Opini
Pemungutan Pajak Tanda Lemahnya Peran Negara
(Aktivis Muslimah)
TanahRibathMedia.Com—Mengutip dari antaranews.com (19-5-2024) bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menemukan dua perusahaan di Papua memiliki tunggakan pajak kendaraan (PKB) dalam beberapa tahun terakhir senilai Rp 1 miliar. Hal tersebut terungkap pada pertemuan KPK dengan Badan Pengelola Pendapatan Daerah (BPPD) Papua (19-5-2024) di Jayapura. Menurut Ketua Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria, kedua perusahaan tersebut menyadari kewajiban pajaknya tetapi tidak koorperatif.
Oleh karena itu, dalam pertemuan tersebut KPK akan membersamai BPPD Papua agar tidak terjadi hal demikian lagi. Dengan lalainya wajib pajak akan kewajibannya maka negara mengalami kerugian sehingga nanti jatuh pada urusan pidana. Apalagi mengingat kondisi fiskal Papua yang sangat terbatas. Dengan adanya pendampingan ini, harapannya akan ada optimalisasi pendapatan daerah.
Menurut Kepala Samsat Jayapura, Dian Anggraini, sebenarnya masih ada beberapa perusahaan yang mengalami hal yang sama. Hanya saja dua perusahaan tadi adalah perusahaan dengan tunggakan pajak paling besar tetapi sulit dalam penagihan.
Berbeda dengan Papua, di Garut ada acara penyerahan penghargaan kepada wajib pajak atas kontribusi penerimaan pajak KPP Pratama Kabupaten Garut Tahun 2023 Rabu (15-5-2024). Selain itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Garut, Nurdin Yana, mengapresiasi kesadaran wajib pajak dalam menghitung, membayar, dan melaporkan pajak dengan waktu yang benar dan tepat. Nurdin pun menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Garut mendukung penuh acara tersebut karena sebagai warga negara yang baik dan sadar hukum harus berpartisipasi aktif dalam kewajiban perpajakan.
Dalam acara tersebut, tidak semua wajib pajak mendapatkan penghargaan karena ada beberapa kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Dengan adanya acara ini, maka akan memotivasi para wajib pajak dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan membayar pajak yang akhirnya mendukung kesejahteraan dan kemajuan pembangunan di daerah serta secara nasional.
Dari dua fakta di atas, benarlah kiranya bahwa sistem yang diterapkan di Indonesia adalah sistem kapitalisme. Karena sistem ini menjadikan pajak berperan penting dalam pembangunan nasional serta menjadi sumber pendapatan terbesar yang digunakan untuk perwujudan berbagai program pembangunan. Padahal jika menjadikan pajak sebagai pendapatan utama maka sistem ekonomi menjadi lemah. Hal ini menjadikan beban bagi rakyat padahal rakyat memiliki keterbatasan dalam memenuhinya. Dan saat negara gencar memungut pajak dari rakyat, semakin menunjukkan lemahnya peran negara. Negara menjadi tidak independen/mandiri untuk mencari pendapatan lain selain meminta kepada rakyat. Bukan begitu?
Pada saat konferensi pers APBN edisi April 2024 (Jumat, 26-4-2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa penerimana pajak hingga Maret 2024 mengalami penurunan alias anjlok. Mengingat beberapa waktu lalu terjadi tekanan ekonomi global, mengakibatkan dampak pada kondisi perekonomian domestik. Anjloknya setoran pajak, menunjukkan kondisi industri di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Saat inilah seharusnya negara memiliki peran bagaimana agar industri kembali bergeliat sehingga warga negara memiliki wadah untuk berwiraswasta kembali. Bukannya malah mengeluh pendapatan negara berkurang tetapi berupaya maksimal untuk mengatasi masalah yang dihadapi rakyatnya dimana bisa berpeluang mengalami kebangkrutan atau keterpurukan.
Jika kita cermati, memang ada upaya dari negara untuk mengatasinya, tetapi sangatlah tidak solutif. Seperti apa? Negara membuat kebijakan yang membantu rakyat (pengusaha) seperti tax amnesty dan insentif lainnya dengan mengubah aturan terkait pajak tanpa dianggap melanggar aturan lama sehingga rakyat tetap bisa menjalankan usahanya dengan pengurangan nominal pajak sedang negara tetap mendapat pemasukan pajak walau tidak sesuai target. Yang penting ada pemasukan. Nah, bukankah hal itu seperti solusi tetapi tetap saja membenani rakyat?
Berbeda dengan sistem Islam. Negara dengan sistem Islam memiliki berbagai macam sumber pemasukan sehingga bukan pajak sebagai satu-satunya sumber pendapatannya. Salah satu pendapatan negara dengan sistem Islam yaitu memanfaatkan sumber daya alam lalu hasilnya akan dijadikan pendapatan. Kalaupun melibatkan orang ketiga, maka perjanjian kerja samanya tidak akan merugikan negara tersebut.
Berbeda dengan hari ini, di mana sumber daya alam (SDA) diserahkan kepada asing dan aseng. Negara sebagai pemilik SDA hanya mendapatkan porsi sedikit yang masuk sebagai pendapatan. Pengelolaan diserahkan ke asing dengan dalih negara hanya memiliki tetapi tidak mampu mengolahnya. Betapa licik, bukan?
Kalaupun negara memutuskan untuk menarik pajak pada rakyat, maka itu dalam kondisi darurat yaitu saat ada kebutuhan rakyat yang mendesak. Ditambah pada saat itu kas negara (Baitul mal) dalam keadaan kosong maka pemungutan pajak akan terjadi. Adapun wajib pajak diberlakukan hanya pada orang-orang yang mampu. Penarikan pajak ini hanya dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan negara. Setelah terselesaikan, negara akan kembali mencari sumber pendapatan tanpa melibatkan rakyat khususnya menarik pajak dalam pemenuhannya. Itulah seharusnya peran negara. Wallahu a’lam.
Via
Opini
Posting Komentar