Opini
Paparan Sekularisme, Jadikan Indonesia Juara 1 Buang Makanan
Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala Bappenas), Suharso Monoarfa menyampaikan berita menyedihkan bahwa ternyata Indonesia juara 1 dalam hal membuang-buang makanan se-ASEAN. Hal tersebut berdasarkan data dari Food Loss and Waste (FLW) United Nations Environment Programme (UNEP) pada tahun 2021 untuk kawasan Asia Tenggara.
Sebanyak 20,94 juta ton sepanjang tahun 2021, Indonesia telah membuang sisa makanan. Akibatnya negara rugi sebesar 551 triliun rupiah per tahunnya akibat dari kebiasaan masyarakat suka membuang-buang makanan ini (okezone.com, 4-7-2024).
Berdasarkan temuan data dari Bappenas terkait makanan yang dibuang ini yang tertuang dalam dokumen Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan Dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045. Mengungkapkan bahwa Indonesia mengalami kerugian ekonomi yang cukup besar akibat dari food lose and waste. Yang mana penyusutan atau lose food terjadi umumnya karena proses produksi dan distribusi sebuah makanan. Sedangkan waste food atau makanan sisa seringnya dikarenakan konsumen tidak menghabiskan sisa makanannya atau sengaja membuangnya.
Suharso pun berujar bahwa kerugian negara yang mencapai 551 triliun rupiah itu sangat cukup untuk memberikan makan orang-orang miskin sebanyak 62%. Adapun bahan pangan yang banyak terbuang dalam hal ini adalah beras/jagung yang justru menjadi bahan pokok makanan utama rakyat Indonesia (cnbcindonesia.com, 4-7-2024).
Berdasarkan fakta di atas, yakni tentang adanya lose food dan waste food, kita bisa melihat dua fenomena sekaligus terkait dampak yang dihasilkan dari sistem sekularisme. Pertama, mengenai lose food adalah makanan yang terbuang akibat produksi dan distribusi.
Sistem kapitalisme yang diterapkan di Indonesia membuat perusahaan makanan memproduksi barang besar-besaran demi mencapai target keuntungan yang besar juga. Tak hanya produksi yang besar, tetapi juga inovasi lain yang belum tentu bisa diterima dengan baik oleh masyarakat yang pada akhirnya bisa membuat suatu produk tidak laku kemudian terbuang sia-sia karena kadaluwarsa.
Bahkan ada sebagian gerai yang memilih memusnahkannya makanan yang tersisa atau tidak laku terjual di hari itu demi agar besok harinya tetap bisa memproduksi produk baru yang sesuai dengan slogan mereka yang akan selalu menawarkan produk yang fresh.
Kemudian mengenai pembuangan makanan atau waste food dari pihak konsumen yang tidak menghabiskan sisa makanannya atau membuangnya dengan sengaja, menjadi sebuah PR besar bagi umat, terutama umat muslim yang kerap kali melakukan hal-hal mubazir pada makanan.
Tidak sedikit para tamu undangan di sebuah pesta atau tamu hotel sangat suka mengambil makanan dengan porsi banyak lalu tidak menghabiskannya dengan alasan malu, gengsi, atau bahkan dianggap tidak memiliki sopan santun jika menghabiskan makanannya. Sungguh ini pola pandang yang sangat keliru.
Kedua, keadaan fenomena ini membuktikan bahwa Sekularisme yang tersistem dalam ekonomi hingga pola pikir suatu masyarakat jelas akan membuat sebuah kerugian yang amat besar. Inilah ironi dari dua fenomena di atas adalah ketika kita sadari ada masyarakat di suatu daerah yang masih kesulitan dalam mendapatkan makanan, kelaparan masih kerap terjadi, angka stunting masih tinggi, dan kemiskinan masih belum teratasi.
Perusahaan-perusahaan makanan yang hanya berpikir keuntungan semata, rela mengabiskan atau memusnahkan produk makanan yang mereka jual demi mempertahankan kualitas tanpa memikirkan apa dampaknya. Sedangkan negara bukan malah mengatasi hal ini, tetapi malah sibuk terus memasok industri-industri itu agar terus berproduksi tanpa memikirkan pemerataan bahan pangan untuk kepentingan masyarakat.
Sedangkan dari individu yang suka membuang-buang makanan demi gengsi, juga cerminan nyata pemikiran yang telah terpapar oleh sekularisme. Tidak ada rasa bersalah akan sikapnya yang membuang makanan itu maupun perasaan takut dosa akibat telah melakukan hal mubazir. Karena yang ada di pikirannya hanyalah gengsi dan malu jika dirinya terlihat miskin akibat menghabiskan makanan tersebut.
Agama hanya sebatas ritual peribadatan semata, sementara perilaku sehari-hari tak ubahnya seseorang yang tak mengenal agama. Maka solusi dari semua itu tak lain adalah perubahan sistem sekuler kapitalisme menjadi sistem Islam.
Berbeda dengan sistem Islam, dari industri, khil4f4h mengawasi dengan ketat agar tidak ada praktik membuang-buang makanan. Produk diproduksi secukupnya dan sesuai dengan kebutuhan pasar yang diperhitungkan secara cermat. Sementara untuk individu, khil4f4h memberikan pengajaran dan pendidikan tentang adab pada makanan untuk tidak mencela dan membuang-buang sembarangan makanan yang masih layak dan bagus.
Dari Abu Hurairah ra., “Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya.” (HR Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).
Umat diajak untuk bersikap zuhud yang salah satunya adalah tidak berlebih-lebihan dalam hal makanan. Allah Swt. berfirman, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31).
Serta Islam juga mengajarkan kepada umat untuk tidak bersikap mubazir terhadap makanan. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra [17]: 26—27).
Dengan pendidikan semacam ini yang diterapkan di tengah masyarakat, ditambah dengan regulasi penyaluran bahan pangan secara merata di seluruh negeri, serta pengawasan yang ketat dari negara kepada para industrialis makanan, maka masalah "membuang makanan" di negara ini akan cepat teratasi. Wallahu alam bissawab.
Via
Opini
Posting Komentar