Nafsiah
Sudut Pandang
Oleh: Mak Wok
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Cerita populer yang sering lewat di media sosial tentang bagaimana sudut pandang akan sangat memengaruhi bahagia atau tidaknya seseorang.
Bahagia itu ternyata sangat kuat dipengaruhi oleh respon yang dipilih seseorang terhadap fakta di hadapan, mungkin cerita berikut juga sudah pernah anda ketahui.
Alkisah, ada sepasang suami istri yang sedang beristirahat melepas penat, sambil menikmati teh hangat dan pisang goreng, di gubuk mereka yang ada di tengah sawah yang menghijau.
Di kejauhan mereka melihat mobil mewah mengkilat melintas pelan.
"Alangkah senang dan bahagianya mereka ya, Pak, mereka punya banyak uang, bisa pergi kemana saja dengan mobil tanpa kehujanan dan kepanasan seperti kita," ujar sang istri dengan suara lirih.
Raut wajah sedih tergambar jelas dari mukanya.
"Iya, Buk, coba kalau Kita bisa seperti mereka, tentu Kita akan selalu bahagia, ya Buk." Tanggap sang suami menimpali, sambil menyeka keringat yang meleleh karena hawa panas teh yang diseruput.
Walhasil, teh hangat dan sejuknya semilir angin yang menerpa wajah mereka, tidak mampu menghapus rasa kecewa mereka terhadap hidup yang mereka jalani.
Pada saat bersamaan, ternyata pasangan suami istri yang berada di dalam mobil mewah yang sedang melintas pelan, juga berada pada situasi yang dirundung kecewa.
"Alangkah bahagianya mereka berdua ya, Pi, mereka bisa menikmati suasana hijau dan sejuk setiap hari, bebas dari polusi, tidak seperti kita yang sibuk dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya," keluh istri.
"Iya, Mi, alangkah senangnya, jika bisa menikmati hidup seperti mereka, Papi yakin mereka juga tidak dikejar-kejar target penjualan dan cicilan beraneka ragam, seperti Kita, Mi," sahut suaminya menimpali.
"Semoga nanti kita bisa seperti mereka ya, Pi." Ucapan nelangsa sang istri dengan lirih.
Mobil mewah super empuk dengan seperangkat audio kelas dunia dan ruang kabin yang sejuk tidak mampu menyejukkan hati mereka yang sedang gundah gulana. Padahal mobil mereka menjadi impian banyak orang untuk dimiliki.
Begitulah sekelumit penggalan cerita yang bisa saja terjadi pada banyak keluarga lainnya.
Cerita berikut, menggambarkan kondisi yang kontradiksi, bisa jadi akan mengherankan banyak orang. Kok bisa?
Ada sekelompok anak-anak pemulung yang bermain dengan riang gembira, tertawa lepas ditemani aroma busuk menyengat dan ketika makan mereka dikerubuti ratusan lalat hijau di tempat pembuangan sampah.
Ada lagi anak pemulung yang tertidur lelap di gerobak reot di tengah teriknya matahari di padatnya jalan penuh polusi.
Tukang becak yang tertidur pulas di atas becaknya menunggu penumpang yang sudah jarang menggunakan jasanya. Tidak terganggu dengan hingar-bingar pasar di dekatnya.
Dari beberapa cerita diatas, terlihat bahwa "uang bukanlah segalanya".
Walau kata banyak orang, "segalanya butuh uang".
Memang hidup di era sekularisme-kapitalisme dewasa ini tidaklah mudah.
Nyatanya uang dan materi memang menjadi standar dan tolok ukur kebahagiaan bagi kebanyakan.
Padahal kenyataannya uang tidak akan bisa membeli tidur nyenyak, apalagi membeli pikiran dan hati yang tenang.
Jika hidup diukur dengan standar Islam, hidup akan ringan dan mudah.
Ketenangan hanya akan tercapai dengan senantiasa mengingat Allah Azza wa Jalla.
Senantiasa sadar akan ikatan dan hubungan dengan-Nya.
Beramal lah seolah-olah Kita melihat -Nya, jika tidak mampu, yakinlah bahwa Allah Swt. setiap detik melihat kita.
Lagian, uang yang banyak bukan lah tanda kemuliaan.
Jika harta tanda kemuliaan, tentu Qarun akan dimuliakan.
Jika jabatan tinggi tanda kemuliaan, tentu Fir'aun akan mulia.
Jika populer tanda kemuliaan, maka Bal'am akan mulia.
Jika penguasaan teknologi tanda kemuliaan, tentu Haman akan mulia.
Alquran mencatat mereka semua Allah Swt. hinakan dan dijadikan-Nya contoh buruk sampai hari kiamat.
Uang banyak bisa menggapai kemuliaan ketika senantiasa dibelanjakan dijalan Allah Azza wa Jalla dan menjadi sosok dermawan seperti Rasulullah, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf Radhiallohuanhuma.
Karena rezeki itu adalah qadha (ketetapan)-Nya, tentu bagi yang Allah Swt. takdirkan sebagai hamba yang disempitkan rezekinya tetap bisa meraih kemuliaan, seperti Abu Hurairah Radhiyallahuanhu.
Dalam Islam orang kaya yang pandai bersyukur dan menjadi dermawan adalah ladang pahala melimpah.
Sebaliknya orang miskin yang qanaah (merasa cukup), dan tetap bersabar dengan qadha -Nya, juga akan menjadi ladang pahala yang banyak.
Bahkan di akhirat nanti, Rasulullah dekat dengan orang miskin dan duluan masuk surga, karena hisabnya lebih cepat dari orang kaya, si kaya akan ditanya dari mana harta diperoleh dan kemana harta dialokasikan.
Sudut pandang menyikapi hidup yang benar, hanya ketika bersandar kepada Allah Swt. dan rasul-Nya.
Apapun kondisi kita, selagi tetap taat dan tidak bermaksiat, insyallah selamat.
Respon yang sesuai syariat lah yang akan menghantarkan kepada ketenangan dan kebahagiaan.
Bersyukurlah dengan apapun yang Allah Swt. putuskan untuk kita, maka ketenangan akan senantiasa menyertai.
Jika saat ini galau, gundah dan gulana, perbaiki sudut pandang dalam merespon apapun yang terjadi di hadapan kita.
__________________
Batam, #287/140324
Ig @makwock
t.me/McWok
fb.me/nowrohis
#SudutPandang #MakWok #Surau_2.0 #BengkelPemikiran
Via
Nafsiah
Posting Komentar