Opini
Susahnya Menikmati Pendidikan Tinggi
Oleh: Ummu Aulia
(Muslimah Indramayu Menulis-MIM)
TanahRibathMedia.Com—Beberapa waktu belakangan, perbincangan tentang peningkatan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) makin menghangat. Sekitar 50 calon mahasiswa baru (camaba) Universitas Riau (Unri) yang berhasil lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memilih untuk keluar dari Universitas Riau karena merasa tidak sanggup memenuhi kewajiban membayar UKT.
Sementara itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie menyatakan bahwa pendidikan tinggi adalah ‘tertiary education’. Pernyataan ini dalam rangka menanggapi polemik tingginya UKT. Menurut situs Bank Dunia, ‘tertiary education’ atau pendidikan tersier dianggap berperan penting dalam mendorong pertumbuhan, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kemakmuran bersama (news.detik.com, 25-05-2024).
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Suharti menyatakan bahwa berdasarkan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2023 tentang Rincian APBN tahun anggaran 2024, belanja negara mencapai Rp 3.325 triliun. Di mana 20 persen atau Rp665 triliun dialokasikan untuk fungsi pendidikan. Sebagian besar dari alokasi tersebut, yaitu sekitar setengahnya, digunakan untuk transfer ke daerah dan Dana Desa.
Suharti menjelaskan bahwa proporsi terbesar dari total anggaran fungsi pendidikan, yaitu 52 persen diperuntukkan untuk transfer ke daerah, mencapai angka sebesar Rp356,5 triliun. (detik.com, 23-05-2024).
Kondisi seperti demikian terlihat bahwa pengalokasian anggaran pendidikan yang semestinya 20 persen atau Rp665 triliun ternyata dialihkan kepada alokasi lain yang bukan peruntukannya. Jelas ini aneh, bagaimana dalam penyusunan APBN, alokasi transfer ke daerah dan Dana Desa tidak mendapatkan pengalokasian secara tepat sehingga menyedot anggaran yang diperuntukkan untuk fungsi pendidikan.
Mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) jelas bertentangan dengan konsep bahwa pendidikan adalah hak setiap rakyat. Ironisnya, dalam beberapa kasus, sekolah yang siswanya lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) namun tidak mengambil kesempatan tersebut bisa di-‘blacklist’. Ini merupakan potret nyata kapitalisasi pendidikan dalam konteks negara kapitalis, di mana pendidikan lebih dilihat sebagai komoditas daripada hak dasar. Kondisi ini mencerminkan ketidakpedulian negara terhadap hak pendidikan rakyat miskin, yang semakin terpinggirkan oleh sistem yang lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada pemerataan akses pendidikan.
Sistem pendidikan yang mahal dan terkapitalisasi menciptakan jurang yang
makin lebar antara yang mampu dan tidak mampu. Bagi siswa dari keluarga kurang mampu, biaya UKT yang tinggi menjadi penghalang utama untuk melanjutkan pendidikan tinggi, sekalipun mereka memiliki kemampuan dan prestasi.
Kebijakan yang cenderung menghukum sekolah karena siswanya tidak mengambil kesempatan SNBP memperlihatkan ketidakadilan yang semakin dalam. Bukannya memberi dukungan dan solusi agar lebih banyak siswa dari latar belakang ekonomi lemah dapat mengakses pendidikan tinggi, sistem justru menambah beban dan tekanan.
Negara, yang seharusnya menjadi pelindung hak-hak dasar warga negaranya, termasuk hak atas pendidikan, terlihat abai dalam menghadapi isu ini. Alih-alih memperkuat pendidikan sebagai sarana mobilitas sosial dan pemerataan kesempatan, negara seolah membiarkan pendidikan menjadi alat eksklusif bagi mereka yang mampu membayar. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara idealisme konstitusional tentang hak pendidikan dan realitas di lapangan.
Berikut beberapa alasan mengapa mahalnya UKT menjadi problematik:
Pertama, akses yang tidak merata. Biaya pendidikan yang tinggi dapat menghalangi akses bagi siswa dari keluarga berpenghasilan rendah. Hal ini dapat memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Kedua, hak pendidikan. Sesuai dengan konstitusi dan berbagai perjanjian internasional, setiap individu berhak mendapatkan pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak ini.
Ketiga, dampak ekonomi. Beban finansial yang besar pada mahasiswa dan keluarganya dapat berdampak pada ekonomi secara keseluruhan. Banyak orang tua yang harus berutang atau mengorbankan kebutuhan lain untuk membayar biaya kuliah anaknya.
Keempat, kualitas sumber daya manusia. Pendidikan yang tidak dapat diakses oleh semua orang akan mengurangi potensi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Ini dapat menghambat perkembangan dan inovasi di berbagai bidang.
Kelima, kemerataan kesempatan. Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk menciptakan pemerataan kesempatan. Jika hanya yang mampu secara finansial yang dapat mengakses pendidikan tinggi, maka kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup menjadi tidak merata.
Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat, yang disediakan negara dan diberikan dengan biaya murah bahkan bisa jadi gratis. Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah hak setiap individu dan kewajiban negara untuk memenuhinya. Islam menekankan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai landasan bagi kemajuan peradaban dan peningkatan kualitas hidup umat. Oleh karena itu, negara Islam berkomitmen untuk menyediakan akses pendidikan yang merata dan adil bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, berhak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.
Negara Islam mampu menyediakan pendidikan gratis karena memiliki sumber pendapatan negara yang cukup banyak dan dikelola secara efisien dan adil. Sumber pendapatan tersebut antara lain berasal dari zakat, jizyah, kharaj, fai, dan ghanimah.
Selain itu, negara Islam juga mengelola sumber daya alam yang melimpah secara bijaksana dan adil untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Sumber daya alam seperti minyak, gas, dan mineral merupakan aset negara yang dioptimalkan pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, termasuk pendidikan. Pengelolaan yang transparan dan akuntabel memastikan bahwa pendapatan dari sumber daya alam ini digunakan untuk kepentingan publik dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Dengan kombinasi sumber pendapatan yang beragam dan pengelolaan yang baik, negara Islam mampu membiayai berbagai program pendidikan yang berkualitas dan inklusif. Ini termasuk pembangunan dan pemeliharaan sekolah, penyediaan gaji yang layak bagi guru dan tenaga pendidik, serta penyediaan beasiswa bagi siswa yang berprestasi tetapi kurang mampu. Semua ini dilakukan tanpa membebani rakyat dengan biaya pendidikan yang tinggi.
Kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk mengakses pendidikan juga menjadi prinsip utama dalam negara Islam. Tidak ada diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, status sosial, atau latar belakang ekonomi. Semua rakyat, baik kaya maupun miskin, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab, di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.
Dengan demikian, dalam kerangka negara Islam, pendidikan menjadi pilar penting yang dijamin oleh negara. Negara bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap rakyatnya mendapatkan pendidikan yang bermutu dan dapat diakses oleh semua orang, sehingga tercipta masyarakat yang berilmu, adil, dan sejahtera. Wallahu ‘alam bisshowab.
Via
Opini
Posting Komentar