Opini
Judi Online, Buah Penerapan Kapitalisme
Oleh: Maya A
(Aktivis Muslimah Gresik)
TanahRibathMedia.Com—Kasus judi online yang makin marak menjadi penyakit yang menjangkiti masyarakat Indonesia. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, nilai transaksi keuangan mencurigakan akibat judi online adalah Rp600 Triliun atau setara dengan 20 persen APBN (Liputan6, 19-7-2024).
Sementara itu, dilansir oleh Portal Bandung (18-7-2024), demografi usia pemain judi di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Bahkan menurut data KataData, ada pelaku judi online yang usianya kurang dari usia 10 tahun yaitu sekitar 80.000 jiwa. Disusul usia 11-20 (440.000 jiwa), usia 21-30 (520.000 jiwa), usia 31-50 (1,64 juta jiwa), dan lebih dari usia 50 tahun (1,35 juta jiwa).
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Belum usai masalah pinjol, masyarakat kembali dihadapkan pada masalah baru yang sama sama meresahkan, judi online. Sebagaimana teori bola salju yang makin lama makin membesar, fenomena judol pun tak jauh beda. Kemudahan akses menjadikan judol makin diminati berbagai kalangan. Dari rakyat jelata hingga sosialita, rakyat biasa hingga anggota dewan. Bahkan tak sedikit muda-mudi yang turut terjerat ke dalamnya. Tak perlu jauh-jauh ke lokasi judi, pelaku hanya perlu duduk di tempat dengan gadget di tangan dan menaksir uang taruhan.
Kemudahan tersebut tentu sejalan dengan rancangan revolusi industri ala kapitalis. Di mana kemajuan teknologi berbentuk platform digital merupakan bagian dari upaya untuk mempercepat perputaran uang di kalangan pengusaha maupun bandar.
Dari sini kita paham, bahwa merebaknya judol tentu tidak bisa dilepaskan dari campur tangan negara. Karena di tengah keprihatinan ini, platform digital judol baik berupa situs maupun aplikasi masih dibiarkan beroprasi. Sebuah kontradiksi sikap antara memfasilitasi dan tekad memberantas judi.
Urgensi menumpas tuntas judi online bukan tanpa sebab. Ia adalah jenis kemaksiatan yang kerap membawa efek domino. Tak sedikit yang berakhir pada gangguan emosi, bunuh diri, hingga perceraian massal sebagaimana yang terjadi di Gresik Jawa Timur. Judi online juga menyebabkan kecanduan karena dirancang untuk memberikan hadiah secara acak. Hal ini memicu sensasi dan dorongan untuk terus bermain dan berpotensi besar berakhir pada kerugian finansial.
Selain itu, mengakarnya ideologi sekuler kapitalis menjadikan judol makin banyak peminat. Pertama, kapitalis mendefinisikan sumber kebahagiaan adalah terkumpulnya pundi pundi kekayaan. Alhasil, materi beralih menjadi poros dan tujuan kehidupan. Dan judi adalah jawaban sekaligus jalan pintas untuk menjadi kaya secara instan. Tak heran jika anggota DPR turut terseret dalam pusaran di dalamnya.
Kedua, kapitalisme menjadikan negara lepas tangan dari tanggungjawab sebagai pengurus urusan rakyat dengan terbitnya berbagai regulasi berbau liberal. Semua beban kehidupan seperti pendidikan kesehatan hingga kebutuhan pokok sandang pangan papan menjadi tanggungjawab individu rakyat. Endingnya, judol menjadi salah satu alternatif solusi. Membenarkan fakta bahwa di era sekarang, 'cari yang haram saja susah, apalagi yang halal'.
Ketiga, jauhnya iman dari benak masyarakat sehingga jauh pula perasaan takut akan dosa saat bermaksiat. Ditambah stigma yang sudah melekat di masyarakat, bahwa judi (baik online maupun offline) adalah hal biasa karena tidak merugikan orang lain sebagaimana pencurian/pembunuhan.
Ironisnya, darurat judol ini tak kunjung ditangani secara tuntas. Pemangku kebijakan hanya melakukan tambal sulam dan menyediakan solusi solusi pragmatis. Keppres No. 21 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring yang diterbitkan di Jakarta pada 14 Juni 2024, pengarahan dari BKKBN dengan penguatan keluarga, terbitnya UU ITE dan KUHP tentang hukuman denda dengan jumlah besar adalah sekelumit solusi yang tengah diupayakan meski sejatinya tidak menyentuh akar masalah.
Hal tersebut bertolak belakang dengan upaya pemberantasan judol oleh negara yang menerapkan Islam secara total. Terhadap individu, negara senantiasa mengedukasi dan memahamkan rakyatnya terkait seluruh hukum syara termasuk hukum haramnya judi melalui pendidikan di keluarga, masyarakat, kurikulum sekolah, dan platform media massa. Edukasi ini selaras dengan aksi nyata penguasa dalam memblokir seluruh situs judi online agar akses bisa terputus. Pemblokiran juga menyasar jaringan internasional untuk memaksimalkan upaya pemberantasan.
Selanjutnya, kondisi ekonomi yang minus akibat penerapan kapitalisme, dan menjadi faktor pendorong masifnya perjudian akan diatasi negara dengan penyelenggaraan sistem ekonomi berbasis Islam. Dimana kekayaan alam akan dikelola dengan sebaik-baiknya oleh negara dan dikembalikan 100 persen kebermanfaatannya kepada rakyat secara luas. Dengan ini, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi bisa terwujud dan rakyat tidak akan terjerembab dalam perjudian.
Barulah ketika seluruh upaya tersebut telah dilakukan, dan masih dijumpai pelaku yang terperosok dalam kemaksiatan ini, sanksi tegas yang akan bertindak. Sanksi tersebut berupa ta'zir yang bentuknya bisa berupa cambuk.
Demikian serius dan komprehensif solusi yang ditawarkan Islam dalam menyelesaikan masalah judi. Yang sayangnya masih belum juga dilirik oleh umat yang notabene seorang muslim karena cengkraman sekularisme yang mengakar. Oleh karena itu, dibutuhkan keseriusan dakwah guna memutus kepercayaan umat terhadap sistem saat ini dan beralih mengambil Islam sebagai sebuah agama yang utuh. Yang tidak sekedar menjadi agama ritual, tapi juga sistem yang diadopsi dalam skala negara.
Via
Opini
Posting Komentar