Opini
RUU KIA Ilusi Kesejahteraan Ibu dan Anak
Oleh: Ummu Ahnaf
(Pemerhati Kebijakan Publik)
TanahRibathMedia.Com—Negara wajib menjamin kehidupan yang sejahtera lahir dan batin setiap warga negara termasuk menjamin keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang anak sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup seluruh warga negara terutama ibu dan anak-anak. Bahwa kesejahteraan ibu dan anak meliputi kesejahteraan fisik, psikis, ekonomi dan sosial spritual.
Begitulah bunyi Pembukaan RUU KIA yang telah disahkan oleh DPR pada saat rapat paripurna DPR-RI pada 4 Juni 2024 lalu.
UU KIA ini banyak mendapat tanggapan positif dan seolah menjadi angin segar bagi para perempuan. Bagaimana tidak, saat ini masih banyak perempuan yang jauh dari kata sejahtera.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengungkap, 9,68 persen perempuan Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, lebih tinggi dari jumlah kemiskinan laki-laki yang hanya mencapai 9,40 persen (https://www.rri.co.id).
Kemiskinan pada perempuan ini tentu berimplikasi pada periode kehamilan, melahirkan, menyusui, serta pengasuhan.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada tahun 2022 mencapai 4.005 dan di tahun 2023 meningkat menjadi 4.129. Sementara itu, untuk kematian bayi pada 2022 sebanyak 20.882 dan pada tahun 2023 tercatat 29.945. Tingginya angka kematian ibu dan bayi ini disebabkan oleh banyak faktor seperti Anemia, kekurangan gizi, kurang energi kalori, infeksi, tekanan darah tinggi, dan lain-lain (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id).
Pada tahun 2022 sebanyak 21,6 persen anak-anak Indonesia mengalami stunting. Angka ini melebihi ambang batas yang ditentukan WHO sebesar 20 persen (https://databoks.katadata.co.id).
Berdasarkan data Susenas 2020, masih terdapat 3,73 persen anak dibawah lima tahun pernah mendapatkan pola pengasuhan tidak layak (https://edukasi.kompas.com).
Akankah UU KIA Mampu Menyelesaikan Persoalan Ibu dan Anak Secara Tuntas?
Sebagaimana diungkapkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, UU ini merupakan wujud kehadiran negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan. Lebih lanjut, substansi RUU ini adalah menjamin hak-hak anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga.
Pernyataan Menteri PPPA tersebut menunjukkan kontradiktif, di satu sisi menyatakan bahwa RUU ini merupakan wujud kehadiran negara, tetapi di sisi lain mendorong suami dan perempuan untuk bekerja dan berdaya di ruang publik. RUU ini justru menunjukkan upaya lepas tangan negara dari kewajiban mengurus rakyatnya. Beginilah wajah dari negara Kapitalis. Negara hanya berperan sebagai regulator, bukan penanggungjawab dan penjamin urusan rakyat.
Kesejahteraan dalam kacamata kapitalis hanya dipandang dari sudut materi. Dalam hal ini, kesejahteraan ibu dinilai akan mampu tercapai jika ibu bekerja dan berdaya secara materi. Negara yang seharusnya turun langsung dalam pemenuhan kebutuhan justru mendorong dan memfasilitasi perempuan untuk keluar rumah dan bekerja, tidak hanya sebagai bentuk tuntutan ekonomi, tetapi atas nama pemberdayaan ekonomi serta emansipasi.
Perempuan dalam sistem kapitalis dipaksa keluar dari fitrahnya sebagai pengurus dan pengatur rumah serta madrasah pertama bagi anak-anaknya, menjadi penopang perekonomian bahkan tulang punggung keluarga.
Masalah kesejahteraan sesungguhnya tidak sebatas pada hadir nya peran ibu dalam membantu menopang ekonomi. Namun, lebih dari itu masalah kesejahteraan adalah masalah sistemik, yaitu masalah yang lahir dari aturan Kapitalis sekuler yang mencampakkan aturan agama dalam kehidupan.
Islam Solusi Hakiki Masalah Kesejahteraan Ibu dan Anak
Islam adalah agama sekaligus sistem sempurna. Dengan menjadikan aturan Islam sebagai solusi atas dasar keimanan kepada Allah, dipastikan akan menghantarkan manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan hakiki. Hal ini, karena Islam datang dari Allah Swt. pemilik sekaligus pencipta alam semesta.
Islam dibangun atas dasar keimanan kepada Allah, bahwa manusia, alam semesta, dan kehidupan adalah milik-Nya, di ciptakan untuk beribadah kepada-Nya, serta akan kembali kepada Allah dengan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya selama di dunia.
Islam telah menetapkan peran laki-laki dan perempuan sesuai dengan porsinya masing-masing dalam kehidupan. Islam menetapkan laki-laki sebagai qowam (pemimpin yg membimbing) perempuan.
Allah Swt. berfirman:
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri)”. (QS An-Nisa’: 34).
Qowam (kepemimpinan) dalam Islam bermakna kepemimpinan yang meri'ayah atau memelihara urusan perempuan. Bukan dalam artian kepemimpinan atasan dan bawahan. Sedangkan Qowam dalam bahasa Arab bermakna kepemimpinan untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh perempuan dalam hal ini disebut nafkah.
Firman Allah tentang nafkah dalam Al-Baqarah ayat 233:
"...وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ"
"...Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut..."
Islam juga menetapkan peran utama perempuan adalah pemimpin dan pengatur rumah tangganya serta guru pertama dan utama bagi anak-anaknya."
Rasulullah saw. bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang di pimpin, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya. Dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka..."
Dari hadis ini pula jelas bahwa peran penguasa tidak bisa dilepaskan dari kepengurusan rakyat yang dipimpin. Dalam hal ini penguasa yakni khalifah wajib menjamin kesejahteraan bagi setiap warga negara. Khalifah wajib memfasilitasi dan menyediakan bagi para laki-laki agar mampu bekerja dan menafkahi keluarganya dengan layak, wajib menjamin pemenuhan kebutuhan primer setiap individu rakyat, mulai dari ketersediaan bahan pangan, sadang papan, kesehatan, pendidikan, serta kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Dari sini maka wajib bagi khalifah menerapkan syariat secara menyeluruh, karena Islam menegaskan hanya penerapan Islam secara menyeluruh yang akan mampu menghantarkan kepada Rahmat di seluruh alam. Semua ini tentunya hanya akan tegak berdiri di atas keimanan kepada Allah dalam naungan negara khil4f4h. Wallahu'alam bishawab.
Via
Opini
Posting Komentar