Opini
Banjir Menggenang Rakyat Mengawang
Oleh: Humaida Aulia
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Warga di Kampung Lebak, Kelurahan Teluk Pucung, Kecamatan Bekasi Utara mengalami kebanjiran. Tinggi banjir sekitar 70 cm sempat merendam rumah penduduk setempat. Kepala Pelaksana (BPBD) Kota Bekasi, Enung Nurcholis menjelaskan, banjir merendam pemukiman warga saat jelang sahur, pada Minggu pagi (24-3-2024).
Terendamnya pemukiman warga di Kampung Lebak, Terluk Pucung ini disebabkan intensitas hujan deras di Bogor sejak Sabtu malam. Banjir kiriman masuk ke kali Bekasi hingga meluap.
Kiriman banjir tersebut mengakibatkan wilayah satu RW terendam. Warga kesulitan mengakses jalan. Kondisi terkini, banjir di kampung Lebak berangsur surut, namun masih dilakukan pemantauan anggota BPBD Kota Bekasi (infobekasi.co.id, 24-3-2024).
Tidak hanya di Bekasi, banjir masih terus melanda beberapa wilayah di negeri ini. Pada awal Maret 11 kecamatan di wilayah Pesisir Selatan, Sumatera Barat juga terendam banjir. (CNN Indonesia, 10-03-2024). Tak hanya itu, banjir juga melanda 36 desa di sembilan kecamatan di Kabupaten Cirebon yang terjadi sejak Selasa (5-3-2024) malam.
Akibatnya, setidaknya 20 ribu unit rumah terdampak banjir dan dua orang meninggal dunia (tirto.id, 6-03-2024).
Polemik Banjir Tak Kunjung Usai
Banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia. Kondisi ini berulang setiap tahun. Curah hujan yang tinggi dengan kondisi cuaca yang ekstrem, dianggap sebagai penyebab banjir. Memang benar, jika curah hujan dan cuaca menjadi salah satu penyebab banjir. Tetapi alam dengan segala keseimbangannya menjadi tidak stabil saat aktivitas manusia menggeser penopang siklus alami alam.
Kalau kita amati banjir kiriman dari wilayah dataran tinggi ke dataran rendah, efek dari pembangunan yang semerawut dan tumpang tindih. Tidak hanya itu, alih fungsi lahan karena pembangunan yang masif tidak memperhitungkan dampak lingkungan, sehingga membuat debit air tidak tertampung secara normal. Belum lagi faktor sampah yang turut memperparah kondisi ini. Walhasil, banjir pun tidak terelakkan.
Banjir berulang tidak bisa dimungkiri erat kaitannya dengan paradigma pembangunan. Paradigma pembangunan saat ini menggunakan sistem kapitalisme, yakni hanya mengacu pada untung rugi semata. Berbagai pembangunan tersebut dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Demi mengejar cuan, pembangunan dilakukan secara serampangan. Inilah model pembangunan ala kapitalisme yang hanya mengutamakan keuntungan dan abai atas dampak terhadap lingkungan dan tata kota secara keseluruhan. Akibatnya, rakyat yang menjadi korban. Terjadi korban jiwa, rumah warga terendam, penduduk harus mengungsi. Setelah banjir, marak terjadi diare.
Inilah kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme untuk memperoleh keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Allah Swt. berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (QS Ar-Rum: 41)
Islam Solusi Hakiki
Kondisi alam memang tidak dapat diintervensi oleh manusia. Jika terjadi secara alami, kondisinya tidak akan mempengaruhi kestabilan alam. Maka, manusia dilarang untuk melakukan aktivitas yang mengganggu keseimbangannya. Ini juga yang menjadi paradigma Islam dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Dalam masalah pembangunan, Islam memiliki paradigma sendiri di mana pembangunan diatur berdasarkan syariat yang tidak membahayakan lingkungan dan menyengsarakan rakyat.
Pandangan pembangunan dalam Islam akan memperhatikan penjagaan terhadap lingkungan sehingga alam tetap harmonis. Meski sebuah rencana pembangunan seolah menguntungkan, seperti pembangunan kawasan industri, permukiman, atau kawasan wisata, jika ternyata merusak alam dan merugikan masyarakat, akan dilarang.
Pembangunan dalam sistem Islam dilaksanakan untuk kepentingan umat dan memudahkan kehidupan mereka. Ujung tombak pembangunan adalah penguasa. Oleh karenanya, penguasa sebagai pengurus (raa’in) rakyat harus menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, bukan berdasarkan kemauan para investor.
Negara akan menentukan kawasan yang menjadi permukiman, perkantoran, kawasan industri, lahan pertanian, hutan, sungai, dan sebagainya. Daerah bantaran sungai tidak boleh dijadikan permukiman, adapun warga yang tinggal di sana akan diberi tempat tinggal yang layak di daerah yang memang aman dan cocok untuk permukiman. Pembangunan fasilitas publik, seperti sekolah, rumah sakit, jalan, pasar, masjid, dll. akan diatur dengan memperhatikan lokasi permukiman sehingga warga mudah mengakses fasilitas publik. Adapun industri dan pertambangan akan dijauhkan dari permukiman sehingga tidak membahayakan warga.
Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu maupun tambang harus sesuai dengan hasil pengkajian para ahli sehingga tidak merusak alam. Cara penambangan juga harus memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan sehingga tidak menghasilkan kerusakan dan limbah yang mengganggu kesehatan rakyat. Negara juga wajib memperhatikan pembangunan infrastruktur yang mampu menopang keseimbangan lingkungan dengan menerjunkan orang-orang yang ahli di bidangnya seperti dengan membangun bendungan, saluran irigasi, serta pengelolaan limbah yang ramah lingkungan.
Hal ini tentunya hanya bisa dilakukan dengan penerapan Islam secara sempurna dalam sistem kehidupan. Dengan begitu keseimbangan alam akan tetap terjaga dan banjir tidak akan lagi terjadi, rakyat pun tak akan menjadi korban lagi.
Wallahu a'lam bishshawab.
Via
Opini
Posting Komentar