Opini
Ketika Rumah tak Ramah, Anak Berlindung Kemana?
Oleh: Aulia Rahmah
(Kelompok Penulis Peduli Umat)
TanahRibathMedia.Com—KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) selama tahun 2023 mencatat terdapat 16.854 anak menjadi korban kekerasan. Berbagai kekerasan yang menimpa tak hanya secara fisik, bahkan psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Dari 20.205 kasus, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di tanah air sepanjang tahun lalu yakni kekerasan seksual. Jumlahnya mencapai 8.838 kejadian. Disusul kekerasan fisik terhadap anak tercatat sebanyak 4.025 kejadian.
Ada pula 3.800 kekerasan psikis. Sebanyak 955 kejadian penelantaran anak sepanjang tahun lalu. Kemudian, eksploitasi terhadap anak tercatat sebanyak 226 kejadian. Sedangkan, kejadian anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia ada 195. Sementara, 2.166 jenis kekerasan dalam bentuk lainnya sepanjang tahun lalu. Kekerasan ini terjadi tak hanya di lingkungan sosial, bahkan di rumah dan di satuan pendidikan.
Kasus kekerasan pada anak cenderung meningkat. Baru-baru ini, anak dari selebgram Aghnia Punjabi, JAP (balita 3 tahun), menjadi sasaran kekerasan dari asisten rumah tangganya yang berinisial IPS (27). Kronologi kejadian, IPS kesal karena JAP menolak obat untuk mengobati luka cakar yang diberikannya. Rasa kesal inilah yang mendorong IPS melakukan penyiksaan kepada JAP
(liputan6.com,30-3-2024).
Maraknya kasus kekerasan pada anak menunjukkan bahwa lingkungan tak lagi dapat mewujudkan rasa aman, bahkan di rumah. Orangtua yang sepenuhnya bertanggungjawab untuk memberi pelayanan, kasih sayang, pengasuhan yang baik dengan aman dan nyaman tak lagi dapat terpenuhi. Sebabnya, orangtua di masa kini lebih senang melakukan kesibukan di luar rumah daripada mengurus anak-anaknya, terutama seorang ibu.
Kapitalisme yang memandang sebelah mata peran domestik ibu, membuat seorang ibu ringan kakinya meninggalkan rumah dan menggantikan perannya dengan menggaji seorang ART (Asisten Rumah Tangga). Padahal seorang anak sangat butuh kasih sayang dan pendampingan dalam pertumbuhannya yang tidak bisa didapatkannya dari ART. Apalagi ART bukanlah sanak keluarga yang memungkinkan meluapkan kekesalannya pada anak asuhnya.
Gagalnya keluarga dalam menciptakan kondisi rumah yang ramah bagi anak adalah dampak dari penerapan Sistem Sekularisme Kapitalisme di negeri ini. Besarnya peran negara untuk meningkatkan ekonomi keluarga dengan mendorong peran perempuan (ibu rumah tangga) untuk mandiri secara ekonomi, seharusnya tidak lah perlu. Sebab, mencari nafkah adalah tugas laki-laki (kepala keluarga), sedangkan seorang ibu diedukasi agar memerankan perannya sebagai pengatur rumah tangga dan pendidik anak-anaknya. Jika wanita diberi kebebasan untuk berkarir di luar rumah, perhatian ibu kepada anaknya menjadi terbengkalai. Apalagi beban biaya hidup dan pajak yang beragam, ikut juga mendorong terjadinya, baik di skala individu, keluarga, juga lingkungan. Akibatnya, tindakan kekerasan mudah terjadi.
Terus berulangnya kasus kekerasan pada anak juga menjadi bukti bahwa regulasi yang ada, baik UU P-KDRT maupun UU perlindungan anak, yang bahkan sudah direvisi, mandul adanya. Ketidaktegasan aparat penegak hukum, juga sanksi yang ringan membuat para pelaku semakin banyak sehingga kasus kekerasan pada anak makin tinggi dan sulit diberantas
Segala kejahatan berawal dari lemahnya kontrol diri. Pun dengan tindakan kekerasan pada anak. Para pelaku yang telah terbiasa memisahkan kehidupan dunia dengan akhirat, mengira bahwa tak ada hubungan kehidupan saat ini dengan kehidupan nanti di akhirat. Padahal Allah menetapkan bahwa hidup di dunia adalah ladang untuk menanam kebaikan yang nanti akan di panen di akhirat. Jika manusia selama hidup di dunia berbuat nista, pasti di akhirat akan menuai siksa. Keimanan inilah yang turut berperan memainkan kontrol diri seseorang. Jika kontrol diri kuat, segala kejahatan akan dapat diminimalkan, tentu dengan dukungan kontrol masyarakat dan negara.
Islam menganggap bahwa anak adalah buah hati yang wajib dijaga. Dengan hadirnya anak, kebahagian rumah tangga menjadi sempurna. Bagi masyarakat, anak yang salih dan saliha menjadi penyejuk mata dan harapan kebermanfaatan bagi lingkungan masyarakat. Bagi negara, hadirnya generasi yang baik akan menjadi penerus keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Generasi yang salih menjadi penyambung estafet kepemimpinan peradaban Islam. Maka selayaknya, upaya kehadiran generasi salih haruslah dipelihara dengan mewujudkan pendidikan agar terbentuk kontrol individu, masyarakat, dan negara. Juga sistem Islam yang mengatur tentang sanksi uqubat, juga sistem pergaulan dan sistem Islam lainnya secara kafah. Dengan terwujudnya hal ini tindak kekerasan dapat diberantas, anak-anak bahagia, terjamin keamanannya. Baik di rumah, di sekolah dan dimanapun mereka berada.
Wallahu a'lam bi Ash-Shawab.
Via
Opini
Posting Komentar