Opini
Marak Anak Durhaka, Kok Bisa?
Oleh: Eci Aulia
(Aktivis Muslimah Bintan)
TanahRibathMedia.Com—Siapa yang tidak kenal dengan kisah legenda si Malin Kundang anak durhaka. Kisah itu sangat populer di tengah masyarakat. Pasalnya si Malin Kundang dikatakan durhaka karena tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri. Akhirnya ia dikutuk menjadi batu.
Seiring berkembangnya zaman, muncul si Malin Kundang versi modern. Ini bukan lagi tentang seorang anak yang tidak mau mengakui orang tuanya, tetapi seorang anak yang menzalimi orang tuanya secara sadis. Na'uzubillah min zalik.
Seorang pedagang toko perabot ditemukan tewas di wilayah Duren Sawit, Jakarta Timur pada Sabtu 22 Juni 2024. Ia tewas di tangan kedua anak kandungnya yang masih berusia remaja. Motifnya lantaran sakit hati dimarahi karena kedapatan mencuri (Liputan6.com, 22-06-2024).
Bukan hanya itu, di Lampung seorang anak remaja juga tega memukul kepala orang tuanya yang menderita stroke hingga tewas. Motifnya hanya karena korban minta diantarkan ke kamar mandi (Liputan6.com, 21-06-2024).
Sebenarnya masih banyak lagi kasus serupa yang terjadi sebelumnya. Jika dijabarkan satu persatu, mungkin tulisan ini akan menjadi sangat panjang.
Sepertinya kasus kriminal terhadap orang tua kandung ini perlu menjadi perhatian kita semua. Mengingat ini merupakan salah satu kemaksiatan yang sangat besar. Jika dibiarkan maka ini akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan menjadi ledakan dahsyat.
Sayangnya, penerapan sistem hidup sekuler melahirkan sebuah pandangan bahwa tindakan kriminal terhadap orang tua sama saja dengan tindak kejahatan yang lain. Bukan sesuatu yang urgen, padahal ini sebuah dosa besar. Akhirnya fenomena anak durhaka menjadi marak terjadi.
Oleh karena, pandangan tentang kewajiban birrul walidain telah dirobohkan oleh paham sekularisme. Paham yang menganggap bahwa dalam hubungan keluarga terutama orang tua tidak perlu memakai aturan Islam. Aturan Islam dipakai hanya untuk menerapkan rukun Islam yang lima saja. Padahal kewajiban birrul walidain sangat jelas dalam firman-Nya,
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (TQS Al Isra: 23).
Dari sini tampak jelas bahwa akal manusia sudah tidak lagi terpelihara. Sistem rusak ini membutakan manusia dalam melihat perintah dan larangan Allah Swt. Orang tua yang semestinya dimuliakan dianggap sebagai beban hidup, karena fokus utama mereka hanya pada urusan materi dan hal duniawi.
Bukan hanya itu, manusia dijauhkan dari tujuan penciptaan yang sebenarnya yaitu sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beriman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Konsekuensi dari keimanan tersebut adalah menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kelak semua perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Islam yang sesuai fitrah manusia, akan menjaga akal agar tetap sehat dan waras. Tidak melampiaskan emosi sesuka hati, terlebih pada orang tua. Pendidikan yang berbasis akidah Islam akan mendidik generasi berkepribadian Islam. Generasi yang mampu mengelola emosi dengan baik. Generasi yang sangat memuliakan orang tua.
Akidah Islam menjadikan seseorang takut dalam melakukan kemaksiatan, sebab ia sudah paham tujuan ia diciptakan. Akidah Islam inilah yang akan menjadi rem disaat manusia akan berbuat maksiat. Kalaupun terjadi tindak kejahatan maka dalam Islam ada sistem sanksi tegas dari negara yang akan mencegah segala bentuk kejahatan, termasuk kejahatan anak pada orang tua.
Akidah ini jugalah yang menjadikan para ulama salaf memperlakukan orang tuanya dengan perlakuan terbaik. Seperti suatu malam ibu dari sahabat Ibnu Mas'ud meminta air minum kepada anaknya. Setelah Ibnu Mas’ud datang membawa air minum, ternyata sang Ibu sudah ketiduran. Akhirnya Ibnu Mas’ud berdiri di dekat kepala ibunya sambil memegang wadah berisi air tersebut hingga pagi. (Birrul walidain, Ibnu Jauzi).
Begitu juga yang dilakukan oleh Haiwah binti Syuraih. Ia merupakan seorang ulama besar, suatu hari ketika beliau sedang mengajar, ibunya memanggil. “Hai Haiwah, berdirilah! Berilah makan ayam-ayam dengan gandum.” Mendengar panggilan ibunya beliau lantas berdiri dan meninggalkan pengajiannya. (al-Birr wasilah, Ibnu Jauzi).
MasyaAllah! Potret seperti ini hanya akan terwujud jika syariat Islam diterapkan secara keseluruhan. Kecenderungan untuk berbuat maksiat sangatlah kecil, saat hukum Allah diterapkan secara sempurna di muka bumi ini. Semoga kita semua sadar dan paham tentang pentingnya kewajiban birrul walidain ini. Dan mau mengamalkannya dalam kehidupan. Tidak lupa untuk terus berjuang dan berdo'a untuk kemenangan Islam. Aamiin. Wallahu alam bissowwab.
Via
Opini
Posting Komentar