Opini
Proyek Sawah Cina, Mampukah Mengatasi Ketahanan Pangan?
Oleh: Chatharina, S.Si.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Mengatasi masalah beras nasional pemerintah Indonesia lebih banyak bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Karena itu, melalui pertemuan Dialog Tingkat Tinggi dan Mekanisme Kerjasama (HDCM) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur pada Jum'at (19-04-2024) yang lalu, pemerintah telah menyepakati kerja sama dengan Cina untuk mengembangkan lahan sawah satu juta hektare di Kalimantan Tengah.
Kerjasama ini disampaikan oleh Menteri Koodinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, beliau mengeklaim Cina bersedia memberikan teknologi padi yang membuat sukses mencapai swasembada beras. Diharapkan kerjasama dengan Cina ini dapat berjalan enam bulan dari sekarang dan dapat menyelesaikan masalah ketahanan pangan untuk beras, serta nantinya menjadi lumbung pangan (BBC News Indonesia, 26-04-2024).
Namun para pakar meragukan rencana kerjasama pengembangan lahan sawah tersebut, apabila pengembangan sawah yang dimaksud adalah bagian dari proyek food estate pemerintah. Karena dinilai tidak realistis dan hanya akan mengulang kegagalan yang terus terjadi selama tiga dekade terakhir sejak era Presiden Soeharto.
Permasalahan beras di negeri ini sudah berlangsung lama, ketersediaannya yang terbatas karena jumlah produksi yang terus menurun setiap tahunnya menjadikan harga beras dalam negeri melonjak tinggi. Sementara pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri selalu impor dari luar negeri. Adapun upaya membangun ketahanan pangan melalui program food estate nyatanya gagal total. Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting, karena berhubungan dengan keberlangsungan hidup manusia.
Maka, negara sebagai pengurus urusan rakyat wajib bertanggungjawab menjalankan tugasnya termasuk ketahanan pangan. Negara tidak boleh abai dan membuat kebijakan tanpa perencanaan yang matang. Apalagi menjalin kerjasama dengan negara Cina dalam mengatasi permasalahan ketahanan pangan untuk beras. Hal ini justru menunjukkan negara tidak mampu memberikan solusinya atas masalah pangan rakyat. Alih-alih memberikan solusi bagi petani lokal yang banyak mengalami kegagalan, negara justru menyerahkan urusan pangan dalam hal ini bidang pertanian kepada negara lain.
Menggandeng Cina dalam mengatasi permasalahan beras merupakan salah satu teori kapitalisme yaitu perdagangan pasar bebas sehingga pihak swasta asing ataupun aseng diberikan kesempatan untuk menguasai lahan di negeri ini secara bebas. Hal ini jelas akan mengancam kedaulatan negara dan makin menguatkan penjajahan atas negeri ini. Inilah buruknya tata kelola pangan di negeri ini akibat sistem yang diadopsi kapitalisme. Sistem di bawah kendali kapitalisme hanya berorientasi pada untung rugi tidak akan memberikan kesejahteraan rakyat dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menyelesaikan persoalan pangan dari akar masalah dan tidak sekadar mewujudkan ketahanan pangan saja, namun juga kedaulatan pangan. Pertanian sendiri merupakan hal yang sangat penting, jika bermasalah akibat tatakelola yang buruk bisa berdampak serius pada kesejahteraan rakyat.
Negara dalam Islam akan menjaga ketersediaan pangan terutama beras bisa terpenuhi dan tidak mudah mengambil langkah impor dari luar apalagi menyerahkan pengelolaan urusan pangan kepada pihak asing. Jikapun produksi beras masih kurang, maka negara akan berupaya melakukan intensifikasi atau ekstensifikasi pertanian, mendorong teknologi tepat guna, melakukan riset dan lain sebagainya untuk meningkatkan produksi pertanian. Tentunya langkah-langkah tersebut dilakukan berlandaskan syariat Islam dibawah kontrol negara. Negara akan senantiasa menjalankan perannya sebagai bentuk tanggungjawabnya mengurus urusan rakyat.
Wallahua'lam bishshawab
Via
Opini
Posting Komentar