Opini
Ramadan Menjelang, Harga Pangan Ikut Menjulang, Bagaimana Ibadah Bisa Tenang?
Oleh: Dwi Indah Lestari
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Ramadan menjelang. Umat Islam pun menyambut dengan riang. Sayang, datangnya Ramadan selalu diikuti harga pangan yang ikut menjulang. Bila sudah begitu, mungkinkah kaum muslim dapat beribadah dengan tenang?
Ramadan sudah tiba, harga bahan pangan sudah diperkirakan akan mengalami inflasi dan kenaikan. Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah, menyebutkan berdasarkan data historis, harga beberapa komoditas pangan diperkirakan akan mengalami kenaikan pada momen Ramadan dan berpotensi menyebabkan peningkatan inflasi secara umum. Beberapa komoditas tersebut di antaranya adalah beras, daging ayam, minyak goreng, dan gula pasir (cnbcindonesia.com, 1-3-2024).
Selalu Berulang
Kenaikan harga pangan pada momen datangnya Ramadan seakan menjadi tradisi. Bahkan di awal tahun 2024 ini, masyarakat sudah dihadapkan pada mahalnya harga beras yang terus konsisten hingga sekarang. Hal ini berimbas tidak hanya pada rumah tangga namun juga pada para pelaku usaha makanan seperti warung makan, yang perlu melakukan penyesuaian harga pada lauk pauk yang dijualnya. Dampak yang lebih besar jelas dirasakan oleh masyarakat kecil yang menjadi konsumennya.
Menjadi pertanyaan adalah mengapa hal ini terus berulang? Mengapa seakan tidak ada kebijakan tertentu untuk mengantisipasinya? Bukankah di jajaran pemerintahan cukup banyak pakar yang pastinya selalu mengamati perkembangan ekonomi yang terjadi? Tidakkah menjadi urusan negara untuk mencegahnya agar beban rakyat tidak terus bertambah? Apalagi datangnya Ramadan semestinya masyarakat muslim bisa beribadah dengan tenang tanpa pusing memikirkan harga pangan.
Harga Pangan Naik, Mengapa?
Menurut M. Habibullah, Deputi Bidang Statistik Produksi BPSDeputi Bidang Statistik Produksi BPS, kenaikan harga disebabkan oleh meningkatnya permintaan pada Bulan Ramadan. Namun demikian, harga bahan pangan sebenarnya sudah melonjak bahkan jauh sebelum Ramadan tiba.
Sementara menanggapi meroketnya harga beras, Presiden Joko Widodo menjelaskan hal itu disebabkan karena perubahan iklim sehingga di beberapa wilayah banyak yang mengalami gagal panen. Akan tetapi hal itu dipandang oleh sejumlah pengamat tidaklah sepenuhnya benar. Sebab faktanya di beberapa negara seperti Thailand dan Vietnam tidak mengalami krisis beras.
Ahli pertanian dari Universitas Lampung, Bustanul Arifin, menjelaskan penyebab lain dari kenaikan harga beras adalah karena produksinya yang turun akibat dari menurunnya lahan sawah. Di samping itu juga ada pengaruh dari kebijakan perdagangan global, di mana beberapa negara memberlakukan larangan ekspor beras, seperti India. Selain itu adanya kebijakan politik penguasa turut andil dalam lonjakan harga beras seperti jor-jorannya bansos pada masa kampanye.
Semua ini memberikan gambaran bahwa kenaikan harga bahan pangan sebenarnya dipicu oleh kebijakan penguasa yang keliru. Masifnya alih fungsi lahan pertanian, kebijakan impor, ketidakseriusan kebijakan ketahanan pangan dalam negeri terutama menghadapi masa paceklik, distribusi bahan pangan yang karut marut dan rentan dikendalikan oleh kartel, menunjukkan lemahnya negara dalam pengurusan rakyat.
Sementara solusi yang diupayakan oleh pemerintah masih berkutat pada operasi pasar dengan menggelontorkan beras murah dan meningkatkan distribusinya untuk menjaga stabilitas harga beras nasional. Namun, ini sejatinya hanya solusi tambal sulam. Ibarat salah obat, hanya meredakan sementara. Sementara kenaikan harga pangan terus melaju tak terkendali, sebab tidak menyentuh akar masalah sesungguhnya. Siapa yang diuntungkan? Jelas para kapitalis yang lihai memanfaatkan momen seperti Ramadan dan Idul Fitri untuk mendulang cuan.
Ibadah Tenang di Bulan Ramadan
Datangnya Ramadan selalu membawa kegembiraan. Sebab di bulan mulia inilah, umat muslim berkesempatan panen pahala berlimpah. Semua berlomba melakukan dan meningkatkan amal ibadah. Tak hanya puasa dan salat tarawih, semangat kaum muslim untuk berbagi dan bersedekah pun turut menguat. Siklus belanja berputar cepat. Permintaan barang pun mengular, mulai makanan, pakaian, hingga perabotan.
Atmosfer berbagi dibayangi inflasi yang justru mengganggu kekhusyukan untuk beribadah. Padahal semestinya keberkahan Ramadan tidak boleh dirusak dengan hal-hal duniawi semacam ini. Sementara itu, perkara fluktuasi harga, pasokan bahan pangan dan distribusinya, jelas harus diselesaikan melalui regulasi negara. Di sini bisa dilihat bagaimana peran negara sangat penting untuk dapat menciptakan suasana kondusif bagi masyarakat muslim agar dapat menjalankan ibadah Ramadan dengan maksimal.
Berpuasa di Bulan Ramadan adalah salah satu kewajiban yang ditetapkan Allah Swt. kepada setiap muslim agar mereka menjadi sosok-sosok yang bertakwa.
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS Al Baqarah: 183).
Sayangnya di tengah kehidupan yang sangat kapitalistik saat ini, tujuan tersebut menjadi sulit untuk diraih. Ketakwaan yang sesungguhnya, yaitu menjalankan seluruh perintah Allah Swt. dan berusaha menjauhi larangan-Nya, terhadang oleh cara pandang sekuler yang justru menjauhkan manusia dari agamanya. Masyarakat pun lebih banyak disibukkan untuk mengejar keduniaan dibandingkan menyiapkan bekal untuk akhirat.
Sungguh berbeda bila dibandingkan dengan kondisi kaum muslim saat masih hidup di bawah naungan kekhil4f4han Islam. Umat Islam dapat tenang beribadah tanpa terganggu oleh tekanan hidup seperti persoalan naiknya harga pangan saat ini. Sebab Khalifah benar-benar menjalankan amanah kepemimpinannya dengan mengurusi semua urusan rakyat dengan menerapkan syariat Islam secara keseluruhan. Kesejahteraan terwujud, ketenangan hidup pun tercipta.
Momen Ramadan tidak boleh disia-siakan. Karenanya sudah seharusnya umat Islam kembali pada kesadarannya untuk menjadikan bulan mulia ini sebagai momentum untuk memperjuangkan hadirnya syariat Islam kafah di tengah kehidupan. Hanya dengan itulah kaum muslim tidak hanya akan mampu beribadah dengan tenang namun keberkahan hidup juga akan diraih.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al A’raf: 96).
Wallahu’alam bisshowab.
Via
Opini
Posting Komentar