Opini
Menyoal Transformasi KUA
Oleh: R. Raraswati
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
TanahRibathMedia.Com—Dikutip dari uinsu.ac.id (1 Maret 2024), Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (Gus Men) berpikir bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) bukanlah Kantor Urusan Agama Islam (KUAI), sehingga harus melayani semua umat beragama. Dari sinilah muncul pemikiran out of box Gus Men atas gagasan transformasi KUA yaitu melakukan pencatatan pernikahan warga negara Indonesia baik muslim maupun nonmuslim. Padahal menikah itu termasuk urusan ibadah. Sedangkan Islam memiliki prinsip "lakum diinukum waliyadin," yang artinya, untukmu agamamu, untukku agamaku.
Prinsip tersebut merupakan bentuk toleransi beragama yang sesungguhnya. Dalam Islam, tidak ada paksaan nonmuslim untuk ikut dalam aktivitas ibadah umat Islam, begitu pun sebaliknya. Untuk pernikahan nonmuslim telah dicontohkan pada masa kehilafahan, bahwa khil4f4h mengizinkan pernikahan berdasarkan keyakinannya tanpa ada intervensi apa pun dari negara. Jadi, tidak ada campur tangan negara termasuk pencataan atas pernikahan nonmuslim.
Hal ini hendaknya dijadikan contoh bahwa negara dalam hal ini KUA tidak ikut campur dalam hal privasi nonmuslim. Namun demikian, dalam hubungan sosial kemasyarakatan, nonmuslim wajib mengikuti syariat Islam, seperti sistem pemerintahan, peradilan, sanksi, ekonomi, dan kebijakan luar negeri. Semua itu telah berjalan selama peradaban Islam berjaya hampir 14 abad. Kepengurusan khil4f4h atas umat yang beragam suku, ras, agama, budaya, dan warna kulit berjalan penuh damai, toleransi dengan menegakkan aturan Islam untuk mengatur kehidupan manusia. Keteladanan ini mestinya jadi contoh untuk memaksimalkan peran KUA dalam melayani masyarakat.
Transformasi KUA mestinya tidak sekadar mencatat pernikahan, namun lebih memaksimalkan perannya dalam urusan agama yaitu dakwah. Tentu saja dakwah yang dimaksud di sini adalah dakwah Islam sekalipun nama lembaganya bukan Kantor Urusan Agama Islam (KUAI). Hal ini karena dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim, sekali pun Indonesia sekarang belum sebagai negara Islam.
Kemenag mestinya lebih fokus bagaimana menjadikan KUA sebagai tempat warga mencari solusi Islam atas segala permasalahan. Kemenag juga memaksimalkan peran KUA dalam berbagai program keagamaan, tidak sekadar pencatatan perkawinan tapi termasuk pelaksanaan, hingga pembentukan keluarga sakinah, mawadah, warohmah. KUA punya peran membina dan memahamkan warga tentang pernikahan menurut syariat Islam. Pasalnya selama ini ada saja pernikahan yang tidak sesuai syariat tetapi tetap dijalankan. Sebagai contoh, menikahkan calon istri yang sedang hamil, melangsungkan pernikahan dengan wali hakim tanpa dicari dulu wali yang lebih berhak, dan sebagainya.
Selain itu, KUA juga memiliki peran penting dalam penyuluhan agama Islam. KUA menjadi ujung tombak Kementrian Agama sebagai pelayan umat. Namun demikian, jangan dijadikan KUA sebagai pelaku program moderasi agama yang justru dapat merusak makna toleransi yang sesungguhnya. Untuk itulah perlu rancangan program yang benar dan sumber daya manusia yang juga profesional di bidang agama Islam.
Terakhir, agar KUA menjalankan peran yang sesungguhnya secara maksimal, hendaknya Islam diterapkan oleh negara sebagai ideologi satu-satunya untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak hanya masalah pencatatan pernikahan. Islam dirancang Allah Swt. sebagai Al Mudabbir (Sang Pengatur) untuk kemaslahatan bersama, sehingga agama apa pun akan mendapat hak yang sama selama hidup dalam aturan Islam. Negara dengan ideologi Islam akan menerapkan aturan syariat pada semua orang tanpa memandang muslim atau nonmuslim. Inilah sistem sahih sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta. Allahu ‘alam.[]
Via
Opini
Posting Komentar