Opini
Alih Subsidi LPG Menjadi BLT, Solusi atau Masalah?
Oleh: Anggia Widianingrum
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Sebagian besar masyarakat Indonesia sepertinya sudah terbiasa menerima berbagai kesulitan hidup di zaman sekarang. Mulai dari biaya layanan kesehatan, pendidikan berkualitas yang mahal, lapangan pekerjaan yang sulit, segala jenis kebutuhan pokok yang melambung tinggi yang menuntut para ibu-ibu rumah tangga harus berputar otak memikirkan bagaimana agar bisa bertahan hidup sampai esok hari. Agar anak-anak bisa tetap sekolah, bisa makan walaupun hanya dengan gizi seadanya.
Belum lagi bisa bernapas lega, nampaknya para ibu harus mengelus dada lagi dan menarik napas dalam. Pasalnya baru-baru ini pemerintah lewat DPR tengah mewacanakan pengalihan subsidi LPG 3 kg menjadi BLT. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno mengusulkan agar skema pemberian Liquefied Petroleum Gas (LPG) diubah dari subsidi produk menjadi subsidi langsung berupa uang tunai Rp100 ribu kepada warga yang berhak.
Ia mengatakan jika usulan tersebut tak lain untuk membuat penyaluran subsidi menjadi lebih tepat sasaran. Karena selama ini penjualan LPG 3 kg yang masif secara terbuka luas dinikmati siapapun. Bahkan konsumen LPG nonsubsidi beralih ke LPG subsidi karena perbedaan harga yang jauh lebih murah yang mengakibatkan konsumsi LPG subsidi membesar dan beban negara pun semakin membengkak.
Dalam setiap tabung LPG 3 kg ada subsidi pemerintah sebesar Rp33 ribu, artinya jika dipasarkan tanpa subsidi harganya bisa mencapai Rp53 ribu. Dengan skema perhitungan bahwa saat ini setiap rumah tangga menggunakan subsidi setara 3-4 tabung perbulan. Jadi asumsi subsidi LPG 3 kg per tabung saat ini sebesar Rp33 ribu, maka jatah subsidi tunai yang akan dikirimkan ke warga yaitu sekitar Rp100 ribu perbulannya. Dan akan di transfer ke rekening masing-masing yang sudah terdata. Sementara bagi masyarakat yang tidak memiliki rekening, maka akan diberikan secara tunai oleh petugas yang tunjuk di masing-masing wilayah.
Dia juga menambahkan bahwa skema tersebut lebih efektif dilaksanakan tahun 2025-2026 mendatang mengingat pertumbuhan ekonomi sudah cukup lebih baik karena adanya peningkatan daya beli masyarakat, tambahnya (cnbcindonesia.com, 12-07-2024).
Namun wacana tersebut mendapat kritik tajam dari pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah. Menurutnya, implementasi alih subsidi LPG 3 kg menjadi BLT ini akan rumit, yakni berdampak pada melambungnya harga bahan pokok yang langsung akan dirasakan warga miskin.
Ia juga mengkritisi program BLT sebelumnya yang dinilai belum efektif dalam implementasinya. Lebih lanjut, ia menyarankan agar LPG tetap disubsidi, tetapi dengan perbaikan distribusinya. Dengan pembelian langsung seperti di pom bensin di tempat-tempat yang sudah di tentukan, tidak pada pengecer dan menggunakan identitas sehingga bisa tercatat agar tidak mengalir pada orang kaya atau orang mampu (beritasatu.com, 18-07-2024).
Patut Dipertimbangkan
Mengacu pada realitas penyaluran BLT seperti yang sudah-sudah, wacana alih subsidi ini memang selayaknya dikaji ulang. Karena dapat dipastikan berdampak besar terutama bagi warga miskin berupa naiknya harga barang dan bahan pokok, turunnya daya beli masyarakat, rumitnya implementasi serta berpotensi korupsi.
Karut-marut persoalan ini ialah berpangkal dari sistem sekuler kapitalisme liberal yang diterapkan di negeri ini. Subsidi merupakan salah satu upaya dalam menekan harga-harga kebutuhan. Dan mencabut subsidi adalah konsekuensi dalam menekan pengeluaran negara. Karena disfungsi negara sebagai pengurus rakyat, melainkan hanya sebagai regulator bagi segelintir pihak. Walhalsil, mahalnya harga gas LPG karena adanya privatisasi dan swastanisasi migas. Maka inilah konsekuensi penerapan Kapitalisme sekuler liberal. Aturan yang tak akan pernah memihak pada rakyat kecil.
Penerapan sekulerisme menyebabkan para pejabat nir empati kepada rakyat. Mereka tak menyadari bahwa jabatan yang diemban berupa amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah kelak atas kepengurusan rakyatnya. " Tidaklah seseorang yang memerintah selama 10 tahun atau lebih, dan tidak berlaku adil di antara mereka, kecuali ia akan datang pada hari Kiamat nanti dalam keadaan dirantai dan dibelenggu". [Mustadrak al-Hakim]
Di tengah tontonan kemiskinan rakyatnya, para pejabat ini seperti tak punya nurani mempertontonkan bergaya hidup konsumerisme, apalagi sampai bisa mengkoleksi mainan mahal sampai barang mewah. Padahal negeri ini belum terbebas dari masalah gizi buruk.
Apakah tidak berlebihan jika untuk mengurangi beban negara, sudah selayaknya gaji pejabat saja yang dipangkas, segala tunjangan dan fasilitas serta biaya perjalanan dinas yang nir faedah untuk rakyat.
Sistem Islam Solusi
Islam menetapkan bahwa migas adalah salah satu harta milik umum. Dalam artian haram diprivatisasi dan diswastanisasi oleh segelintir pihak. Hanya saja, dalam pengelolaannya diserahkan pada negara karena membutuhkan biaya operasional yang besar, penyediaan alat-alat berat, para tenaga ahli, distribusi dan lain sebagainya. Sebagai hasilnya dipergunakan untuk mengupah orang-orang yang terlibat dalam mekanisme pengolahan migas, untuk membangun infrastruktur, pembiayaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan termasuk di dalamnya menggaji guru dan para staf, para tenaga medis dan lain-lain. Tidak terkhusus bagi kaum muslimin saja melainkan diperuntukkan bagi siapa saja yang menjadi warga negara, baik orang miskin, orang kaya, orang muslim maupun non muslim (Ahlu dzimmah).
Khalifah pun boleh menjual hasil migas tapi dengan harga yang murah dan hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat. Karena fungsi penguasa di dalam Islam adalah sebagai ra'in yakni penanggungjawab segala urusan umat. Seorang Khalifah dalam negara Khilafah adalah sebagai al-Hakim, maka ia akan memutuskan kebijakan dengan metode ijtihadnya. Jadi sangat mustahil jika seorang Khalifah bisa disetir untuk kepentingan asing seperti pemimpin dalam demokrasi sekuler hari ini.
Dengan keimanan bahwa setiap amanah akan dipertanggungjawaban di hadapan Allah Swt., maka akan memunculkan rasa takut jika jabatan yang diembannya akan menjerumuskan ke dalam neraka.
"Tidaklah seorang wali yang diserahi urusan kaum muslim, kemudian dia mati sedangkan dia bersikap curang kepada mereka, melainkan Allah mengharamkan baginya surga." (HR. Bukhari)
Karena itu Islam sebagai rahmatan lil alamin akan benar-benar terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi politiknya yaitu Khil4f4h. Kesejahteraan bukan hanya dirasakan bagi umat muslim saja tapi seluruh manusia dan alam semesta seperti pada masa kegemilangan Khil4f4h Islamiah yang pernah menguasai 2/3 belahan dunia. Wallahu alam bishshowwab
Via
Opini
Posting Komentar