Opini
Pengelolaan Zakat dalam Islam
Oleh: Nurul Aini Najibah
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Pada Ramadan tahun ini, Bupati Bandung Dadang Supriatna mengajak Aparatur Sipil Negara (ASN) dan non-ASN di Kabupaten Bandung untuk mengeluarkan zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswaf).
Hal itu disampaikan Dadang saat Sosialisasi Instruksi Bupati Nomor 2/2024 tentang Optimalisasi Zakat, Infak, dan Sedekah Profesi ASN dan non-ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) di Gedung Korpri Kabupaten Bandung. Ia menegaskan Ziswaf memiliki peran penting dalam menciptakan keadilan sosial dan mengurangi kesenjangan ekonomi di masyarakat.
Namun, ada fakta sulit yang harus di atasi, yaitu rendahnya kesadaran akan zakat dan kurang optimal pengelolaannya. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa penerbitan Instruksi Bupati Nomor 2/2024 tersebut adalah wujud dari kepeduliannya serta sebagai langkah untuk meningkatkan sistem pengelolaan Ziswaf (inilahkoran.id, 18-03-2024).
Zakat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam secara berkala setiap tahun, baik itu zakat fitrah (jiwa) maupun zakat harta lainnya, yang diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya, terutama kepada fakir miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun mengingatkan kaum muslimin mengeluarkan zakat, sedekah, infak dan lainnya adalah hal yang seharusnya dilakukan pemimpin.
Hanya saja, akan berbeda maknanya jika imbauan serta dorongan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sejatinya yang memenuhi kebutuhan pokok rakyat adalah kewajiban negara. Mereka bisa mengalokasikan berbagai sumber keuangan untuk mewujudkannya salah satunya dari pos pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Sementara zakat hanya diperuntukkan bagi 8 asnaf saja. Hal ini disebutkan dalam nash Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat ke 60, yaitu: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (TQS At-Taubah [9]: 60)
Dengan begitu, zakat merupakan hak bagi 8 asnaf sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Maka, hal ini menjadi pelanggaran jika pemanfaatan zakat dijalankan dengan tujuan untuk menyejahterakan rakyat secara umum. Penguasa yang menjadikan zakat di luar peruntukannya bagi 8 asnaf berarti telah menyalahi syariat. Terlebih sistem yang melandasinya pun bukan sistem sah di mata syarak (Allah dan Rasul-Nya). Ini menunjukkan bahwa sistem selain Islam tak membuat penguasa (negara) mampu bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan rakyat.
Sistem kapitalisme merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam. Salah satunya tampak dalam bidang ekonomi, di mana kapitalisme menganggap ekonomi dan harta sebagai inti dari ideologi yang mereka jalankan. Namun, karena kapitalisme juga ditegakkan atas prinsip keuntungan, akan selalu ada perbedaan pendapat dan polarisasi kepentingan tertentu yang lebih diutamakan. Selama kepentingan menghasilkan manfaat, kecenderungan akan memenangkannya bahkan dengan membenarkan segala cara. Sebaliknya, jika suatu kepentingan tidak lagi memberikan manfaat, kecenderungan akan mengalahkannya dengan menggunakan segala cara.
Oleh sebab itu, jika terdapat persoalan yang bersifat sistemis seperti di atas, zakat bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasinya. Terutama jika zakat dianggap sebagai alat untuk ekonomi kapitalisme, hal ini dapat menyebabkan pemanfaatan zakat yang tidak terarah dan berpotensi tidak mencapai sasaran yang tepat. Cara yang baik adalah dengan mengubah sistem ekonomi serta sistem politik yang mendasarinya secara ideologis. Dari sistem batil menjadi sistem yang sahih, yaitu dari kapitalisme menjadi Islam.
Dalam pandangan Islam, zakat merupakan bagian dari ibadah dan rukun Islam, seperti halnya shalat, puasa, dan haji. Allah Swt. berfirman:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (TQS Al-Baqarah: 43).
Sudah seharusnya umat muslim yang mampu untuk menunaikan zakat sesuai ketentuan syariat. Maka itu, perlu diingat bahwa zakat bukanlah solusi untuk menyelesaikan masalah dan tidak seharusnya dipandang sebagai cara untuk mengatasi kebutuhan umat. Zakat tersebut hanya menyediakan bantuan jangka pendek bagi para mustahiknya. Pengentasan masalah kesejahteraan umat adalah tanggung jawab negara.
Dalam sistem Islam, negara berperan penting untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya melalui pengaturan dana yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Zakat adalah salah satu sumber pendanaan untuk mengurangi kemiskinan, namun ada juga mekanisme lain yang harus dilakukan oleh negara. Salah satunya adalah mengelola sumber daya alam (SDA) secara independen tanpa bergantung pada investasi asing, dan terutama tanpa menyerahkan pengelolaannya sepenuhnya kepada pihak asing seperti yang sering terjadi saat ini.
Adapun, negara juga memiliki tanggung jawab untuk mengurus kepemilikan umum, seperti sumber air, hutan, dan tambang; serta untuk menggunakan hasilnya demi kepentingan umat, yang mencakup pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, layanan kesehatan, pendidikan, dan menjamin lapangan kerja.
Di samping pengelolaan tersebut, Islam juga akan memungut jizyah dari kafir dzimmi, yakni warga non-muslim yang tinggal di wilayah negara Islam. Mereka juga akan mengenakan kharaj atas tanah negara yang dikelola secara produktif oleh penduduk dan akan menggunakan harta fai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dan zakat akan disimpan di Baitulmal jika salah satu dari 8 golongan penerima zakat tidak hadir, dan tidak akan digunakan untuk tujuan lain.
Demikianlah, terlihat dengan jelas bahwa sistem Islam mampu mengelola zakat dengan prinsip pelayanan yang sangat baik kepada umat, sehingga pelaksanaan kewajiban zakat mereka berjalan lancar sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Wallahu a’lam bii Ash-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar