Opini
Cara Jitu Agar Generasi Bermutu
Oleh: Santi Salsabila
(MIMÙ…_Muslimah Indramayu Menulis)
TanahRibathMedia.Com—Anak-anak hari ini merupakan calon pemimpin di masa depan. Merekalah ujung tombak bangkit dan berjayanya suatu bangsa. Untuk kembali mengingatkan posisi penting tersebut, ditetapkanlah HAN (Hari Anak Nasional).
Adanya peringatan Hari Anak Nasional didasarkan pada Pasal 28B ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945. Di mana ada aturan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan juga disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Peringatan Hari Anak Nasional mulai dirayakan pada tahun 1952 saat Presiden Soekarno menjabat. Hari Anak Nasional kemudian ditetapkan setiap tanggal 23 Juli melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 44/1984. Tanggal 23 Juli dipilih karena berkaitan dengan tanggal pengesahan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak pada 23 Juli 1979 (Kompas.com, 18-7-2024).
Ada yang menarik dari tema yang diusung pemerintah pada Hari Anak Nasional tahun ini, yakni "Anak Terlindungi, Indonesia Maju". Karena jika dilihat dari tema yang diusung, maknanya luar biasa. Tapi jika ini hanya slogan, sangat disayangkan, bukan?
Peringatan Hari Anak Nasional menjadi rutinitas tahunan bagi beberapa lembaga untuk diperingati, khususnya lembaga pendidikan. Tapi pada kenyataannya kasus kekerasan pada anak masih cenderung banyak. Seperti dilansir dari situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA), dalam aplikasi SIMFONI-PPAnya, data kekerasan terhadap anak terhitung sejak tanggal 1 Januari hingga tulisan ini ditulis mencapai 8.333 kasus. Dan ini baru jumlah yang terlapor dan terdaftar, belum lagi dengan kasus kekerasan yang tidak terlapor pasti jumlahnya akan semakin banyak.
Dalam sistem kapitalis saat ini, peran keluarga dalam mendidik anak sangat lemah. Fatherless dan motherless seolah menjadi fenomena yang biasa. Orang tua disibukan oleh rutinitasnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, karena hilangnya peran negara. Pada akhirnya anak yang menjadi korbannya. Rumah tidak lagi menjadi tempat yang menenangkan. Sehingga timbul permasalahan baik pada anak, atau orang tuanya. Seperti kasus KDRT, anak menjadi pelaku bullying karena kurang kasih sayang, atau bahkan menjadi korban bullying.
Ditambah lagi sistem pendidikan serta kurikulum yang diberlakukan berpijak pada asas sekularisme. Suasana keimanan tercerabut, ilmu yang dipelajari tidak membuat para murid terkoneksi dengan Tuhannya. Seperti berjalan masing-masing. Maka tak aneh jika hasilnya kehidupan anak-anak amat jauh dari jalan yang telah digariskan. Lebih mengekor pada hawa nafsu dan memburu kesenangan. Berujung pada meroketnya kasus-kasus kenakalan dan tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja.
Karenanya, dibutuh langkah konkret, bukan sekadar slogan ataupun seremonial. Anak-anak harus terlindungi bukan hanya dari kekerasan verbal dan non verbal, tapi anak juga butuh perlindungan dari pemikiran-pemikiran liberal dan pemikiran-pemikiran yang merusak lainnya. Karena suatu bangsa bisa bangkit dan maju pesat, bukan semata tersebab generasi penerusnya memiliki fisik kuat tapi juga memiliki pemikiran yang cemerlang.
Pemikiran cemerlang merupakan hasil dari penanaman akidah secara matang pada diri anak. Bisa dilakukan di lini keluarga, juga lewat lembaga. Karenanya mutlak dibutuhkan campur tangan negara dalam bentuk kebijakan.
Hal ini menjadi pembahasan dalam ad-dinul Islam. Tentu, jika Islam diposisikan dengan tepat, yakni sebagai kerangka kehidupan. Bila serius mendalami Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka akan didapati seperangkat aturan yang khas. Mulai dari aturan beribadah, berpakaian, seputar halal haram makanan dan minuman, bab tentang akhlak, dan yang tak kalah penting adalah soal muamalah dan persanksian.
Terkait muamalah, yakni peraturan Islam seputar hubungan antar manusia, di dalamnya diatur soal ekonomi, sosial, kesehatan, politik, hukum dan pemerintahan, keamanan, juga perkara pendidikan. Maka Islam telah menetapkan kurikulum baku berasaskan akidah. Baik di dalam lembaga pendidikan juga di dalam bangunan rumah (keluarga). Sinergi di antara keduanya, akan menghasilkan anak-anak bermutu.
Dalam lingkup keluarga, di benak orang tua akan terpatri prinsip bahwa anak adalah amanah dari Allah. Sehingga tidak sembarang berkata kasar, melakukan penelantaran bahkan kekerasan. Di sisi lembaga pendidikan, maka pemberlakuan kurikulum berasaskan akidah oleh negara, akan membatu membentuk kekuatan pemikiran anak-anak. Pemikiran tentang hakikat kedirian, berikut Sang Pencipta, dan tujuan kehidupan, serta arah "pulang" akan menciptakan kepribadian Islam. Di mana pola pikir dan pola sikap anak akan disesuaikan dengan prinsip/nilai Islam.
Jika ini dilakukan maka bukan hanya dunia anak saja yang terselamatkan, namun juga akhiratnya. Anak-anak tak lagi menjadi layang-layang yang terputus dari benang, atau menjadi domba di antara para serigala. Sebaliknya, mereka akan sekokoh karang, dan berada dalam benteng terbaiknya. Di tangan merekalah bangsa ini akan menjadi besar.Wallahu a'lam bish-shawab.
Via
Opini
Posting Komentar