Opini
Uang Tapera, Bikin Untung atau Buntung?
Oleh: Erlina YD
(Tim Editor TRM)
TanahRibathMedia.Com—Penetapan tabungan perumahan rakyat (Tapera) oleh pemerintah tengah menjadi perbincangan hangat bahkan panas dari berbagai pihak. Tapera sebenarnya sudah dibentuk sejak 2016 melalui UU Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tapera, pemerintah menetapkan iuran sebesar 3 persen yang dibayarkan secara gotong royong yakni 2,5 persen oleh pekerja dan 0,5 persen oleh pemberi kerja (cnnindonesia.com, 30-5-2024).
Sebelumnya hanya PNS yang diwajibkan menjadi peserta program ini, tetapi kali ini pekerja swasta dan mandiri ikut dilibatkan. Dalam PP yang terbaru di pasal 7 dirinci jenis pekerja yang wajib menjadi peserta tidak hanya abdi negara dan pegawai BUMN, tetapi termasuk karyawan swasta dan pekerja lain yang menerima gaji atau upah.
Ketua DPP Apindo Riau Wijatmoko Rah Trisno menilai sebaiknya pemerintah melakukan pertimbangan kembali, sebelum menerapkan aturan itu dan melakukan pemotongan upah pekerja. Pekerja swasta sendiri sudah banyak dibebani potong gaji mulai untuk jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan kematian, jaminan kesehatan, asuransi, dan lain-lain ada sekitar delapan potongan. Jika ditambah potongan untuk Tapera tentu akan semakin memberatkan pekerja swasta. Di lain pihak Ketua MPR Bambang Soesatya meminta pemerintah menunda rencana pemotongan gaji karyawan untuk program Tapera.
Kondisi ekonomi masyarakat yang belum pulih pasca pandemi menjadi salah satu alasan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto yang menolak aturan tabungan perumahan rakyat (tapera). Alasan lain adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem pengelolaan dana tabungan atau asuransi seiring banyak mencuatnya kasus hukum yang melibatkan badan pengelola dana masyarakat.
Adanya gelombang penolakan terhadap program Tapera membuat Komisioner Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) Heru Pudyo Nugroho buka suara. Ia mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia masih menghadapi angka kesenjangan kepemilikan rumah yang masih tinggi. Menurutnya, BP Tapera adalah cara negara hadir untuk mengatasi kesenjangan kepemilikan rumah dan agar masyarakat bisa memiliki tempat tinggal yang layak. Namun apakah langkah negara seperti yang dipaparkan oleh BP Tapera adalah cara yang tepat? Lalu bagi rakyat, penarikan uang Tapera membuat untung atau buntung?
Tapera, Untung atau Bikin Buntung Rakyat?
Masih menurut Komisioner BP Tapera, ia menjelaskan bagi pekerja yang sudah memiliki rumah, maka potongan Tapera tersebut bisa diambil saat si pekerja pensiun. Uang potongan yang sudah masuk bisa menjadi semacam subsidi silang untuk pekerja yang belum memiliki rumah. Yang menjadi pertanyaan, kalau digunakan untuk subsidi silang, apakah uang akan mudah diambil saat pensiun?
Terkait argumentasi subsidi silang ini ditolak oleh pengamat kebijakan publik Agus Pambagio. Ia tidak sepakat adanya subsidi silang ini karena seharusnya subsidi menjadi tanggungjawab negara. ia juga menyoroti penarikan Bapetarum PNS (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil) yang sudah diberlakukan juga tidak jelas. Bahkan ada dugaan menjadi sarang korupsi.
Agar mengetahui apakah skema potongan Tapera bisa mencukupi pekerja untuk membeli rumah maka perlu ada simulasi perhitungan . Mari coba kita hitung-hitungan menggunakan skema besaran potongan Tapera. Misalkan seorang pekerja mempunyai gaji Rp7 juta dan harga rumah Rp500 juta. Potongan Tapera 2,5 persen per bulan = Rp175 ribu. Harga rumah Rp500 juta maka jumlah bulan yang dibutuhkan hingga lunas adalah Rp500 juta : Rp175 ribu per bulan = 2.857 bulan. Dari simulasi hitungan tersebut, maka si pekerja baru bisa membeli rumah setelah menunggu selama 2.857 bulan atau 239 tahun. Luar biasa!
Selain itu, selama pekerja masih bekerja dan mendapat gaji, maka selama itu pula gajinya akan dipotong iuran Tapera dan iuran lainnya. Saat belum punya rumah, dia juga tetap harus mengeluarkan uang untuk membayar kontrakan rumah. Sudah terbayangkan betapa berat beban hidup yang harus dijalani.
Karena gambaran Tapera yang sudah terpampang akan cukup membebani, sampai muncul akronim Tapera yang diplesetkan menjadi beberepa seperti tabungan pemerasan rakyat atau tambah penderitaan rakyat.
Rumah untuk Rakyat Tanggung Jawab Siapa?
Rumah merupakan salah satu kebutuhan asasi atau dasar selain sandang dan pangan. Setiap warga pasti membutuhkan rumah untuk tempat berlindung baik diperoleh dengan cara membeli atau mengontrak. Karena merupakan kebutuhan dasar maka bisa dipastikan setiap orang akan berupaya untuk memenuhinya. Jika gaji atau penghasilan yang diperolehnya bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya termasuk membeli rumah, maka tidak akan menjadi masalah.
Namun bagaimana jika ada warga yang tidak mampu membeli rumah atau bahkan sekadar memenuhi kebutuhan dasar lainnya? Di sinilah negara harus hadir untuk meriayah atau mengurus rakyatnya. Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya yang membutuhkan. Besaran upah sesuai dengan jasa yang diberikan atau yang bisa dirasakan manfaatnya oleh pihak yang mempekerjakan. Gaji atau upah yang diberikan tidak boleh dipotong untuk alasan apapun.
Jika dari upah yang diperoleh masih belum mencukup untuk membeli rumah, negara bisa memberikannya bahkan dengan cuma-cuma. Negara juga harus memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Jika kebetuhan-kebutuhan tersebut bisa dipenuhi maka rakyat pun akan mampu untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya dengan layak.
Untuk memenuhi semua kebutuhan rakyatnya, negara bisa mengelola sumber daya alam yang dimilikinya serta dari pemasukan tetap seperti kharaj. Jizyah, fai, zakat dan lainnya. Negara melayani rakyatnya dengan asas cepat, memudahkan, dan transparan. Ini bisa terlaksana ketika negara mendasarkan pengaturannya dengan sistem Islam secara menyeluruh dalam tiap sendi kehidupan.
Via
Opini
Posting Komentar