Opini
Demokrasi Bakal Selalu Membuat Rakyat Menjerit
Oleh: Muhammad Syafi'i
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Setelah sempat menjerit soal kenaikan UKT (uang kuliah tunggal), kini rakyat tak bisa lagi menahan jeritannya usai ditetapkannya peraturan pemerintah soal tabungan perumahan rakyat (Tapera). Sungguh, demokrasi terus-terusan membuat rakyat negeri ini menjerit.
Adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan PP Nomor 25 Tahun 2020 yang memicu protes keras oleh rakyat terutama para buruh. Pasalnya, berdasarkan PP tersebut gaji para pekerja bakal dipotong 3% untuk iuran Tapera. Pemilik usaha menyetor 0,5% sedangkan pekerja menyetor 2,5%.
Potongan 3% dinilai sangat memberatkan karena selama ini pekerja sudah dibebani dengan berbagai iuran seperti PPh 21, iuran BPJS kesehatan, dan iuran Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS ketenagakerjaan. Selain itu pengusaha juga sudah menanggung pungutan mencapai 19,74% dari penghasilan pekerja sebagai jaminan sosial, sehingga tambahan 0,5% untuk Tapera makin memberatkan beban keuangan pemilik usaha.
Tapera dianggap lebih menguntungkan BP Tapera dan pemerintah daripada pekerja yang menanggung iuran. Dengan iuran 3% perbulan, diperkirakan tabungan yang terkumpul selama 20 tahun tetap tidak akan mencukupi bagi pekerja selaku nasabah Tapera untuk membeli sebuah rumah. Sementara keuntungan yang bakal diperoleh komite BP Tapera sangatlah nyata. Salah satunya berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2023 komite BP Tapera mendapatkan honor mencapai Rp. 43,34 juta.
Belum lagi pengelolaan dana Tapera secara amanah patut dipertanyakan. Apalagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dikabarkan telah menemukan masalah pengelolaan dana Tapera di tahun 2020-2021. Sebanyak 124.960 pensiunan PNS atau ahli warisnya yang belum menerima tabungan dengan jumlah total Rp567, 45 miliar. Yang harus diingat, belum hilang terauma rakyat dengan sejumlah kasus korupsi yang terjadi di negeri ini seperti korupsi asuransi Jiwasraya, korupsi asuransi sosial Asabri, korupsi pengelolaan dana pensiun di Pelindo dan banyak lagi kasus-kasus korupsi lainnya.
Jeritan rakyat soal Tapera ini menyambung jeritan-jeritan rakyat sebelumnya. Masih di bulan yang sama dengan penetapan PP Nomor 21 Tahun 2024, rakyat khususnya mahasiswa menjerit soal kenaikan UKT pada sejumlah perguruan tinggi negeri meskipun akhirnya dibatalkan oleh pemerintah setelah adanya protes besar-besaran yang dilakukan mahasiswa di sejumlah kampus di Indonesia.
Yang lebih menyakitkan adalah di tengah mahasiswa menjerit soal UKT yang mahal dan kecilnya harapan mereka melanjutkan kuliah demi meraih cita-cita, seorang pejabat di Kemendikbudristek malah menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk wajib belajar 12 tahun. Pernyataan ini bisa saja dipahami kalau tidak punya uang untuk bayar UKT tidak usah kuliah. Seolah membenarkan persepsi bahwa orang miskin dilarang kuliah.
Pada awal tahun 2024, mulai Februari hingga April, hampir seluruh lapisan rakyat Indonesia menjerit akibat kenaikan harga beras yang mencapai Rp18 ribu per kilogram. Akibatnya warga di berbagai daerah rela mengantri berjam-jam demi memperoleh beras murah yang digelar pemerintah lewat operasi pasar. Sejumlah pengamat menilai selain El Nino, kebijakan dan distribusi memainkan peranan penting dalam menentukan harga beras. Maraknya bantuan sosial saat pemilu juga disinyalir menjadi indikasi naiknya harga beras.
Selain tiga masalah di atas, masih banyak lagi jeritan-jeritan rakyat di negara yang menjunjung tinggi sistem demokrasi ini. Penggusuran, kenaikan harga BBM dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan hampir bisa dipastikan, jeritan rakyat akan semakin sering terdengar pada hari-hari yang akan datang.
Berbagai permasalahan yang membuat rakyat menjerit itu merupakan bukti bahwa kapitalisme benar-benar telah bercokol di negeri ini. Tapera, UKT yang mahal, kenaikan harga beras, kenaikan BBM, penggusuran adalah program maupun akibat dari berkuasanya para kapitalis di negeri ini. Di mana para kapitalis dalam meraih dan menjaga kekuasaannya serta melegitimasi tindakan eksploitasinya sangat membutuhkan bantuan dari sistem demokrasi.
Oleh karena itu, selama demokrasi masih diterapkan di negeri ini, maka selama itu pula rakyat akan terus menjerit. Demokrasi sang pemberi harapan palsu justru akan selalu memberi jalan bagi kapitalisme untuk melancarkan misinya mengekploitasi potensi yang dimiliki rakyat demi kepentingan para kapitalis. Demokrasi juga hanya akan mengokohkan sekularisme yang makin menjauhkan rakyat negeri ini dari petunjuk Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya.
Padahal hanya dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya yang termaktub dalam Al-Qur'an dan hadis Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, manusia akan meraih kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akhirat
Via
Opini
Posting Komentar