampu/kaya, maka mereka akan dodorong untuk menunaikan kewajibannya berupa pembayaran zakat, infak, sedekah. Negara akan mendistribusikan kepada mereka yang berhak menerima harta tersebut.
Kedua, kekayaan yang berasal dari kepemilikan umum dan negara. Penguasa akan mendistribusikannya dengan cara mewujudkan berbagai fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan primer rakyat seperti fasilitas pendidikan, kesehatan serta mewujudkan sistem pengamanan bagi rakyatnya.
Sedangkan kebutuhan sandang, papan, pangan, negara akan menjaga ketersediaannya agar masyarakat mampu mengaksesnya dengan mudah dan dengan harga terjangkau. Regulasi hukum yang berlaku akan menutup celah terjadinya tindakan monopoli dan spekulasi kebutuhan rakyat oleh sebagian pihak tertentu.
Dengan demikian orang tua sebagai pendidik, terutama seorang ayah tidak dibuat kualahan dalam memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Mereka cukup mencari nafkah sebatas pemenuhan kebutuhan pokok. Sedangkan kebutuhan lainnya sudah disediakan negara dengan harga terjangkau bahkan gratis.
Negara pun mengarahkan masyarakat untuk memiliki karakter saling peduli dan menjaga. Mereka dididik untuk senantiasa mencegah perbuatan-perbuatan yang berdampak pada hancurnya generasi. Pada akhirnya hanya dengan menerapkan Islam kafah yang meniscayakan terbentuknya generasi berkualitas, beriman, bertakwa dan terampil serta berjiwa pemimpin.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar