Opini
Pertanyaan Sulit, Efektivitas Sistem Sanksi dalam Penjara
Oleh : Reni Ritasari, S.Pd.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Remisi, sebuah kata yang sering kali menjadi harapan bagi para narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Pemberian remisi khusus Idulfitri menjadi momen yang sangat dinantikan, tak hanya karena dapat mengurangi masa hukuman, tetapi juga memberikan semangat baru bagi para warga binaan untuk memperbaiki diri dan kembali menjadi bagian yang berguna dalam masyarakat.
Tahun ini, sebanyak 5.931 warga binaan di Sulawesi Selatan memperoleh remisi khusus Idulfitri, di antaranya 14 langsung bebas. Remisi ini diberikan dalam dua kategori, yaitu Remisi Khusus (RK) I dan RK II, dengan 5.917 warga binaan menerima RK I dan 14 lainnya mendapatkan RK II atau langsung bebas.
Lapas Kelas I Makassar menjadi pusat perhatian dengan jumlah terbanyak warga binaan yang mendapatkan remisi, mencapai 779 orang.
Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sulsel, Liberti Sitinjak mengapresiasi kerjasama antara petugas dan warga binaan yang telah menciptakan suasana kondusif di lapas. Suasana kondusif tersebut dianggap menjadi indikasi sinergi yang baik antara petugas dan narapidana, yang diharapkan dapat membantu proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi para narapidana.
Remisi yang diberikan bukan hanya sekadar pengurangan masa pidana, tetapi juga sebagai pengakuan atas perilaku baik dan upaya perbaikan diri yang telah dilakukan oleh para narapidana. Hal ini sejalan dengan tujuan pemasyarakatan yang tidak hanya menekankan hukuman, tetapi juga pembinaan dan reintegrasi sosial. Dengan adanya remisi, diharapkan para narapidana dapat merasa dihargai atas usaha perbaikan yang mereka lakukan dan diberi kesempatan kedua untuk memperbaiki kehidupan mereka setelah keluar dari penjara.
Namun, di tengah pemberian remisi yang menjadi harapan bagi para narapidana, muncul pertanyaan tentang efektivitas sistem sanksi yang ada. Apakah remisi ini benar-benar mampu memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan? Apakah sistem sanksi yang ada sudah cukup tegas dalam memberikan efek preventif dan pencegahan terhadap tindak pidana?
Pertanyaan-pertanyaan ini menggugah untuk melihat lebih dalam tentang sistem pidana yang diterapkan, serta mencari solusi untuk meningkatkan efektivitasnya.
Salah satu pandangan yang muncul adalah melihat dari perspektif agama khususnya Islam yang memiliki sistem sanksi yang khas dan tegas. Islam sebagai agama yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk sistem hukum dan sanksi, memberikan pedoman yang jelas tentang tindakan yang dilarang dan hukuman yang diberikan atas pelanggaran tersebut. Sistem sanksi dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga sebagai sarana untuk memberikan pembinaan dan pemulihan bagi pelaku agar dapat kembali ke jalan yang benar.
Konsep sanksi dalam Islam mencakup berbagai bentuk, mulai dari hukuman fisik hingga hukuman non-fisik seperti pembatasan kebebasan. Namun, yang terpenting adalah tujuan dari pemberian sanksi tersebut, yaitu untuk memperbaiki perilaku dan menyadarkan pelaku akan kesalahannya. Selain itu, sistem sanksi dalam Islam juga memberikan peran yang penting bagi masyarakat dalam memastikan tegaknya keadilan dan keamanan. Masyarakat memiliki tanggung jawab untuk melaporkan pelanggaran hukum dan memberikan kesaksian dalam proses penegakan hukum. Dengan demikian, sistem sanksi dalam Islam tidak hanya berfokus pada pelaku kejahatan, tetapi juga melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam upaya pencegahan dan penindakan terhadap tindak pidana.
Adapun hukum pidana dalam Islam terdapat tiga jenis kesalahan berdasarkan berat ringannya hukuman: hudud, kisas dan diat, serta takzir. Hudud, seperti zina dan pencurian, memiliki hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah dan tidak bisa diubah. Kisas dan diat berkenaan dengan kejahatan terhadap individu, di mana hukuman ditentukan oleh korban. Takzir adalah kejahatan yang hukumannya ditentukan oleh hakim, dengan tujuan memberi pendidikan atau merehabilitasi pelaku. Kesalahan juga bisa dibagi berdasarkan niat pelaku, waktu terungkapnya, cara melakukannya, dan karakter khususnya, seperti tindak pidana yang mengganggu masyarakat umum, individu, biasa, atau politik.
Namun hal tersebut tidak dapat diwujudkan jika negara tidak menerapkan aturan islam secara kafah. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran dari umat tersendiri untuk merubah sistem dengan mengkaji dan menerapkan Islam secara kafah.
Wallahu'alam bishshawab.
Via
Opini
Posting Komentar