Opini
Remisi, Bukti Lemahnya Sistem Sanksi dalam Sistem Kapitalisme
Oleh: Ummu Saibah
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Hari Raya Idulfitri adalah momen penuh suka cita bagi seluruh umat muslim. Perayaannya selalu meriah di setiap wilayah negeri-negeri muslim. Begitupun di negeri ini yang mayoritas berpenduduk muslim, perayaan Idulfitri ditandai dengan migrasi besar-besaran penduduk kota ke desa untuk bersilaturahmi, saling berbagi rejeki, saling membuka hati untuk meminta maaf dan memaafkan bahkan pada momen ini pemerintah juga merayakannya dengan memberikan remisi kepada para penghuni Lapas (Lembaga Pemasyarakatan).
Di Jawa Barat sebanyak 16.336 narapidana mendapat remisi dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) pada Rabu, 10 April 2024. Bahkan 128 diantaranya bisa langsung bebas dihari perayaan Idulfitri.(NN.Imdonesia.com 4-10-2024).
Tidak hanya itu, sebanyak 240 narapidana korupsi di Lapas Sukamiskin Bandung juga mendapat remisi, salah satu diantaranya adalah terpidana kasus korupsi e-KTP berinisial SN.(Metro tempo.co, 10-4-2024).
Perlukah Pemberian Remisi?
Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana atau anak pidana, yang memenuhi syarat sesuai ketentuan dalam peraturan perundang undangan, antara lain berkelakuan baik dan telah menjalani masa tahanan selama lebih dari 6 bulan. Pemberian remisi berlaku untuk tindak pidana narkotika, korupsi, terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara dan HAM. Biasanya diberikan bertepatan dengan hari kemerdekaan atau hari raya keagamaan.
Walaupun pemberian remisi diatur di dalam peraturan perundang-undangan, tetapi apakah tindakan ini sudah tepat?. Mengingat keberadaan narapidana di lapas adalah untuk menjalani masa hukuman sebagai konsekuensi tindak kejahatan yang telah mereka lakukan. Hukuman dan pembinaan yang mereka jalani seharusnya memberikan rasa takut dan efek jera sehingga mereka tidak akan mengulangi tindak kejahatan yang sama ataupun melakukan tindak kejahatan yang lain dan kembali menjadi penghuni lapas.
Namun pemberian remisi memberikan kesan bahwa aturan yang diterapkan tidak tegas, hal ini terbukti dari masa pidana yang bisa berkurang dengan persyaratan tertentu. Pelaksanaan hukuman yang tidak tegas menyebabkan hilangnya rasa takut, bahkan dalam beberapa kasus semisal kasus narkoba banyak narapidana yang telah bebas kembali tertangkap dengan tindak kejahatan yang sama.Hal ini disebabkan oleh sistem pidana yang dijadikan rujukan tidak baku dan mudah berubah-ubah, karena dirumuskan oleh manusia, yang mudah dipengaruhi bahkan diinterupsi. Sehingga berpotensi melakukan kesalahan ataupun menyalahgunakan wewenang.
Begitulah kerusakan penerapan sistem kapitalisme. Hukuman yang diberikan tidak memberikan efek jera pada pelaku maupun calon pelaku tindak kejahatan, sehingga memungkinkan tindak kejahatan terulang kembali dan tidak mampu mencegah tindak kejahatan yang lain. Penerapan sistem kapitalisme yang rusak menyebabkan kejahatan makin subur dan beragam.
Islam Memberikan Solusi Tuntas Bagi Pelaku Tindak Kejahatan
Sejatinya tindak kejahatan bukanlah fitrah manusia yang ada dengan sendirinya dalam diri setiap individu, tetapi hal itu muncul karena dorongan faktor-faktor tertentu. Misalnya faktor ekonomi yang menyebabkan kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Apalagi pendidikan berbasis sekuler melahirkan individu-individu yang jauh dari agama dan tidak bertakwa sehingga cenderung serampangan dalam bertindak. Maka wajar bila tindak kejahatan sering terjadi. Hal ini diperburuk dengan penerapan sistem hukum yang tidak tegas dan tidak memiliki efek jera. Seperti dalam penerapan sistem kapitalisme.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem Islam memiliki mekanisme aturan untuk menyelesaikan permasalahan hingga akar masalah dan memberikan pencegahan sehingga masalah tersebut tidak terulang.
Di dalam sistem Islam negara berkewajiban untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat. Dengan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok baik pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan bagi setiap individu yang dinaunginya.
Hal ini sangat mungkin terwujud, karena negara yang menerapkan sistem Islam memiliki harta yang cukup yang diperoleh dari berbagai sumber pendapatan, seperti ghonimah, hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA), zakat dan masih banyak lagi.
Sehingga memungkinkan negara untuk memberikan pelayanan secara maksimal kepada rakyat. Contohnya dengan memberikan berbagai bentuk subsidi baik dalam bidang pendidikan, kesehatan ataupun pertanian sehingga rakyat terdorong untuk memproduktifkan lahan di pedesaan dan lain-lain.
Selain itu negara juga akan mendidik rakyat dengan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ketrampilan duniawi saja, tetapi juga berorentasi pada keimanan dan ketakwaan yaitu dengan menerapkan kurikulum pendidikan yang berdasarkan akidah Islam sehingga melahirkan individu-individu yang beriman dan bertakwa. Karena Individu yang mempunyai keimanan yang kokoh mampu mengendalikan perbuatan yang akan dilakukannya karena selalu menyertakan Allah Swt. dalam setiap langkahnya.
Dan semua itu akan semakin lengkap dengan penerapan hukum yang tegas oleh negara dan sanksi yang memberikan efek jera. Hukuman di dalam Islam memiliki dua fungsi yang pertama sebagai zawajir yaitu kedudukan sanksi sebagai pencegah tindak kejahatan. Contohnya penerapan hukum qishas bagi pelaku pembunuhan. Dengan penerapan hukum ini maka setiap individu akan berfikir dua kali untuk melakukan pembunuhan karena konsekuensi dari perbuatannya adalah hukum mati atau dibunuh. Kedua sebagai jawabir yaitu sanksi yang diberikan didunia tetapi bisa menghapus sanksi yang akan diterima di akhirat (penebus dosa) contohnya penerapan hukum rajam bagi pelaku zina. Penerapan hukum ini selain memberikan efek jera juga memberikan ketentraman hati kepada pelaku tindak kejahatan yang bersungguh-sungguh dengan pertaubatannya.
Begitulah sistem Islam akan memberikan keadilan yang seadil-adilnya bahkan bagi para pelaku tindak kejahatan yang telah bertobat dengan taubatan nasuha.
Wallahu a'lam bishowab.
Via
Opini
Posting Komentar