Opini
PPN Naik, Rakyat Makin Tercekik?
Oleh: Nanik Farida Priatmaja, S.Pd.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Miris! Di tengah kondisi ekonomi negeri yang tidak baik-baik saja, malah muncul kebijakan kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 12 persen. Meski kenaikan PPN masih tahun depan, pastinya bayang-bayang buruk inflasi jelas makin menghantui.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai masyarakat kelas menengah bawah jadi kelompok yang paling terdampak dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen. Menurut rencana, tarif PPN bakal naik pada 2025. Menurutnya, kenaikan PPN bakal berdampak pada lonjakan inflasi. Meski tidak besar, kenaikan harga akan menambah tekanan ke kelas menengah dan bawah.
Apalagi, kelas menengah ini tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah, berbeda dengan kelas bawah atau masyarakat miskin. Kelas menengah dianggap tidak layak menerima bantuan, tetapi pendapatan mereka pun tak bisa mengiringi kenaikan harga bahan pokok (CNN.com,12-3-2024).
Kenaikan PPN pastinya akan berdampak terhadap kenaikan harga berbagai barang, misalnya barang kebutuhan konsumsi masyarakat yang tersedia di pasar modern. Kebutuhan komunikasi yakni kuota dan paket internet jelas akan ikut merangkak naik. Padahal saat ini banyak layanan publik yang harus menggunakan akses digital.
Berhubung pajak adalah pendapatan negara terbesar dalam sistem kapitalisme. Wajar jika negara selalu menaikkan pajak demi meningkatkan pendapatan. Apalagi utang negara makin membengkak yakni Rp8.041 triliun pada November 2023. Sehingga demi mengurangi utang, negara akan menaikkan tarif pajak.
Jadi kenaikan pajak adalah kebijakan yang akan selalu dilakukan meskipun pemimpin negara terjadi pergantian. Andaikan tidak ada kebijakan kenaikan pajak, biasanya akan ada kenaikan di sektor lain demi menambah pendapatan negara.
Pendapatan negara dalam sistem kapitalisme memang bukan hanya pajak dan utang, ada pula dari BUMN, retribusi dan hibah. Namun sumber pendapatan terbesar adalah dari pajak yang memiliki beragam jenis baik yang diberlakukan pada individu ataupun lembaga.
Kebijakan negara menaikkan pajak jelas akan membebani rakyat, meskipun mampu menurunkan defisit anggaran. Misalkan negara menurunkan tarif pajak, hal ini akan mengurangi beban rakyat, namun negara akan mengalami defisit keuangan. Wajar jika negara kapitalis akan mengambil kebijakan dengan berutang ke negara lain. Selain itu, negara juga akan mengurangi atau menghapus subsidi untuk rakyat, dan juga memprivatisasi BUMN.
Kebijakan utang pastinya akan berdampak terhadap negara dalam pengambilan kebijakan lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya intervensi negara pemberi utang. Sehingga tak jarang muncul kebijakan-kebijakan yang berpihak pada pemilik modal/para kapitalis yang menguasai perusahaan-perusahaan besar padahal seharusnya negaralah yang mendapatkan keuntungan dari pajak.
Negara yang menerapkan sistem Islam, memberlakukan pajak tidak sama dengan negara kapitalis, namun meninjau dari berbagai aspek yakni subjek, objek maupun tata cara pemungutan pajak. Meskipun terdapat kesamaan istilah pajak, hal ini karena sama-sama dipungut oleh negara.
Negara dalam sistem Islam, memiliki sumber pendapatan yakni diperoleh dari fai (anfal, ganimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan harta orang murtad.
Pajak dalam sistem Islam adalah solusi terakhir yang diambil negara jika kondisi baitulmal kosong dan sudah tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Sehingga dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja yang memenuhi kriteria wajib pajak.
Penghitungan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya secara benar.
Pemungutan pajak berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak pun tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Jika kebutuhan baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pemungutan pajak harus dihentikan.
Pajak dalam Islam hanya diterapkan sementara saja bukan menjadi pendapatan utama negara sebagaimana yang terjadi pada sistem kapitalisme saat ini. Negara Islam memiliki beragam sumber pendapatan, pengelolaan sumber daya alam yang tepat, sistem distribusi yang menjadikan kondisi ekonomi negara kian stabil. Sehingga tidak akan membebani rakyat dengan pajak.
Waallahu A'lam Bish Shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar