Opini
Fastabiqul Khairat dalam Kelas Penguasa
Oleh: Shafayasmin Salsabila
(MIMÙ…_Muslimah Indramayu Menulis)
TanahRibathMedia.Com—Disadari atau tidak, saat ini kita berada di tengah lomba "maraton". Apalagi ketika memasuki rute bulan Ramadan. Persaingan makin ketat dan mendebarkan. Mengingatkan banyak sekali poin tambahan yang dapat diraih. Bagi yang gercep, maka limpahan pahala akan memenuhi karung bekal pulangnya kelak ke akhirat.
Perlombaan semacam ini viral dengan sebutan 'fastabiqul khairat', yakni berlomba-lomba unjuk gigi di hadapan Allah, dalam hal kebaikan.
Kebaikan yang dimaksud bukan sekadar apa-apa yang dianggap baik oleh manusia. Tapi disandarkan kepada penilaian Allah saja. Karena Allah yang menilai maka hanya Allah yang berhak menentukan syaratnya.
Kebaikan baru bisa tercatat dalam buku amal manusia dan berpahala, bila memenuhi 2 syarat. Pertama, kebaikan dilakukan atas dasar iman, niatnya lillah. Kedua, dilakukan sesuai syariat, melalui petunjuk dan contoh dari Rasul.
Di bulan Ramadan ini, kita semua seakan berhenti sejenak dari hiruk pikuk dunia. Fokus mulai digeser untuk bersibuk-sibuk bersama Al-Qur'an. Selain melakukan puasa di siang hari, dan menghidupkan malam-malamnya dengan terawih plus salat sunnah lainnya.
Namun, ternyata kategori peserta lomba, tak hanya individu per individu. Ada juga kategori beregu. Regu pertama adalah masyarakat, regu kedua adalah penguasa. Perlombaan dalam regu masyarakat ini, dalam hal amar ma'ruf nahi munkar. Tidak bisa dilakukan sendirian, tapi harus bersama-sama. Sensitivitas terhadap kemaksiatan terbangun. Bahkan, mengoreksi kebijakan yang tidak tepat pun menjadi budaya. Saling mengingatkan, saling menasihati, saling menyokong dalam setiap perintah dan larangan Allah menjadi poin-poin penilaian lomba.
Regu berikutnya adalah kelasnya para negarawan, termasuk di dalamnya adalah penguasa dan semua pemangku kebijakan. Perlombaan di sisi mereka yakni dalam hal siapa yang lebih gercep dalam menyayangi rakyat. Siapa yang paling bisa melegakan pernapasan rakyat. Siapa yang paling terampil dalam menciptakan kesejahteraan yang merata, adil tanpa ada diskriminasi atau kesenjangan sosial.
Poin-poin penilaiannya seputar kebijakan dan keputusan hukum yang dibuat. Apabila pihak-pihak yang berada di tampuk kekuasaan menyadari situasi 'fastabiqul khairat' di sepanjang masa jabatannya, maka semua pikirannya akan terkuras untuk menemukan solusi atas masalah-masalah yang menimpa rakyat. Supaya Allah rida atas amanah kekuasaan yang diemban. Jangan sampai masalah itu justru datang dari "tangan"-nya sendiri.
Menyadari bahwa penguasa sedang ber-fastabiqul khairat, maka pakem yang digunakan pun jelas, hanya mengambil dari syariat saja. Berikutnya dia tidak akan melukai hati rakyatnya dengan pembebanan berbagai macam pajak, misalnya. Sebab imannya akan menunjuki ke jalan yang lurus. Dia paham pandangan Islam terkait peran strategis negara, yakni untuk mengelola aset-aset umum lalu digunakan sebagai sarana meraih kesejahteraan bagi setiap warga negara.
Negara tidak berhak memaksa siapapun dari warganya, untuk mengeluarkan biaya, selain apa yang telah ditetapkan syariat, seperti zakat, jizyah, kharaj dsb. Karena itu, pungutan pajak seperti yang sedang eksis saat ini, terlarang dan tidak termasuk dalam perlombaan dalam kebaikan. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut saat kas negara kosong atau sedang darurat. Itu pun hanya kepada pihak-pihak tertentu saja, yakni kepada individu yang masuk kategori kaya, atau memiliki kemampuan dalam hal harta. Tidak dipukul rata kepada semua, apalagi warga kelas bawah yang kesulitan. Bersifat sementara, hanya sampai kas negara terisi lagi.
Jelaslah, bila penguasa sadar bahwa dirinya tengah berada dalam perlombaan, sekaligus paham lomba apa yang diikuti dan memahami syarat dan ketentuannya, niscaya, wacana memajak rakyat menjadi sesuatu yang dijauhi dan dihindari. Apakah berbentuk pajak penghasilan (Pph), ataupun variannya, seperti pajak THR dan bonus. Kesadaran fastabiqul khairat pun, akan menuntut penguasa memperjuangkan aturan positif yang hanya berasal dari ketetapan Allah saja, supaya bernilai pahala. Yang pasti di dalamnya tidak terdapat pen-syariatan pajak THR.
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Via
Opini
Posting Komentar