Opini
Tak Mampu Bayar, Silakan Cari Jalan
Oleh: R. Raraswati
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
TanahRibathMedia.Com—“Anda bayar, silakan berjalan, jika tak mampu bayar silakan cari jalan.” Seolah begitulah kalimat yang hendak disampaikan kepada pengendara roda 4 ketika akan masuk jalan tol. Ya, TOL sendiri adalah singkatan dari Tax On Location atau dalam bahasa Indonesia berarti pajak di lokasi. Itu artinya setiap kendaraan yang akan menggunakan jalan tersebut wajib membayar pajak. Padahal jalan merupakan milik umum yang harusnya semua masyarakat memiliki hak untuk menggunakannya. Lalu, kenapa harus membayar?
Pengguna jalan tol dikenakan sejumlah biaya yang sebenarnya itu adalah pajak (sebagaimana namanya). Pembangunannya memerlukan banyak biaya untuk pembebasan lahan maupun pembuatan jalannya sendiri. Dikarenakan negara tidak memiliki cukup cuan untuk pembangunannya, maka utang luar negeri menjadi cara yang diambil penguasa. Tentu saja utang dengan bunga yang jelas dilarang agama namun tetap dilakukan.
Meski penduduk mayoritas muslim dan pengambil kebijakan juga muslim, yang haram pun diterjang dengan dalih untuk kemaslahatan umat. Mirisnya lagi pengguna jalan tol akan dikenai pajak guna mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan untuk pembangunannya. Padahal dalam Islam pajak juga hanya dikenakan pada kondisi tertentu yang mendesak dan dalam jangka waktu yang terbatas sampai kondisi normal. Dari sini sudah ada dua hal yang tidak sesuai dengan syariat Islam yaitu utang riba dan pajak yang tanpa batas.
Tidak hanya itu, tarif jalan tol bahkan sudah diatur dalam Undang-Undang Jalan No.2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 38 Tahun 2024 tentang jalan. Sedangkan pasal 48 ayat 3 menyebutkan bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 tahun sekali disesuaikan dengan pengaruh laju inflasi dan dengan syarat pengelola jalan tol memenuhi standar pelayanan minimal (SPM).
Fakta ini menunjukkan komersialisasi jalan tol oleh pengusaha yang difasilitasi penguasa.
Semua dibuktikan dengan kenaikan berkala yang diatur UU. Secara otomatis hal ini sebagai bukti keberpihakan penguasa terhadap pemilik modal, bukan pada rakyat.
Banyak protes keberatan yang dilayangkan atas kebijakan tarif jalan tol dinaikkan. Tarif yang mahal juga dirasa tidak sesuai dengan kualitas pelayanan yang diberikan. Adanya jalan berlubang dan permasalahan lampu penerangan sepanjang tol menjadi bukti nyata kualitas yang buruk. Ini membuktikan sarana layanan publik di Indonesia belum layak dan tidak seharusnya tarifnya naik.
Semua kebijakan tentang jalan tol sejatinya sebagai akibat penerapan sistem kapitalisme oleh negara. Kapitalisme telah membuat negara tidak bertanggung jawab atas kebutuhan rakyatnya. Pengusaha yang telah menjadikan negara pebisnis yang harus dibayar jika diminta melayani rakyatnya. Para pemilik modal meraup cuan di atas derita rakyat atas nama pelayanan publik.
Kondisi ini tentu berbeda dengan sistem Islam di mana jalan merupakan bagian dari pelayanan negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Seorang Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari hadis tersebut, jelas jalan merupakan milik umum yang tidak boleh dikomersilkan oleh negara apalagi swasta bahkan asing. Mengutip pendapat Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya yang berjudul “Sistem Keuangan Negara Khil4f4h”, disebutkan bahwa dari sisi kepemilikan, jalan umum dipandang sebagai infrastruktur milik umum, siapa pun boleh memanfaatkannya, tanpa dipungut biaya.
Dengan demikian, sistem Islam akan menyediakan layanan publik, tanpa terkecuali termasuk jalan tol dengan gratis atau tarif yang terjangkau dalam waktu terbatas sampai negara mampu membiayai operasionalnya dari Baitul Mal pos kepemilikan umum. Jika memang sangat mendesak karena kurang/kosongnya Baitul Mal pos kepemilikan umum, barulah pengguna akan dikenakan tarif yang diupayakan untuk tetap terjangkau. Inilah solusi yang ditawarkan Islam melalui penerapannya oleh negara dalam bentuk khil4f4h.
Allahu ‘alam bish showwab.
Via
Opini
Posting Komentar