Opini
Film Kiblat: Krisis Edukasi Jadi Tontonan Generasi
Oleh: Yulida Hasanah
(Pembina Komunitas Smart Moslem Genration Brebes)
TanahRibathMedia.Com—Beberapa hari lalu, media sosial diramaikan dengan pemberitaan film ‘Kiblat’ yang menuai kontroversi di masyarakat hingga MUI turun tangan untuk mencabut rencana penayangannya. Hasilnya, Rumah produksi Leo Picture menarik kembali poster dan ‘trailer’ film ‘Kiblat’ yang sudah diluncurkan sebelumnya, dan meminta maaf atas kontroversi yang ditimbulkan. Film tersebut memang dinilai mengandung kampanye hitam terhadap ajaran Islam (seleb.tempo.com,30-03-2024).
Dilansir dari berbagai sumber media, kontroversi terhadap film-film hasil karya generasi Indonesia ternyata bukanlah pertama kali terjadi. Sebelumnya juga banyak yang menuai kecaman dan kritik dari publik karena dinilai melanggar norma sosial dan agama, menyinggung seksualitas atau gender dan memicu konflik. Seperti film Makmum, Qodrat, Kucumbu Tubuh Indahku, Dua Garis Biru, Dari Jendela SMP, Para Betina Pengikut Iblis, dan lain lain.
Film Anak Negeri, Krisis Edukasi
Sangat disayangkan, beberapa film kontroversial di atas merupakan film-film yang nyatanya sangat diminati oleh remaja khususnya kalangan gen-Z. Di awal tahun 2020 lalu, Asosiasi Perusahaan Film Indonesia (APFI) sempat menggelar acara Diskusi Film bertema: Kaum Muda Indonesia dan Perilaku Menonton Film. Ketua APFI, Chand Parwez mengaku sangat optimis terhadap pertumbuhan film Indonesia dan berkomitmen untuk menghadirkan karya-karya yang diminati penonton film di bioskop. Serta berinvestasi dengan terus menghadirkan variasi genre dan bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan di bidang usaha, khususnya eksibitor, bidang kreatif, komunitas dan pendidikan.
Optimisme tersebut didapat dari hasil survei nasional SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) yang melibatkan 1000 responden ini menyebutkan bahwa generasi Indonesia dari kalangan kelompok usia muda yakni 15-22 tahun, ada 81% menyatakan pernah menonton 1 film nasional. Hal ini menunjukkan bahwa anak remaja Indonesia masih gandrung nonton film. Hanya saja, apakah menjadi jaminan bahwa film-film yang mereka tonton memberikan eduksi positif dalam mendukung pendidikan mereka dan pembentukan pribadi yang beriman dan bertakwa?
Mengingat karya-karya perfilman yang makin ke sini malah makin ke sana. Yakni makin menjauhkan generasi dari edukasi positif khususnya gen-Z yang paling banyak jumlahnya di negeri ini. Tidak heran saat kondisi generasi juga makin rusak karena tontonan yang membentuk cara berpikir dan bertingkah laku mereka. Ajaran agama tak lagi jadi perhatian, yang ada malah disesatkan. Krisis moral dan sosial juga makin menjadi.
Generasi muda akhirnya menjadi korban para pengusaha-pengusaha entertainment yang lebih mengedepankan investasi dan keuntungan materi. Sedangkan negara sendiri telah dimandulkan perannya dalam melindungi generasi dari tayangan-tayangan yang tak mendidik bahkan justru menjerumuskan pada kerusakan. Seperti yang kita lihat hari ini, di mana LGBT sudah menjadi biasa seakan diamini untuk terus ada. Generasi jauh dari tuntunan syariat karena agama sengaja dipisahkan dari kehidupan mereka. Inilah gambaran dari efek kehidupan generasi dalam penerapan sistem kapitalisme sekuler. Generasi muda menjadi pasar dari bisnis film Indonesia tanpa melihat efek akan bahaya terselubung yang muncul darinya. Yang penting para pengusaha perfileman dapat cuan dan negara berperan sebagai fasilitator di dalamnya.
Hiburan Boleh, Menyesatkan Jangan!
Sebagai agama yang sempurna mengatur segala aspek kehidupan manusia. Islam yang diturunkan oleh Sang Maha Pencipta dan Pengatur telah menetapkan aturan-aturan yang jelas agar menjadi solusi dalam menyelesaikan permasalahan hidup. Termasuk masalah tontonan, hiburan dan perfileman. Islam memiliki patokan yang jelas terkait tontonan. Tidak hanya menjadi hiburan tetapi juga ada nilai edukasi di dalamnya.
Maka, jelas dilarang dan tidak akan diberi peluang oleh negara, ‘siapapun’ untuk memproduksi film-film yang justru menyimpang dari Islam. Bahkan berhasil membuat penonton jadi takut shalat sendirian di tengah malam. Dan dampak paling buruk adalah merusak akidah generasi umat Islam, yakni mengalihkan rasa takutnya yang harusnya hanya takut pada Allah Swt., malah takut pada sesama makhluk seperti setan dan jin.
Atau film-film yang menyebarkan takhayul, khurafat terkait makhluk ghaib yang sebenarnya tidak ada, seperti hantu, pocong, kuntilanak dan lain sebagainya. Tentu ini semua akan dibuang jauh-jauh dalam industri hiburan atau perfileman. Karena merusak iman. Imam Asy Syatibi mengatakan, “Hiburan, permainan dan bersantai itu mubah, asal tidak terdapat sesuatu yang terlarang.”
Maka dalam Islam, negara jelas punya aturan main dalam mengatur industri hiburan yang ada. Media informasi hanya akan melegalkan konten-konten yang mendidik dan sesuai dengan akidah dan syariat Islam saja. Di luar itu, maka dilatang untuk tayang tanpa melihat apakah peminatnya besar atau keuntungannya menjanjikan. Karena standar negara dalam Islam adalah syariat, bukan manfaat.
Wallaahua’lam
Via
Opini
Posting Komentar