Opini
Rencana Investasi Cina di Indonesia, Benarkah Solusi Ketenagakerjaan?
Oleh: Weny Zulaiha Nasution, S.Kep., Ns.
(Sahabat Tanah Ribath Media)
TanahRibathMedia.Com—Di tengah kondisi masyarakat saat ini yang merasakan sulitnya mencari pekerjaan, kita mendapati banyak berita PHK massal yang terjadi di beberapa perusahaan. Lagi dan lagi, kita hanya bisa mengelus dada, melihat semakin bertambahnya jumlah pengangguran di negeri ini akibat dari PHK massal yang terjadi. Di antara berita tersebut ialah ditutupnya salah satu pabrik tekstil di beberapa lokasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur serta beberapa daerah lain di Indonesia.
Mengutip dari CNBC Indonesia (30-06-2024), Ristadi selaku Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mengatakan bahwa ada 36 perusahaan tekstil menengah dan besar yang tutup dan 31 pabrik lainnya melakukan PHK karena efisiensi. Data tersebut telah dikumpulkannya dari tahun 2019 dari sebelum masa pandemi Covid-19 belum termasuk data dari Pemerintah. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena semakin banyak jumlah pengangguran, maka semakin banyak persentase kemiskinan di negeri ini. Belum lagi dengan semakin meningkatnya kebutuhan disertai semakin mahalnya harga kebutuhan hidup masyarakat, termasuk bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah malah memberi solusi yang bisa dibilang tidak logis.
Di tengah badai PHK yang sedang gencar-gencarnya menghantam para buruh di negeri ini, muncullah masalah baru, yaitu terbuka lebarnya investasi dari Republik Rakyat Tiongkok (China) terkhusus dalam bidang industri. Salah satunya adalah industri tekstil yang telah memakan banyak korban PHK dan sekarang ditambah dengan ide pemerintah untuk membuka keran investasi dari China demi penyerapan tenaga kerja lokal. Padahal belum hilang dari ingatan kita mengenai lebih banyak dan bermasalahnya tenaga kerja asing (TKA) China itu.
Mengutip dari Kumparan.com (13-01-2024), dalam rapat dengan komisi IX DPR RI di Senayan, 21 Juni 2021, Menteri Ketenagakerjaan RI, Ida Fauziyah mengatakan bahwa investasi yang masuk ke Indonesia banyak dari China berbanding lurus dengan TKA China yang ditempatkan di Indonesia. Artinya, bukan hanya investasi yang harusnya diharapkan menjadi pengentas pengangguran dalam negeri, malah mendatangkan TKA dari negara investor tersebut. Lantas bagaimana mungkin tenaga kerja lokal bisa bersaing dan bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan? Sudah barang tentu investor asing lebih mempercayakan perusahaannya kepada rekan kerja dari negaranya sendiri dibanding kepada pekerja lokal. Inilah bentuk nyata dari omong kosong sistem ekonomi kapitalisme.
Demi memanjakan dompet para pemilik kekuasaan dan pemilik modal, bukannya menyejahterakan rakyat, para pemegang kekuasaan tersebut membuka keran investor asing berikut dengan para TKA-nya. Investasi asing dianggap sebagai solusi pengangguran, tapi malah memperkecil peluang penyerapan tenaga kerja lokal di investasi tersebut. Padahal faktanya, selama ini bangkrutnya industri tekstil adalah karena rendahnya daya beli. Investasi asing nyatanya tidak menjadi solusi apalagi upah buruh yang rendah dan berbagai kebijakan tenaga kerja sesuai dengan UU Cipta kerja.
Investasi asing sejatinya merupakan alat menguasai ekonomi negara lain. Nasib akan makin parah ketika sumber daya alam (SDA) di Indonesia juga masih dikuasai asing dan negara lepas tangan akan nasib rakyatnya. Di lain pihak, buruh yang seringkali melakukan protes dan unjuk rasa, malah tidak didengar keluh kesahnya. Terlebih lagi, para pemengaruh (influencer), tokoh dan bahkan dari kalangan buruh dan serikat pekerja, justru menumbangkan militansi mereka setelah didekati dan diberi kenyamanan oleh penguasa ataupun pegusaha agar meredam kebisingan hati nurani mereka.
Negara seharusnya melarang perusahaan swasta maupun individu untuk menguasai harta kepemilikan umum agar ia tidak bisa berbuat sewenang-wenang dengan harta milik umum tersebut. Dalam hukum Islam, jatuhnya pengelolaan harta milik umum ke tangan swasta terutama asing, memiliki berbagai dampak negatif. Di antaranya adalah terjadinya kecenderungan konsentrasi kepemilikan barang-barang milik umum kepada korporasi yang memiliki modal besar, manajemen, sumber daya manusia dan teknologi yang lebih unggul. Kemudian, kecenderungan investasi asing yang berorientasi pada bisnis untuk melakukan efisiensi dengan cara pengurangan tenaga kerja dan pemangkasan gaji yang mengarah ke peningkatan pengangguran. Lalu, semakin rendahnya partisipasi negara dalam memenuhi kebutuhan publik akan mengurangi sumber pendapatan negara sehingga berdampak pada keterbatasan anggaran negara dalam memenuhi sebagian kebutuhan dasar publik.
Selain itu, turunnya sumber pendapatan pemerintah akan mendorong pemerintah untuk mencari sumber pembiayaan lain, seperti berhutang, peningkatan pajak dan peningkatan biaya produk ataupun output barang milik umum yang dimiliki oleh swasta. Lalu, kebanyakan masyarakat akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti listrik, air, dan gas karena harganya yang makin hari makin naik. Kemudian, mempermudah masuknya pemikiran dan budaya asing kepada masyarakat seperti yang terjadi pada dominasi di sektor komunikasi dan media. Dengan besarnya peran korporasi di negara-negara asing, membuka peluang penjajahan ekonomi dan sebagainya atas negeri kaum muslim.
Faktanya, dalam sistem kapitalisme saat ini, investasi asing sejatinya merupakan alat menguasai ekonomi negara lain. Nasib akan makin parah ketika SDA Indonesia juga masih dikuasai asing. Dan negara lepas tangan akan nasib rakyatnya. Paradigma pembangunan dalam Islam bukanlah kapitalistik, namun paradigma industri berat harus dikelola negara. Hal ini akan mendorong terbukanya industri lain yang strategis yang akan membuka lapangan pekerjaan secara nyata.
Sementara itu, pemerintah yang pada dasarnya memang menganut ideologi kapitalisme telah memberikan kebebasan berinvestasi kepada berbagai pihak tanpa mempedulikan lagi apakah sesuai atau tidaknya dengan hukum Islam. Akibatnya, pelanggaran syariah Islam merajalela. Sebagai contoh, maraknya transaksi yang batil seperti riba dan transaksi batil lainnya sebagaimana yang terdapat pada perseroan terbatas, asuransi dan koperasi.
Dalam Islam, harta milik umum sepenuhnya diatur oleh negara. Tidak boleh diserahkan kepada swasta ataupun individu baik dalam bentuk konsesi ataupun privatisasi. Islam mengatur bagaimana hubungan dengan luar negeri termasuk dalam bidang perdagangan agar dapat berjalan sesuai koridor syari'at Islam. Selain menerapkan aturan Islam secara total, negara juga harus mengawasi pelaksanaannya. Nabi saw., dan para khalifah pada masa Islam berjaya telah mencontohkan bagaimana mereka mengawasi kegiatan perdagangan di pasar dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya sehingga tidak ada yang pengangguran.
Negara juga harus mengelola harta milik umum dan milik negara secara optimal dan penuh amanah sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi rakyat. Sikap tersebut tercermin dalam pernyataan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.: “Sungguh saya tidak menemukan kebaikan pada harta Allah ini, kecuali dengan tiga hal: diambil dengan cara yang benar, diberikan dengan cara yang benar dan dicegah dari berbagai kebatilan. Ketahuilah, posisi saya atas harta kalian seperti seorang wali atas harta yatim. Jika merasa cukup, saya tidak mengambilnya, namun jika saya membutuhkannya, maka saya akan memakannya dengan cara yang makruf.”
Selain itu, kebijakan pemerintah yang mengizinkan swasta terutama investor asing untuk berinvestasi secara bebas termasuk pada kepemilikan umum yang seharusnya menjadi hak publik. Ini hukumnya adalah haram menurut Islam dan juga telah menimbulkan mudharat bagi negara dan masyarakat secara luas. Alhasil, mewujudkan lapangan pekerjaan dan perdagangan yang diatur sesuai Islam secara paripurna hanya dapat terlaksana jika negara ini mengadopsi risalah Islam secara menyeluruh di bawah institusi Khil4f4h Islam. Wallahu a'lam.
Via
Opini
Posting Komentar