Opini
Mitigasi Terus Dipertanyakan di Tengah Berulangnya Bencana
Oleh: Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Datangnya bencana tidak mampu dihadang. Namun, setidaknya dampak yang terjadi dapat diminimalisasi melalui usaha mitigasi.
Minim Mitigasi, Minim Solusi
Berbagai bencana terus berulang. Mulai dari banjir, longsor dan sebagainya. Salah satunya bencana banjir Lumajang yang menelan korban dan merusak berbagai infrastruktur. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lumajang mencatat perkembangan terbaru terkait bencana banjir dan longsor di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Dicatat terdapat sembilan kecamatan terdampak bencana banjir dan longsor (kompas.com, 20-4-2024).
Ternyata tidak hanya banjir lahan Gunung Semeru. Namun bencana yang terjadi juga karena meluapnya debit air sungai yang letaknya berdekatan dengan aliran lahar. Bencana tersebut dilaporkan telah merusak enam jembatan sehingga mengganggu aktivitas masyarakat di wilayah tersebut (CNNIndonesia.com, 19-4-2024).
Tak hanya di Lumajang, banjir bandang pun terjadi di Desa Balongga dan Sambo, Kabupaten Sigi. Kepala Bidang Bencana BPBD Kabupaten Sigi, Ahmad Yani, mengungkapkan banjir bandang di Desa Balongga dan Sambo telah ditetapkan sebagai bencana darurat dan 14 hari ke depan ditetapkan sebagai masa tanggap darurat (tribunnews.com, 19-4-2024).
Akibat banjir tersebut, tercatat berbagai kerusakan, diantaranya 173 rumah terendam air dan lumpur. Korban mencapai 487 jiwa, dan terdapat 419 Kepala Keluarga yang terdampak bencana. Berbagai bencana terus menerpa. Namun solusi penanganannya masih berbelit dan rumit. Sehingga dampak kerusakan terus mengancam jiwa dan aktivitas publik.
Mitigasi bencana semestinya menjadi salah satu usaha yang mampu dioptimalkan. Demi mengurangi risiko bencana yang lebih besar lagi. Terlebih wilayah khatulistiwa merupakan kawasan yang umumnya rawan bencana. Berulangnya bencana pun selayaknya menjadi pembelajaran dengan mempersiapkan usaha pencegahan dengan strategi jitu. Namun faktanya, mitigasi di negeri ini tidak mampu maksimal diusahakan. Salah satunya karena hambatan anggaran dan pembiayaan.
Setiap datang bencana, negara selalu gagap menanggulangi. Anggaran penanggulangan bencana ditetapkan dengan dana seadanya saja. Tidak ada dukungan kebijakan terhadap pengadaan dana tanggap bencana. Akibatnya, rakyat terdampak yang secara langsung merasakan penderitaan yang berkepanjangan. Penanggulangan bencana yang ditetapkan hanya seadanya. Parahnya lagi, kebanyakan rakyat menanggulangi secara swadaya. Hal ini menunjukkan betapa lambatnya solusi yang disajikan negara. Sehingga terpaksa masyarakat berusaha sendiri untuk mensolusi. Memprihatinkan.
Inilah konsekuensi diterapkannya sistem kapitalisme yang sekularistik. Setiap kepentingan rakyat dianggap beban negara. Alhasil, negara angkat tangan pada setiap kebijakan terkait urusan rakyat. Betapa rusaknya tata kelola kehidupan dalam genggaman kapitalisme. Sistem yang hanya mengutamakan keuntungan materi di tengah penderitaan masyarakat. Konsep ini pun diperparah dengan paradigma kehidupan yang sekular, yakni menjauhkan aturan agama dalam kehidupan. Wajar saja, saat pengaturannya sama sekali tidak menilik kebutuhan rakyat sebagai prioritas pelayanan.
Mitigasi dalam Islam
Sistem Islam menetapkan negara sebagai pengurus utama atas kepentingan rakyat. Termasuk dalam usaha pencegahan dan penanggulangan bencana.
Dari Abdullah bin Umar ra., Rasulullah saw. bersabda:
"Ketahuilah setiap dari kalian adalah seorang pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin orang banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR Bukhori dan Muslim).
Sistem Islam dalam institusi khil4f4h merupakan satu-satunya sistem yang menetapkan kebijakan amanah terkait mitigasi bencana. Karena hal tersebut menyangkut nyawa dan keselamatan rakyat seluruhnya. Usaha pencegahan dan penanggulangannya dilakukan optimal dengan pendanaan dari Baitul Maal dengan pos-pos yang telah ditetapkan khalifah.
Beberapa teknik dan program mitigasi yang dicanangkan khilafah untuk mencegah terjadinya bencana diantaranya, melarang pembangunan pemukiman di bantaran sungai, atau di tanah tidak datar, atau di wilayah rawan bencana. Rakyat pun diarahkan untuk tinggal di wilayah aman dan difasilitasi segala kebutuhan tempat tinggalnya oleh khilafah. Tidak hanya itu, pembangunan wilayah waduk atau mengeruk sedimen di kawasan perairan menjadi satu upaya mengurangi risiko banjir besar.
Sementara itu, mitigasi saat bencana terjadi dapat dilakukan negara dengan berbagai cara. Di antaranya, menyiapkan tempat pengungsian yang aman, menyiapkan segala bentuk kebutuhan pengungsi, mencakup pangan dan sandang. Kecepatan dan ketepatan solusi serta kebijakan negara yang cerdas akan menyelesaikan masalah bencana dengan cermat. Rakyat tidak perlu menunggu dalam jangka waktu lama dalam memperbaiki berbagai masalah akibat bencana.
Dengan adanya kebijakan mitigasi yang menyeluruh akan menjaga keselamatan nyawa rakyat dengan sempurna. Pengaturan demikian akan melahirkan kehidupan berkah dengan rahmat berlimpah. Rakyat terurus sempurna dalam tatanan sistem yang amanah.
Wallahu a'lam bishhowwab.
Via
Opini
Posting Komentar