Opini
Indonesia Darurat Food Waste, Tak Sekadar Bad Habit
Oleh: Dwi Indah Lestari
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Food Waste atau sampah makanan, ternyata menjadi satu dari sekian banyak persoalan yang terjadi di Indonesia. UN Environment Programme (UNEP) dalam Food Waste Index Report 2021 pernah memperkirakan Indonesia sebagai penghasil sampah makanan terbesar di Asia tenggara dengan angka perkiraan 20,9 juta ton setiap tahunnya. (tirto.id, 22-10-2022)
Sementara Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) merilis data pada tahun 2023 timbulan sampah nasional mencapai 26,20 juta ton. Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa, menyebutkan sampah makanan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 213 triliun – Rp. 551 triliun per tahun. Tidak hanya itu, sampah makanan juga turut menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 7,3 persen atau 1.072,9 metrik ton (MT) CO2 –ek, pada tahun 2019. (tirto.id, 3-7-2024)
Bukan Sekedar Buruknya Kebiasaan Konsumsi Makanan
Persoalan sampah makanan, sebenarnya bukan sebatas buruknya kebiasaan masyarakat dalam konsumsi makanan. Meskipun tidak bisa diabaikan, kebiasaan seperti itu memang kerap dijumpai. Di rumah-rumah makan misalnya, sering ditemukan konsumen yang memesan secara berlebihan namun tanpa memperhitungkan kemampuan untuk menghabiskannya. Akibatnya makanan masih banyak tersisa sementara perut terlanjur kenyang. Walhasil , makanan pun berakhir di tong sampah.
Namun ternyata sampah makanan tidak hanya dihasilkan dari fenomena semacam itu saja. Sampah makanan juga dihasilkan dari proses trial yang dilakukan oleh produsen makanan ketika akan membuat produk baru. Saat persobaannya gagal, bahan makanan yang digunakan akhirnya turut dibuang. Proses trial yang berulang berpotensi menyumbang semakin banyaknya bahan pangan yang ikut terbuang. Selain itu makanan yang kadaluarsa atau tidak laku dijual pun juga menjadi bagian dari rantai food waste.
Penerapan kebijakan impor yang dilakukan oleh negara terhadap beberapa komoditi pangan ternyata juga berperan dalam kebiasaan “buang-buang makanan". Apalagi hal itu kerap dilakukan ketika dalam negeri tengah panen raya. Masih segar dalam ingatan bagaimana Bulog pernah membuang stok beras yang rusak, karena disimpan terlalu lama.
Penerapan sistem kapitalisme mempunyai andil besar dalam mendorong industri makanan untuk menggenjot produksinya dengan berbagai inovasi dan jumlah yang besar, meski sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Semua dilakukan demi meraup cuan sebanyak-banyaknya. Ketika berjalannya waktu dan produknya kadaluarsa atau tidak laku dijual, banyak produsen yang mengambil kebijakan memusnahkannya, bahkan pada produk yang sebenarnya masih layak konsumsi.
Sungguh ini sebuah ironi. Di saat yang sama, masih banyak penduduk Indonesia yang kesulitan untuk makan, bahkan kelaparan. Tercatat ada sekitar delapan juta anak Indonesia yang mengalami stunting. Menurut Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa dikutip dari cnbcindonesia.com (4-7-2024), makanan yang terbuang itu bisa mencukupi kebutuhan hampir seluruh masyarakat miskin di Indonesia. Sedangkan menurut data BPS, jumlah warga miskin mencapai 25,22 juta atau 9,03% dari seluruh penduduk.
Dapat disimpulkan faktor penyebab dari munculnya problem food waste ini bukan sekedar bad habit saja. Namun utamanya adalah karena penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan kebijakan-kebijakan negara yang lebih mementingkan keuntungan. Bahkan kebiasaan buruk masyarakat yang suka buang-buang makanan juga dibentuk dari sistem ini. Sistem yang bersandar pada asas sekuler telah menjauhkan agama dari kehidupan. Sehingga manusia tidak lagi berpegang pada halal dan haram. Termasuk dalam memperlakukan makanan.
Perlu Solusi Sistemik
Mengatasi persoalan sampah makanan, Bappenas telah meluncurkan peta jalan (roadmap) Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam mendukung pencapaian ketahanan pangan menuju Indonesia Emas 2045. Namun melihat dari akar persoalannya, problem sampah makanan jelas tidak cukup diselesaikan hanya dengan melakukan pengelolaan atau bagaimana daur ulangnya. Selama kebiasaan buang makanan masih membudaya dan kebijakan negara terus berorientasi pada kapital saja, niscaya sampah makanan akan terus dihasilkan.
Persoalan ini butuh dituntaskan oleh sistem yang benar, yaitu Islam. Penerapan sistem Islam oleh negara akan memberikan solusi paripurna. Di antaranya, negara membangun kepribadian Islam melalui sistem pendidikan Islam. Sehingga setiap individu memiliki sikap yang selalu terikat dengan syariat termasuk dalam memperlakukan makanan, seperti menghargainya dan tidak berlebihan.
Dari Abu Hurairah ra., “Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
"Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31).
Melalui regulasi, negara juga akan mendorong masyarakat agar tidak mudah membuang makanan, seperti harus menghabiskan makanan atau membawa pulang sisa makanan saat di rumah makan. Industri makanan diwajibkan memproduksi produknya dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan pasar saja dan diberikan sanksi tegas bila melanggarnya.
Distribusi bahan pangan secara merata kepada masyarakat yang membutuhkan juga dilakukan, sehingga tidak ada warga yang kelaparan. Baitul mal menyediakan dana yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makan semua warga negara yang memerlukan. Sebab negara memang wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat.
Demikianlah pengaturan Islam yang sempurna. Penerapannya oleh negara secara kafah, memberikan solusi tuntas bagi setiap persoalan yang terjadi di dunia. Islam menyelesaikan persoalan seperti sampah makanan bukan hanya dari hilir namun juga membereskan akar masalahnya, sehingga mencegah persoalan yang sama terus berulang. Wallahu’alam bishshowab
Via
Opini
Posting Komentar