Tsaqafah
Pengelolaan Zakat pada masa Kepemimpinan Islam
Oleh: Syadzuli Rahman
(Tenaga Kependidikan Perguruan Tinggi)
TanahRibathMedia.Com—Pernah mendengar kesuksesan Khalifah Umar bin Abdul Azis dalam pengelolaan zakat? Sampai-sampai Sang Khalifah kesulitan mencari siapa lagi yang bisa menerima zakat.
Merujuk tulisan "Di Era Khil4f4h, Muadz Bin Jabal Kesulitan Menemukan Seorang Miskin Pun yang Layak Diberi Zakat". Dilansir dari laman www.media-umat.info, pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab juga pernah diceritakan para wali di beberapa wilayah Kekhilafahan kesulitan dalam mencari penerima zakat. Mengapa hal ini dapat terwujud?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis mengajak pembaca untuk melihat kembali kedudukan zakat dalam Islam sebatas pemahaman penulis. Zakat secara syar’i memiliki kedudukan yang sejajar dengan salat, puasa dan ibadah lainnya dalam rukun Islam. Hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat penunaian zakat.
Zakat merupakan ibadah, dan peranannya adalah sebagai mekanisme pendistribusian kekayaan/harta dari muzakki (yang menunaikan zakat) kepada mustahik (yang menerima zakat). Dari pendistribusian zakat inilah, secara ekonomi berdampak pada pemerataan distribusi kekayaan/kesejahteraan.
Lalu, siapa saja yang berhak menerima zakat? Disebutkan dalam nash Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat ke 60,
“…yang berhak menerima zakat adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan…”.
Para mustahik inilah yang kita kenal dengan 8 asnaf, dan di luar dari 8 golongan ini tidak berhak untuk menerima zakat. Kembali kepada pertanyaan mengapa pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Khalifah Umar bin Khattab pengelolaan zakat berlangsung sukses?
Sebatas pemahaman penulis, hal ini terwujud karena ditopang oleh sistem yang benar. Sistem yang di dalamnya menjalankan syariat Islam secara menyeluruh pada level negara, dan pada praktiknya pengelolaan zakat melibatkan perangkat negara.
Perangkat negara yang ditunjuk oleh khalifah sebagai amil zakat bertanggung jawab dalam menarik zakat dari muzakki dan mendistribusikan zakat kepada mustahik (8 asnaf).
Dengan adanya perangkat negara dalam pengelolaan zakat, maka penunaian zakat dapat dilakukan, hingga pada level memaksa.
Penulis menekankan frasa “sampai pada level memaksa”, karena sudah disebutkan sebelumnya, hukum zakat adalah wajib dan kedudukannya sejajar dengan ibadah salat dalam rukun Islam. Hal ini tegas dipegang teguh oleh sahabat Rasulullah saw. yang mulia, Khalifah pertama Kaum Muslimin, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau dengan sangat tegas menyatakan perang kepada orang-orang yang menolak membayar zakat. Ketegasan beliau kemudian didukungi oleh Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya. Mereka sepakat untuk memerangi para penolak zakat.
Suksesnya pengelolaan zakat pada masa Umar bin Abdul Azis dan Umar bin Khattab, selain adanya perangkat negara dalam pengelolaan zakat, hal ini juga bisa terwujud karena adanya kesadaran umat Islam dalam menunaikan zakat. Umat Islam dengan penuh kesadaran melaksanakan kewajiban dari syariat Islam ini, dan sekali lagi hal ini akan sangat mungkin jika umat Islam menerapkan sistem yang tepat.
Kaum muslimin berada pada lingkungan/sistem yang mendukung dalam ketaatan penuh pada syariat Islam.
Mengambil pelajaran bagaimana suksesnya pengelolaan zakat yang dilakukan oleh kedua khalifah di atas, Umar bin Abdul Azis dan Umar bin Khattab, serta bagaimana tegasnya Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddir kepada orang-orang yang menolak membayar zakat. Semuanya itu hanya dapat dilakukan ketika kepemimpinan berada di tangan umat Islam.
Penerapan syariat Islam akan dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Pemimpin dan yang dipimpin berada pada suatu sistem yang mendukung dan menopang mereka dalam ketaatan kepada syariat. Wallahu a’lam bish-shawab.
Banjarbaru, 6 Maret 2024
Via
Tsaqafah
Posting Komentar