Opini
Sertifikasi Halal : Ladang Cuan Negara Vs. Beban Rakyat
Oleh: Shabrina Wahyuli
(Owmer RumBel, Sidoarjo)
TanahRibathMedia.Com—Satuan Gugus Tugas (Satgas) Halal Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Aceh menargetkan sebanyak 30 ribu produk makanan dan minuman di provinsi berjulukan Tanah Rencong itu bersertifikat halal pada 2024.
Sekretaris Satgas Halal Kemenag Aceh Alfirdaus Putra di Banda Aceh, Rabu (6-3-2024), mengatakan pada 2023, pihaknya melalui Lembaga Pendamping Proses Produksi Halal (LP3H) dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) mengeluarkan 20.212 sertifikasi halal untuk produk yang di produksi di Aceh. Di tahun 2024, ditargetkan 30 ribu produk disertifikasi ( Republika.com 7-3-2024).
Untuk diketahui, terhitung 17 Oktober 2019, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak lagi mengelola sertifikat halal. Hal ini sesuai dengan amanat UU JPH nomor 33 Tahun 2014, bahwa penyelenggara sertifikasi halal adalah pemerintah yang dikelola BPJPH dibawahi Kemenag Republik Indonesia.
BPJPH mewajibkan seluruh pelaku usaha (produsen) untuk menyertifikasi halal produknya terhitung Kamis (17-10-2019). Kewajiban yang tertuang dalam pasal 4 Undang-Undang (UU) JPH nomor 33 tahun 2014 ini berlaku untuk semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Penahapan pertama kewajiban sertifikat halal akan berakhir pada 17-10-2024. Ketika masa itu berakhir, tiga jenis produk berikut wajib bersertifikat halal, yaitu makanan dan minuman; bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan minuman; serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.
Jika tidak bersertifikasi halal, maka dilarang beredar di masyarakat dan akan mendapat sanksi jika tetap beredar. Adapun sanksinya bertahap, mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. Untuk menyertifikasi halal ini pun tidaklah gratis tetapi bertarif sekitar 8 jutaan guna mengurus dokumen pemeriksaan kehalalan produk hingga penerbitan sertifikat.
Ironi Pengurusan Produk Halal Saat Ini
Menjadi kewajiban bagi warga muslim untuk menjaga kehalalan produk makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Ironisnya, di tengah sistem kapitalisme saat ini, jaminan halal yang hakikatnya menjadi tugas negara, justru menjadi lahan mendulang cuan.
Rakyat dibebani untuk mengurus sertifikat dengan biaya yang tidak murah. Bisa di bayangkan untuk sekali pengurusan 1 produk membutuhkan biaya 8 jutaan maka jika memiliki 3 produk saja, pelaku usaha harus mengeluarkan setidaknya 24juta. Sungguh harga yang fantastis. Sedangkan di sisi lain (baca: negara), setiap 1 produk = 8juta maka jika dikali 30 ribu ( untuk wilayah Banda Aceh saja) maka nilainya sudah mencapai miliaran, belum lagi dikali dengan banyaknya daerah di 38 provinsi. Bisa dibayangkan bukan?
Untuk satu usaha yang biasanya ada beberapa produk diproduksi. Bisa dipastikan akan berlimpah pundi pundi cuan masuk ke negara. Padahal, ketika menjalani usaha—di luar urusan sertifikat halal—rakyat sudah terbebani aneka pungutan, seperti pajak, IMB, perizinan, dan lain-lain. Jadilah biaya produksi berbiaya tinggi yang menjadikan harga produk menjadi ikut mahal.
Mirisnya, jumlah UMKM di Indonesia yang berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM mencapai 65,47 juta. Dengan fasilitas sertifikat gratis sebanyak satu juta, berarti ada 64,47 juta UMKM yang harus membayar untuk mengurus sertifikat halal. Lebih miris lagi banyak produk pedagang kecil seperti bakwan, siomay, pecel, kue cucur dan lain lain. Sungguh ironi jika mereka juga dibebankan biaya yang tidak sedikit untuk mengurus sertifikasi halal.
Belum lagi pengurusan administrasi apapun (termasuk sertifikat halal ini) merupakan lahan basah bagi pejabat korup untuk mengambil kesempatan menaikan biaya pengurusan dengan modus mempercepat proses. Tak ayal hal ini sungguh sangat memberatkan rakyat kecil.
Di lain hal, mengambil pelajaran dari penanganan halal dan haram ini bahwa peran MUI sebagai wakil dari kaum muslim ternyata perannya dikurangi sedikit demi sedikit, artinya fokus pemerintah terutama fokus kemenag sangat ambigu, ini bukti bahwa faham sekularisme telah mengakar di seluruh lini kehidupan.
Produk Halal Terjamin di Tangan Islam
Sesungguhnya untuk menjaga produk halal dan membedakan dengan produk haram, tidak cukup hanya memberikan sertifikat halal yang mengujiannya terkadang hanya menggunakan sample semata. Tapi butuh pengawasan setiap saat di lapangan. Untuk rutin setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik.
Dalam Islam, ada para Qadi Hisbah yang melakukannya. Selain itu, mereka juga bertugas mengawasi dari hulu hingga hilir. Dari produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga mengawasi tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Ini untuk memastikan bahwa hanya produk halal dan aman yang beredar di tengah masyarakat.
Pembeda produk halal dan haram hanya cukup diberikan label dan dipastikan distribusinya. Produk halal akan disebarkan di seluruh wilayah negara, sedang produk haram akan disebarkan pada wilayah khusus non muslim. Dengan metode ini, tentunya para pelaku usaha tidak akan dipusingkan dengan adminitrasi yang sangat tinggi sehingga produk yang dihasilkan pun menjadi mahal, yang tentunya akan berdampak bagi pembeli ( konsumen). Tentunya rakyat akan merasa aman dan nyaman karena ada jaminan kehalalan produk oleh negara
Tak lepas dari itu, peningkatan keimanan akan terus menerus dilakukan. Bagi pelaku usaha tidak akan berbuat curang, dengan mengurangi kualitas barang. Bagi konsumen akan beramar ma'ruf nahi mungkar jika mendapati kecurangan. Semuanya dilakukan sebagai bagian dari ketaatan makhluk Allah yang bertakwa
Ketenangan ini terwujud karena negara menjalankan tugasnya. Negara yang bisa bertanggung jawab penuh terhadap tugas penjaminan kehalalan ini hanya Khil4f4h karena tegak di atas akidah Islam.
Paradigma riayah (pengurusan) dan junnah (perlindungan) yang diterapkan khil4f4h akan menjamin seluruh kebutuhan rakyat.
"Sesungguhnya imam itu junnah atau perisai.” (HR Bukhari).
Sedangkan negara di sistem kapitalisme saat ini justru abai dan hanya sibuk memungut cuan dari rakyatnya. Wallahu'alam
Via
Opini
Posting Komentar