Opini
Demokrasi Melanggengkan Politik Dinasti
Oleh: Fitriah, S.Pd.
(Guru)
TanahRibathMedia.Com—Isu politik dinasti yang diduga dimainkan oleh keluarga Presiden Joko Widodo menjadi sorotan media internasional. Salah satu media masa Jerman Handelsblatt menyoroti terkait manuver politik putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto di pemilihan umum bulan yang lalu 2024 sebagai politik dinasti.
Menurut Handelsblatt pencalonan Gibran Rakabuming dipandang sebagai politik dinasti yang akan mematikan dan merusak demokrasi di Indonesia. Ini merupakan fakta persoalan politik yang nyata dan tak terbantahkan terutama jika mencermati dinamika politik elektoral pemilu 2024.
Setali tiga uang keputusan yang sama dilakukan Mahkamah Agung (MA) perihal penghapusan batas usia sebagai syarat calon kepala daerah dinilai mirip keputusan MK nomor 90 yang memuluskan Gibran Rakabuming di usia yang sangat belia. Terlebih perubahan aturan tersebut diterapkan pada periode Pilkada sehingga dapat menguntungkan pihak tertentu. Diduga salah satu yang diuntungkan yakni Kaesang Pangarep yang akan genap berusia 30 tahun pada Desember mendatang.
Mahkamah Agung (MA) meminta pasal batas usia Cagub dan Cawagub di Pilkada 2024 dicabut. MA menilai ketentuan pasal 4 ayat 1 huruf D PKPU 9/2020 yang mengatur batasan usia minimal yang terhitung sejak penetapan calon adalah hal yang sangat tepat. Putusan tersebut tertuang dalam putusan nomor 23 P/HUM/2024 diketuk pada 29 Mei 2024.
Inilah wajah demokrasi, keputusan MA dan MK mendukung strategi rezim untuk melanggengkan kekuasaanya melalui praktik politik dinasti. Rezim ini sudah bisa lagi berkuasa karena batasan jabatan hanya dua periode. Wacana masa jabatan tiga periode pun mendapatkan penolakan keras dari masyarakat. Oleh karenanya strategi yang paling logis adalah melalui politik dinasti yaitu menempatkan anak keturunan pada posisi yang diinginkan. Ini berakibat pada kekuasaan yang tidak lagi sesuai khitah, yakni mengurusi hajat hidup rakyat, melainkan untuk merealisasikan kepentingan pribadi dan kroninya. Kekuasaan ini menabrak apa saja termasuk hukum demi meraih tujuan.
Walhasil penguasa yang dipilih melalui sistem demokrasi selalu zalim dan menyakiti masyarakat. Penguasanya akan menghabiskan uang rakyat untuk ambisi pribadi bahkan memalak rakyat melalui serangkaian pungutan "legal" atas nama undang-undang. Inilah kekuasaan demokrasi yang menzalimi rakyat.
Kriteria Penguasa dalam Islam
Penguasa dalam pemerintahan Islam (khil4f4h) menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim, bukan untuk kepentingan pribadi dan kroninya. Sikap ini tentu lahir dari keyakinan akidah, sehingga melahirkan rasa takut akan azab dari Allah Swt. karena mengkhianati amanah kekuasaan.
Selain itu sistem pemerintahan Islam (khil4f4h) memiliki mekanisme yang efektif untuk mewujudkan penguasa yang adil dan amanah. Syarat penguasa dalam Islam adalah laki-laki, muslim, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu memikul amanah kepemimpinan. Adapun proses menjadi gubernur (wali) atau wali kota/bupati (amil) adalah melalui penunjukkan oleh khalifah. Khalifah yang berhak memilih orang yang dianggap layak memimpin berdasarkan tujuh syarat sah tersebut.
Namun, jika dalam perjalanan ternyata gubernur (wali)/bupati (amil) tersebut bersikap khianat atau berbuat hal-hal yang mencederai tujuh syarat sah pengangkatannya, ia bisa saja diberhentikan oleh Khalifah. Meski ia baru saja menjabat sebagai Gubernur (wali) ataupun Bupati (amil), jadi tidak menunggu selesainya masa jabatan satu periode ataupun dua periode. Sehingga kekuasaan yang dihasilkan oleh sistem Islam (Khil4f4h) menjelma menjadi kekuasaan yang menolong Islam dan kaum muslim. Wallahualam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar