Opini
Metode Pendidikan dalam Islam
Oleh: Nurul Aini Najibah
(Aktivis Dakwah)
TanahRibathMedia.Com—Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 sudah dimulai untuk siswa SD, SMP, dan SMA/SMK di berbagai wilayah di Indonesia. Seperti sebelumnya, pelaksanaan penerimaan PPDB tahun ini pun masih diwarnai praktik tak terpuji. Berdasarkan laporan Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPP), hingga 20 Juni 2024, tercatat ada 162 kasus praktik curang dalam pelaksanaan PPDB tahun ini. Modus yang digunakan pun beragam, mulai dari mal-administrasi pada jalur zonasi, penggunaan jalur ilegal melalui gratifikasi, jasa titipan dari orang dalam, hingga pemalsuan sertifikat untuk jalur prestasi. (tirto.id, 25-6-2024)
Sebetulnya persoalan pendidikan di negeri ini sudah lama terjadi terlebih saat bergantinya kurikulum dan pemimpin. Pergantian itu pun berbanding lurus dengan program dan kebijakan yang diterapkan. Dengan alasan yang sama yakni meningkatkan mutu pendidikan dan SDM, penerimaan siswa didik baru pun terus mengalami perubahan. Salah satunya adalah zonasi. Sistem zonasi merupakan metode pengaturan penerimaan siswa baru berdasarkan wilayah tempat tinggal mereka. Sistem ini diatur dalam Permendikbud No. 14/2018 dengan tujuan untuk menghindari adanya anggapan tentang sekolah favorit dan nonfavorit.
Sistem zonasi bertujuan untuk membuat seleksi PPDB lebih transparan dan adil berdasarkan tempat tinggal. Inti dari sistem ini adalah pemecahan wilayah menjadi beberapa zona. Namun, sistem ini sering dikritik karena tak sedikit murid justru diterima di sekolah yang lebih jauh dari tempat tinggal mereka, sehingga efisiensinya dipertanyakan. Akibatnya, kebijakan ini juga memicu fenomena jual beli kursi sekolah demi bisa masuk ke sekolah yang diinginkan.
Dari sini kita dapat melihat bahwa kebijakan yang seharusnya diterapkan dengan tepat sasaran dan efektif justru dapat dimanipulasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kebijakan ini bahkan membuka peluang bagi masyarakat untuk melakukan kecurangan, yang mencerminkan kegagalan sistem pendidikan saat ini. Kekacauan dalam aspek pendidikan ini pun tidak terlepas dari peran negara dalam mengatur dan merancang aturan. Mereka seringkali membuat aturan jangka pendek hanya untuk menyelesaikan masalah dengan cepat, tanpa upaya optimal untuk memikirkan dampak jangka panjang.
Sejatinya, akar masalah pendidikan yang menghasilkan berbagai problematik adalah penerapan sistem sekuler kapitalisme. Suatu paham yang diadopsi negara untuk mengatur masyarakat dengan standar manfaat, dengan akidahnya memisahkan agama dari kehidupan. Tujuan pendidikan yang berorientasi kapital mendorong oknum pendidikan meraup cuan dengan segala cara. Mirisnya, perilaku ini seakan dibenarkan para orangtua siswa dengan mengikuti mekanisme PPDB di luar kewajaran hanya karena ingin anaknya diterima.
Penerapan sistem kapitalisme telah menyebabkan negara enggan menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai. Jika pun ada anggaran, jumlahnya tidak mencukupi apalagi bila di korupsi, padahal Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa setiap rupiah dalam anggaran pendidikan berasal dari rakyat dan harus dikelola secara bertanggung jawab, tanpa korupsi, dan seefisien mungkin. Ia meminta agar semua pihak terlibat dalam pengawasan dana pendidikan tersebut, untuk memastikan penggunaan yang optimal dari anggaran APBN yang besar.
Inilah yang akhirnya berefek pada keterbatasan dalam pembiayaan pendidikan dan menghambat perbaikan dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, orang tua sering kali memilih untuk memasukkan anak mereka ke sekolah swasta yang biayanya tinggi jika ingin mereka mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan memiliki prestasi.
Maraknya aksi tak terpuji dalam dunia pendidikan bukan saja karena faktor rendahnya ketakwaan individu tapi karena sistem. Negara sebagai pemangku kebijakan mestinya segera mengatasinya dengan solusi yang bersifat komprehensif. Dimulai dengan membenahi sistem pendidikan yakni dengan mengganti aturan kapitalistik dengan sistem yang sahih yang berasal dari Sang Khalik. Jika sistemnya diganti, otomatis individu dan masyarakat akan terkondisikan. Selain itu, negara juga harus menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai dan memberikan kesejahteraan para guru. Jika fasilitas baik dan guru disejahterakan, maka proses pembelajaran akan berjalan lancar dan nyaman.
Berbeda halnya dengan sistem pendidikan Islam, sistem ini menganggap pendidikan sebagai layanan publik yang merupakan hak setiap warga negara. Oleh karena itu, negara diwajibkan untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang optimal dan gratis. Selain itu, Islam mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu. Rasulullah saw. bersabda: "Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim." (HR Ibnu Majah)
Adapun, Islam mempunyai tujuan pokok dalam kurikulum pendidikan, yaitu: Pertama, mengembangkan kepribadian islami, cara berpikir (intelektual) dan jiwa (emosional) bagi generasi umat. Keharusan ini muncul karena akidah Islam adalah dasar kehidupan setiap muslim, sehingga harus menjadi dasar dalam berpikir dan bertindak. Strategi pendidikan harus dirancang untuk membentuk identitas keislaman yang kokoh, baik dari segi cara berpikir maupun sikap. Metodenya adalah dengan menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku Islam ke dalam pikiran dan jiwa siswa.
Kedua, mempersiapkan anak-anak muslim agar di antara mereka ada yang menjadi ulama yang ahli dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam ilmu-ilmu keislaman seperti ijtihad, fikih, dan peradilan; maupun dalam berbagai bidang sains seperti teknik, kimia, fisika, dan kedokteran, sehingga mereka menjadi ilmuwan, pakar, dan ahli.
Inilah satu-satunya kurikulum yang menjamin tercapainya pendidikan berkualitas. Kurikulum pendidikan Islam dirancang berdasarkan fondasi akidah Islam untuk mencerdaskan generasi dan mencapai kesejahteraan masyarakat, mencakup tujuan pendidikan, metode pembelajaran, cara berpikir, dan struktur kurikulum.
Selain itu, Islam juga memiliki konsep dalam menerapkan sistem pendidikannya, yaitu Pertama, menyediakan semua fasilitas pendidikan, termasuk gedung, perpustakaan, laboratorium yang disediakan dengan standar pelayanan yang seragam. Baik di kota maupun desa, semua sekolah akan menerima fasilitas yang setara. Sehingga setiap individu masyarakat mendapatkan kualitas pendidikan yang sama, baik kaya maupun miskin, muslim maupun nonmuslim. Sumber pembiayaan untuk pembangunan ini berasal dari baitulmal, yang pendapatannya berasal dari berbagai sumber seperti jizyah, fai, kharaj, ghanimah, dan SDA.
Kedua, menerapkan sistem pendidikan yang berakar pada nilai-nilai Islam. Karena dalam perspektif Islam tujuan utama sekolah adalah membentuk generasi yang memiliki karakter Islam, serta menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan hidup. Pendidikan ini tidak hanya mengutamakan pencapaian kognitif semata, popularitas, atau prestise, tetapi juga mengutamakan pembentukan kepribadian yang mulia.
Ketiga, menyediakan pengajar (guru) yang tidak hanya kompeten secara akademis tetapi juga memiliki nilai-nilai kepribadian Islam. Negara akan memberikan gaji yang layak serta fasilitas kesehatan yang terjangkau atau bahkan gratis. Hal ini bertujuan agar guru tidak perlu khawatir tentang berbagai kebutuhannya. Dengan gaji yang memadai dan jaminan kebutuhan yang terpenuhi, guru dapat lebih fokus dalam menjalankan tugasnya dengan baik.
Demikianlah cara Islam mengatur sistem pendidikannya. Sistem yang dapat menyelaraskan pendidikan dengan menyediakan fasilitas yang memadai untuk seluruh masyarakat. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh negara yang memiliki prinsip yang benar. Yakni prinsip kemaslahatan yang lahir dari tanggung jawab riayah su-unil ummah berdasarkan arahan Allah dan rasul-Nya. Wallahu a’lam bii Ash-Shawab
Via
Opini
Posting Komentar