Opini
Kontestasi Pilkada Menghangat: Akankah Menguntungkan Rakyat?
Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
(Pemerhati Sosial dan Media)
TanahRibathMedia.Com—Pilkada serentak 2024 makin dekat, tepatnya akan dilaksanakan pada 27 November mendatang. Para calon kontestan pun telah sibuk bersiap. Bukan rahasia lagi bahwa untuk menjadi kepala daerah seseorang harus menyediakan modal yang banyak. Besarnya modal yang diperlukan mulai dari puluhan hingga ratusan miliar, tergantung daerah pemilihan.
Di tengah kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat nyatanya pemerintah masih menganggarkan biaya yang fantastis untuk ajang Pilkada serentak 2024 tersebut. Mengutip dari laman Kompas.com (2-5-2024), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, anggaran penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 mencapai Rp27 triliun. Total anggaran tersebut merupakan kebutuhan bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) daerah.
Angka di atas tentu bukan jumlah yang sedikit, di saat berbagai masalah yang dihadapi bangsa ini, sebut saja angka stunting yang tinggi, banyaknya pengangguran, kemiskinan ekstrem yang mengintai, dsb. Dengan besarnya biaya yang dikeluarkan, sejumlah pengamat menilai, semestinya proses demokrasi di Indonesia dilakukan dengan hati nurani. Namun, mahalnya ongkos politik menyebabkan proses demokrasi menjadi transaksi bisnis.
Meskipun berbiaya mahal, faktanya masih banyak masyarakat yang berharap pada ajang pemilihan ini, mengingat masyarakat saat ini mendambakan sosok pemimpin yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan.
Di sisi lain, sudah barang tentu suara rakyat akan kembali diburu, untuk kepentingan pemenangan kursi panas Pilkada. Rakyat diyakinkan dengan berbagai cara, mulai dari janji manis hingga popularitas.
Namun yang menjadi persoalan apakah ajang ini benar-benar akan menghasilkan pemimpin yang diharapkan masyarakat? Pemimpin yang adil dan mampu menyejahterakan? Akankah ajang pemilihan ini memberikan keuntungan bagi rakyat?
Mengingat fakta yang sudah ada, suara rakyat hanya dibutuhkan ketika menjelang Pemilu ataupun Pilkada, rakyat diiming-imingi janji manis, setelah terpilih para pemimpin lupa akan janji-janji manis yang telah mereka ucapkan. Alih-alih menyejahterakan rakyat, mereka akhirnya sibuk dengan kekuasaan juga kepentingannya sendiri. Lantas masih pantaskah rakyat berharap pada pemimpin seperti ini?
Lingkaran Setan Demokrasi
Sudah berkali-kali rakyat mengikuti Pemilu serentak baik Pilkada, Pileg maupun Pilpres. Namun berulang kali pula rakyat merasakan kecewa akibat tidak terpenuhinya kesejahteraan. Begitu banyak rakyat yang mengeluh tentang beratnya biaya hidup dari hari ke hari. Mahalnya biaya pendidikan, biaya kesehatan, bahkan harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak, cabai, dll. Belum lagi sulitnya mencari lapangan pekerjaan, dan pembangunan infrastruktur yang tidak merata, sehingga tidak semua masyarakat bisa merasakan fasilitas umum dengan layak.
Maka wajar jika ada pertanyaan untuk siapa pemilu itu dilakukan? Jika hasilnya rakyat tak mampu disejahterakan. Sudah jadi rahasia umum, bahwa kontestasi pemilu sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan elit oligarki. Sudah rahasia umum pula, bahwa Pemilu dalam demokrasi akan mewujudkan lingkaran setan.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, sekaligus mantan cawapres no urut 3, Mahfud MD, pernah mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Setelah terpilih para pemimpin tersebut akan melakukan timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut, inilah yang dimaksud dengan politik transaksional, lingkaran setan dalam demokrasi yang sarat akan kepentingan dan intervensi dari para pemilik modal. Politik semacam ini harus diwaspadai karena bisa menghilangkan kedaulatan negara.
Demokrasi sejatinya hanya melahirkan pemimpin culas, yang mementingkan kepentingannya, haus akan kekuasaan sehingga berani melakukan segala cara untuk mendapatkan tujuannya. Demokrasi dan para tokohnya tidak akan mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan yang menyeluruh bagi rakyat, karena akan selalu berbenturan dengan kepentingan dan intervensi para oligarki yang telah mendanai mereka dalam kampanye.
Inilah satu keniscayaan dalam kapitalisme demokrasi, kekuasaan menjadi sarana untuk meraih materi dan kedudukan/prestise. Hal yang demikian sangat wajar terjadi dalam sistem ini, karena sistem ini berdiri di atas pemahaman yang memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme). Sistem ini akan terus melahirkan kongkalikong antara penguasa dan para pengusaha.
Sudah semestinya umat sadar bahwa kapitalisme demokrasi bukanlah sistem ideal yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Karena sejatinya sistem ini bertentangan dengan Islam, dan terbukti memberikan keburukan serta kerusakan bagi manusia.
Pemilihan Pemimpin dalam Islam
Kondisi berbeda akan kita jumpai dalam sistem Islam di bawah institusi negara Khil4f4h. Islam memandang kekuasaan adalah amanah mengurus rakyat melalui penerapan hukum syariat secara sempurna,dan kekuasaan yang dimiliki tersebut akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak.
Dalam Islam, politik bermakna riayah suunil ummah (mengurus seluruh urusan umat), siapapun pemimpinnya maka wajib melakukan ri'ayah atau mengurus urusan umat secara keseluruhan. Pemimpin dalam Islam (khalifah) akan menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi para pencari nafkah, menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya baik berupa layanan pendidikan dan kesehatan, begitupun dengan pemenuhan sandang, pangan dan papan yang menjadi kebutuhan utama rakyat. Khalifah juga akan menjamin keamanan di tengah masyarakat, sehingga angka kriminalitas bisa terminimalisir dan masyarakat pun bisa beraktivitas dengan aman dan tenang. Khil4f4h juga akan menerapkan sistem ekonomi dan sistem persanksian Islam, dengan begitu kesejahteraan dan ketentraman akan tercipta di tengah-tengah umat.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, pemilihan kepala daerah (wali/amil) dalam Islam dipilih atau ditunjuk langsung oleh Khalifah. Dengan begitu, prosesnya sangat sederhana, cepat dan murah, efektif dan efisien. Kepala daerah (wali/amil) dalam Islam merupakan perpanjangan tangan khalifah dalam meriayah rakyat, mereka juga bukan penguasa tunggal suatu daerah.
Islam mengakui kekuasaan ada di tangan rakyat, namun Islam tetap meletakkan hukum syariat sebagai kedaulatan tertinggi sekaligus sumber hukum dalam setiap aturan yang dilahirkan. Oleh karenanya, pemimpin yang terpilih harus berjalan dan melaksanakan aturan yang berasal dari Allah Swt., bukan aturan yang lahir dari kesepakatan antara penguasa dan pengusaha.
Demikianlah pemilihan pemimpin dalam Islam yang faktanya sangat berbeda secara diametral dengan sistem kapitalisme demokrasi yang penuh akan kepentingan oligarki. Oleh karena itu, sudah cukup umat Islam berharap pada sistem fasad demokrasi dan tokoh-tokoh di dalamnya yang tak segan-segan menghalalkan segala cara untuk meraih kepentingan pribadi.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar