Opini
Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas, Realistis atau Utopis?
Oleh: Hani Iskandar
(Ibu Pemerhati Umat)
TanahRibathMedia.Com—Keluarga adalah tempat pertama seseorang belajar tentang kehidupan. Belajar mengenali dan mengidentifikasi, belajar memahami dan berbagi. Belajar untuk menyayangi dan menjaga, juga menumbuhkembangkan potensi diri.
Rumah dan keluarga adalah tempat kembali ternyaman untuk istirahat bagi siapa pun, ketika merasa jenuh dan lelah dengan aktivitas sehari-hari. Rumah bukan sekadar tempat, tetapi juga suasana, hubungan serta interaksi yang mampu mewarnai setiap anggotanya dengan penuh kebaikan. Jika keluarga tersebut berjalan harmonis dan selaras dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Keluarga pun merupakan benteng pertahanan terakhir, yang seharusnya mampu menjaga semua anggota keluarga dari keras dan rusaknya sistem kehidupan saat ini. Ketahanan sebuah keluarga setidaknya mampu menanamkan nilai-nilai luhur bagi anggota keluarga inti, baik yang berasal dari syariat agama, norma adat dan kesopanan, teladan dalam kepribadian dan akhlak mulia, dan lain sebagainya.
Peringatan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) ke-31 tahun 2024 bertema "Keluarga Berkualitas Menuju Indonesia Emas" diperingati untuk mengingatkan seluruh masyarakat Indonesia akan pentingnya keluarga sebagai sumber kekuatan untuk membangun bangsa dan negara dengan perannya dalam menciptakan generasi emas (liputan6.com, 29-06-2024).
Faktanya, kondisi keluarga saat ini tidak seideal yang diharapkan, fungsi keluarga tidak dapat terwujud dengan baik. Hal yang tampak justru berbagai problem serius seperti tingginya stunting, KDRT, terjerat pinjaman online (pinjol), perceraian, dan lain sebagainya.
Selain itu, harapan mencetak "Generasi Emas", perlu dipertanyakan terkait bagaimana gambaran generasi emas, indikator serta langkah-langkah mewujudkannya. Sebab, sampai detik ini, belumlah jelas output generasi seperti apakah yang dimaksud.
Miris memang, ketika peringatan HARGANAS hanya menjadi sebuah seremonial tanpa tujuan karena tahun ke tahun persoalan keluarga tak kunjung selesai, bahkan bertambah runyam dengan berbagai kondisinya. Wajar jika ada yang menyangsikan, akankah ada keluarga berkualitas di masa kini? Sebab, potret buram keluarga dan generasi sangat tampak di depan mata.
Keluarga yang menjadi tumpuan harapan, sering berada diambang kehancuran karena berbagai kondisi lingkungan yang memengaruhinya, alhasil anggota keluarga terutama generasi menjadi korbannya. Bagaimana generasi emas bisa menjadi realistis, jika ketahanan keluarga tempat mencetaknya saja hanya utopis?
Kehancuran Keluarga Akibat Sistem Sekuler Kapitalis
Banyak hal yang menyebabkan lemahnya kualitas keluarga sehingga rentan hancur ketika menghadapi terpaan. Beberapa hal di antaranya: pertama, visi dan misi keluarga yang tidak jelas.
Visi dan misi pasangan yang menikah perlu menjadi perhatian serius karena akan memengaruhi aktivitas setiap anggota keluarga, sehingga baik buruknya keluarga ditentukan seberapa jelas dan kuat visi dan misi orang tua saat mengawali rumah tangga.
Apakah membangun keluarga hanya sekadar menggugurkan kewajiban saja, atau untuk status sosial, tujuan bersifat material, bersifat biologis atau selainnya? Maka, menjadi sebuah keniscayaan jika banyak yang tidak bertahan di tengah jalan.
Kedua, gempuran budaya, kebiasaan, dan ragam pemikiran yang menyerang keluarga terutama keluarga muslim. Ini menyebabkan anggota keluarga sering tak sepaham, bahkan sampai pada hal-hal teknis sekalipun. Seperti hilangnya kebiasaan makan bersama, jarang bercengkerama sambil "ngobrol" santai, karena ibu dan bapak masing-masing sibuk bekerja, menyebabkan hubungan keluarga tak lagi harmonis dan ideal. Terlebih jika mengharapkan kualitas keluarga yang ideologis, bagai pungguk merindukan bulan.
Ketiga, banyak kebijakan negara yang yang secara tidak langsung berdampak pada idealisme dan keharmonisan keluarga. Misalnya, dengan kebijakan ekonomi yang kapitalistik saat ini. Peran ibu dan bapak sebagai orang tua yang mendidik pertama kali, memberi teladan kepada anak-anaknya sudah jarang ditemukan.
Sebab, faktor kebutuhan ekonomi, banyak kedua orangtuanya memutuskan bekerja. Semata untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Atau terjerat judi dan pinjaman online semakin membebani biaya hidup yang sudah tinggi (mahal).
Mulai dari sandang, pangan, dan papan, bahkan pendidikan, kesehatan, listrik, air, dan lain-lain. Semua menjadi tanggung jawab kepala keluarga orang per orang. Mampu atau tidak mampu mencukupinya, negara jarang peduli akan hal itu. Alhasil, hubungan orang tua dan anak semakin jauh, pendidikan anak di rumah tidak terpenuhi.
Selain sistem ekonomi, sistem pendidikan pun perlu dikritisi. Visi dan Misi yang tidak jelas, menyebabkan arah kurikulum pendidikan tak memahami target dan tujuan pendidikan, sehingga berdampak pada output atau lulusan. Hasilnya, ilmu yang dipelajari selama ini, tidak mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Banyak yang menjadi pengangguran selepas sekolah atau kuliah, tak tahu ilmunya harus diamalkan ke mana, terkadang ilmu yang dipelajari sering tak sejalan dengan aktivitas yang ditekuni. Baik SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi, mayoritas pada akhirnya bertemu di tempat kerja yang sama, jadi buruh pabrik dan sejenisnya.
Tidak ada motivasi, dedikasi yang sama untuk mengamalkan ilmu demi kemajuan bangsa dan negara, terlebih agama, semuanya fokus bekerja semata untuk memenuhi keperluan hidup. Bahkan ada yang stres, depresi, atau juga tergerus pergaulan bebas yang kebablasan.
Islam adalah Dasar dan Pembentuk Keluarga Muslim Berkualitas
Islam memandang anggota keluarga sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisah-pisah. Bangunan keluarga pun adalah bangunan yang wajib kokoh. Sebab, dasar dari terbentuknya keluarga muslim yang ideal, harmonis, dan ideologis adalah dengan Islam.
Sejak awal membentuk keluarga, Islam memberikan arahan untuk memulai dengan memilih pasangan suami dan istri dengan landasan iman dan Islam agar kelak ketika sudah berkeluarga dan menjadi orang tua. Ibu dan bapak memiliki dasar keimanan, keilmuan, dan cara pandang yang sama sesuai cara pandang Islam, sehingga dapat mendidik anak-anak dengan standar Islam.
Selain itu, ibu dan bapak paham tentang perannya masing-masing. Ibu sebagai ummun warabbatul bayt, fokus merawat keluarga, mengasuh, dan mendidik anak-anak, sementara bapak sebagai qawwam dan pencari nafkah juga tak lupa sebagai penentu pendidikan keluarga.
Bukan hanya internal keluarga yang dikuatkan. Lingkungan di sekitar keluarga serta sistem kehidupan yang diberlakukan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, mendukung dan menopang peran keluarga dari luar.
Sistem ekonomi Islam yang tanpa riba dan adil akan menyejahterakan keluarga, sehingga bapak dan ibu terbantu melaksanakan kewajibannya mendidik keluarga. Sistem pendidikan dengan kurikulum Islam dapat melejitkan potensi generasi di luar rumah.
Sistem pergaulan Islam yang terjaga dan dibatasi, menjamin kehidupan sosial masyarakat Islam tetap sehat dan bermartabat. Sebab, amar makruf nahi mungkar terus bergema.
Hukum Islam terhadap kemaksiatan terus ditegakkan dengan adil dan tegas. Bisa dipastikan, tidak ada keluarga yang hancur atau tidak berkualitas jika Islam diterapkan. Benarlah firman Allah Swt. yang artinya, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 13).
Wallahualam bissawab
Via
Opini
Posting Komentar